Keluar dari Kemelut
Oleh: Yudi Latif
Hendak ke mana demokrasi kita menuju? Pertanyaan reflektif seperti
itu sulit terlintas dan terpikirkan oleh elite politik dan ilmuwan pengamat
hari ini karena mengidap problem rabun jauh.
Urusan demokrasi sekadar ritual perebutan kekuasaan lima tahunan
dengan obsesi kemenangan sebatas memecundangi lawan di pemilihan umum.
Dilupakan tujuan teleologisnya sebagai wahana pencapaian tujuan nasional demi
kemenangan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Apabila diletakkan dalam bingkai tujuan nasional dan kemenangan
bersama, secercah cahaya kesadaran akan menerangi penglihatan. Betapa praktik
pemilu yang kita jalani dengan ongkos finansial dan sosial yang begitu mahal
itu hanya melahirkan kemenangan semu.
Pemerintahan terpilih memang bisa melahirkan capaian tertentu,
tetapi harus dibayar mahal oleh banyak kerusakan. Apabila tujuan nasional
adalah mencapai perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur, kita bisa mengukurnya satu per satu. Demokrasi yang terus
melibatkan rakyat secara langsung dalam pemilihan anggota legislatif dan
eksekutif di segala tingkat menempatkan sejarah bangsa tidak di jalur menuju
pembebasan masa depan, tetapi jalur putaran balik ketidakbebasan yang
ditimbulkan oleh kebangkitan fanatisisme tribalisme dan bentrokan
antaridentitas.
Persatuan nasional retak dengan pembelahan sosial yang sulit
dipertemukan. Modal sosial sebagai basis kerja sama dan kemajuan bersama pudar.
Rasa saling percaya lenyap. Kesediaan berinteraksi dengan yang berbeda
mengerut. Setiap pihak memandang pilihan yang berbeda sebagai lawan. Apa pun
tindakan dan argumen pihak lawan dipandang salah.
Biaya politik yang mahal melambungkan biaya ekonomi seraya
menurunkan produktivitas. Modal pembangunan lebih bergantung pada penetrasi
modal asing. Pendalaman pengaruh asing dalam perenggangan integrasi nasional
bisa menggoyahkan kedaulatan.
Energi nasional yang terlalu terkuras oleh kontestasi politik
menurunkan perhatian politik pada urusan memakmurkan bangsa. Konsentrasi
politik pada kontestasi kekuasaan mengabaikan esensi politik sebagai institusi
pengawal tata kelola dan kebijakan publik yang sehat. Berbagai keluhan muncul
menyoal hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala deindustrialisasi,
defisit perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan menengah, serta
jebakan ekonomi ekstraktif. Namun, nyaris tak ada perhatian politik dan
kebijakan strategis menyangkut pilihan industrialisasi serta transformasi
menuju perekonomian berbasis pengetahuan.
Semua itu terjadi karena perkembangan demokrasi kita terperangkap
pada kesadaran palsu bahwa praktik demokrasi (”liberal”) yang berjalan selama
ini sebagai kemestian yang tak bisa dihindari. Meminjam Timothy Snyder (2018),
”politik ketakterelakkan” membutakan mata pada alternatif lain, yang
memunculkan ekspresi ketidakbertanggungjawaban: penolakan terhadap ide-ide
solutif, mencacatkan kebijakan, serta menormalisasi ketidakadilan dan
kesenjangan.
Ekspresi ”politik ketakterelakkan” yang kerap muncul antara lain
pernyataan/penerimaan jika demokrasi memang mahal; melibatkan rakyat secara
langsung untuk segala jenis pemilihan itu lebih baik dan lebih maju; popular
vote jadi satu-satunya modus pemilihan; bentuk pemerintahan hanya boleh
presidensial atau parlementer—tak bisa semi-parlementer atau semi-presidensial;
dan terakhir, kematian ratusan petugas KPPS dan otoritas lainnya dianggap
sebagai kewajaran.
Politik ketakterelakkan berujung pada ”politik kekekalan”, dengan
terus mempertahankan hal-hal buruk. Masalah yang muncul tidak dicari solusinya
yang tepat, tetapi dielakkan dengan jalan pabrikasi krisis dan manipulasi
emosi. Untuk mengalihkan perhatian publik dari ketidakmampuan dan
ketidaksediaan elite politik untuk memperbaiki demokrasi, para ”elite
kekekalan” meninabobokan rakyat dengan pencitraan atau hasutan permusuhan.
Praktik demokrasi seperti itu tak akan mendatangkan kemaslahatan
dan keselamatan hidup bersama. Kalaupun kita bisa lolos dari ujian sejarah
kemelut pemilu saat ini, akan semakin sulit menghindari retakan dan malapetaka
sosial yang lebih buruk pada masa depan.
Untuk keluar dari kemelut, kita harus mengevaluasi desain tata
kelola demokrasi. Demokrasi punya prinsip universal, tetapi memiliki model yang
beragam. Untuk bisa tumbuh subur, pilihan pohon demokrasi harus disesuaikan
dengan lahan yang ada. Para pendiri bangsa dengan keleluasaan pengetahuan,
kedalaman penghayatan, dan ketulusan perjuangan telah mengambil pilihan visioner,
dengan mengidealisasikan demokrasi ”sistem sendiri”.
Disebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan kekurangpahaman, demokrasi
”sistem sendiri” itu lantas dilucuti secara serampangan tanpa kejernihan pikir
untuk memilah mana hal-hal fundamental yang harus dipertahankan, mana pula yang
instrumental yang bisa disesuaikan. Padahal, kita tidak bisa membebaskan
”lebah-lebah” terbang dengan membakar sarangnya. Demokrasi yang stabil dan
sehat memerlukan derajat kesetiaan pada rumah bersama, dengan menjaga tradisi, institusi,
dan konsensus baik yang diwarisi dari masa lalu. []
KOMPAS, 16 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar