Kamis, 16 Mei 2019

Gus Dur: Demokratisaasi Hidup Bangsa


Demokratisaasi Hidup Bangsa
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Reformasi yang memakan korban jiwa para mahasiswa di Universitas Trisakti (Grogol, Jakarta), Universitas Atmajaya di Semanggi dan peristiwa Jembatan Semanggi (Jakarta), ternyata tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Mengapakah demikian karena reformasi itu ternyata telah “dicuri” orang. Bahkan sekarang muncul pengamatan, bahwa sebagian dari perjalanan hidup bangsa kita, mendambakan kembali pemerintahan Orde Baru. Setidak-tidaknya, pemerintahan tersebut telah memberikan ketenangan yang kita perlukan. Seolah-olah dengan kembalinya ketenangan seperti itu, akan mengembalikan pula lapangan kerja yang kini hilang. Dan mereka lupa bahwa lapangan kerja itu hanya akan ada kalau investasi luar dapat dikembalikan dalam jumlah besar. Padahal, untuk itu diperlukan kepatian hukum (Legal Certainty) yang kini dirasakan hilang. Kepastian hukum itu hanya akan tegak kalau kedaulatan hukum terwujud pula, sesuatu yang saat ini tidak pernah ada.

Bahkan KKN sekarang semakin menjadi-jadi, dan pihak yudikatif kita semakin menunjukkan kebobrokan, karena tidak memiliki independensi betapa banyak kasus-kasus hukum yang “dipeti es”kan, dan bahkan dibuat keputusan salah secara hukum oleh berbagai tingkatan pengadilan kita. Bahkan dengan subur, segala macam komisi diberikan untuk kasus-kasus pelepasan aset-aset nasional. Tentu saja tidak mungkin dalam keadaan demikian menegakkan demokrasi dalam artian sebenarnya. Yang ada hanyalah “demokrasi asal-asalan” yang tidak lain adalah demokrasi prosedural belaka. Kita belum banyak beranjak dari demokrasi ‘ala’ pemerintahan Orde Baru, yang mempunyai ciri adanya lembaga-lembaga demokrasi, namun tidak berfungsi sebenarnya. Dalam keadaan demikian, “tradisi demokrasi” dilupakan.

Jika “demokrasi kelembagaan” di masa pemerintahan Orde Baru tidak membawa pemerintahan yang benar-benar demokratis, maka “demokrasi prosedural” yang berjalan di negeri kita dewasa ini juga tidak menunjukkan adanya demokrasi yang sesungguhnya. Karenanya kita masih harus menunggu sekali lagi tindakan bersama, untuk mengakhiri keadaan ‘asal-asalan’ itu untuk menjadi demokrasi yang sebenarnya. Jalan untuk itu adalah pemilihan umum yang jujur dan bebas untuk memilih caleg-caleg dan Presiden/Wakil Presiden yang akan datang. Di sini terdapat sebuah pertanyaan sangat fundamental, mampukah kita memilih DPR-RI dan pimpinan eksekutif negara yang mendorong terciptanya demokrasi yang sebenarnya?

Penulis dianggap terlalu optimis bahwa hal itu akan terjadi, karena “pihak demokrat sebenarnya”, akan menenangkan kedua macam pemilu tersebut. Hal itu berdasar keyakinan penulis yang beranggapan bahwa “silent majority” (mayoritas membisu), akan mendukung kedua pemilu itu melalui pemenangan pihak yang benar-benar menginginkan demokrasi, sebagai persyaratan bagi munculnya bangsa kita sebagai bangsa yang besar di atas panggung sejarah dunia. Tentu saja pendirian penulis itu tidak diikuti oleh para pengamat yang pandai-pandai itu. Karena penulis hanya bersandarkan pada kemunculan sebuah kelompok pemilih/pemberi suara yang tidak pernah bersuara dan selalu berdiam diri saja. Ini membuat penulis dianggap tolol dan tidak mengerti jalannya kehidupan bangsa. Tidak apalah selama hasil akhirnya nanti memperlihatkan bahwa optimisme penulis tidak diletakkan ditempat yang salah. Dahulu, Bung Hatta yang menginginkan negara kita harus bersistem demokratis, juga dipersalahkan karena dianggap tidak mengerti pendirian bangsa kita. Namun, setelah melalui lika-liku sejarah yang panjang, bangsa kita telah siap untuk itu sekarang.

Tetapi, jalan ke arah hasil pemilihan umum yang relatif jujur dan terbuka memang tidak mudah. Diperkirakan orang, pemilu akan menghasilkan keseimbangan baru antara berbagai parpol yang besar-besar dan Presiden terpilihpun akan datang dari parpol-parpol tersebut. Karena itu, seorang penting di negeri ini, mempunyai pendapat PDI Perjuangan akan bertambah besar, dengan penambahan suara sekitar 3%, sehingga partai itu memperoleh 42% suara. Atas dasar ini, Megawati Soekarnoputri akan menjadi calon Presiden dan kemungkinan besar akan terpilih kembali. Pencalonan Wakil Presiden akan diperebutkan antara Golkar dan PKB. Mana yang akan banyak perolehannya dalam pemilu legislative? Kalau Golkar mendapatkan suara lebih besar dari PKB dalam pemilihan legislative, maka orang Golkar akan menjadi calon Wakil Presiden, sedangkan PKB akan menempatkan orang sebagai ketua DPR-RI.

Tentu saja, “skenario” diatas akan terjadi manakala PDIP seperti dikatakan akan bertambah 3% suara dalam pemilu tersebut. Kalau tidak maka dengan sendirinya “keinginan” menempatkan Megawati Soekarnoputri sebagai Calon Presiden, tidak akan terjadi secara otomatis. Karena itu, apa yang dikatakan tokoh itu baru bersifat spekulasi, sebagaimana perkiraan-perkiraan lain. Dalam hal ini belum tentu perkiraan tersebut menjadi kenyataan, karena itu sangat sulit untuk menerimanya sebagai sebuah aksioma. Tentu saja, bagi orang-orang seperti penulis, perkiraan itu dianggap sebagai ‘jauh panggang dari api’, alias jangan jadi ukuran yang pasti. Demikian juga perkiraan-perkiraan lain yang semuanya menunjukkan ketidakpastian. Karena itu, mengapa penulis harus meninggalkan pendapatnya sendiri, yaitu keyakinan akan kemenangan pihak yang memperjuangkan demokratisasi bagi negeri ini?

Karena itulah, penulis sebagai orang yang diperintahkan para ulama untuk menjadi calon Presiden, tidak ragu-ragu dengan pencalonan dirinya itu. Apapun anggapan orang tentang dirinya, bagi penulis diterima sebagai “masukan” yang bersifat konstruktif. Bahkan orang-orang  yang bersaing untuk pencalonan tersebut, dilayani sama. Ketika Jenderal purn. TNI Wiranto memerintahkan orang untuk menghubungi penulis, guna turut serta hadir dalam acara perkawinan di Pondok Pesantren Langitan (Tuban), penulis bersama-sama orang ini datang ke tempat tersebut. Begitu juga, ketika diajak Ir. Akbar Tanjung ke Hotel kecil milik istrinya di Lawean (Solo), penulis pun tidak ragu-ragu akan hal itu. Walaupun dalam acara di Kraton Sri Susuhunan Pakubuwono XII ia juga bertemu dengan Wiranto. Keesokan malamnya ia bertemu calon lain, Prof. DR. Nurcholis Madjid di Tulung Agung, dalam acara peringatan ulang tahun kematian KH. Mustaqim Husein.

Tentu saja, sikap seperti itu bagi orang yang tidak mengerti  akan dianggap sebagai sesuatu yang “tidak benar”. Dalam hal ini, penulis hanya bersikap obyektif dan terbuka kepada calon Presiden dari berbagai pihak. Kalau ini dimanfaatkan oleh orang untuk kepentingannya sendiri, tentu dapat juga dikatakan sebaliknya. Artinya seseorang dapat saja mengalami kerugian karena berhubungan dengan penulis secara fisik. Apalagi, kalau itu dilakukan oleh tokoh yang akan menghadapi konvensi partai seperti Golkar. Bahkan pertemuan yang tidak tampak dimuka umum sekalipun, seperti Jenderal TNI Purn. Susilo Bambang Yudoyono, yang sekarang menjadi Menko Polkam. Hubungan yang bersandar pada obyektivitas itu sangatlah menentukan bagi perkembangan keadaan di masa datang. Kita belum lagi berbicara tentang tokoh-tokoh seperti Ryaas Rasyid, Siswono Yudohusodo dan sebagainya.

Sebenarnya, penulis juga tidak tahu adakah para calon itu juga berhubungan satu sama lain? Kalau ya, mengapakah hubungan mereka dengan penulis saja yang diributkan oleh media massa? Mengapakah tidak dengan yang lain-lain itu? Penulis tidak berani mengemukakan jawaban dalam tulisan ini, takut nanti akan “disalahkan” oleh keadaan, kalau tidak terbukti demikian. Karenanya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, diserahkan kepada masing-masing pihak. Sedangkan penulis memiliki jawabannya sendiri yang belum tentu dianggap benar oleh tokoh-tokoh lain itu. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa bangsa ini memiliki “silent majority” yang sama sekali enggan berbicara mengenai pilihan mereka. Tentu tokoh pilihan mereka akan memperjuangkan demokratisasi dalam artian yang benar. Sesuatu yang mudah dikatakan, tetapi jauh lebih sulit untuk dilaksanakan, bukan? []

Jakarta, 24 Februari 2004
Sumber: Duta Masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar