Ketika Perempuan Kentut di Hadapan Syekh
Hatim Al-Asham
Syahdan, pada abad ketiga Hijriah tersebut
nama seorang ulama besar bernama Syekh Hatim bin Ulwan Al-Asham di daerah
Khurasan. Ia menjadi rujukan dan tempat bertanya masyarakat di zamannya baik
laki-laki maupun perempuan. Ia dipilih oleh masyarakat karena ketinggian ilmu
dan keluhuran pekertinya.
Syekh Hatim bin Ulwan mewakafkan dirinya
untuk masyarakat. Pintu rumahnya terbuka kapan saja, untuk masalah apa saja,
dan bagi siapa saja tanpa memandang kelas sosial, jenis kelamin, dan usia
masyarakat. Pengabdian ini ia jalani selama puluhan tahun tanpa pamrih.
Pada suatu ketika seorang perempuan
mendatangi Syekh Hatim bin Ulwan untuk berkonsultasi atas problematika yang
sedang dia hadapi. Diawali dengan basa-basi pembukaan, perempuan ini
menceritakan kronologi permasalahannya panjang lebar.
Namun, di saat itu ia merasakan keganjilan
dalam perutnya. Angin panas dari dalam tubuhnya mendesak-desak untuk keluar. Ia
ingin kentut. Dengan sekuat tenaga ia menahannya agar tidak keluar di hadapan
seorang ulama besar yang disegani masyarakatnya. Alhamdulillah ia berhasil
meredakan gejolak itu.
Ia meneruskan cerita dengan sedikit gelisah.
Ia kemudian menjelaskan masalah seperlunya. Karena kehilangan konsentrasi, ia
mengakhiri ceritanya dengan sebuah pertanyaan. Tetapi malang, suara kentut dari
duburnya terdengar persis di ujung kalimat pertanyaan. Angin panas itu nyeplos.
Wajahnya merah karena malu. Ia kehilangan muka. Semua sikapnya menjadi salah.
Mau sekali rasanya ia mati di tempat. Ia merasa telah menghina ulama besar yang
dihormati penduduk seisi Khurasan di hadapannya. Ia memastikan Syekh Hatim bin
Ulwan mendengar suara kentut tersebut. Ia menunggu cemas kalimat yang keluar
dari Syekh Hatim bin Ulwan.
Adapun Syekh Hatim bin Ulwan yang sejak awal
mendengarkan perempuan itu sambil mengusap-usap dagunya sempat terkejut. Tetapi
ia berhasil menjaga sikap seolah tidak terjadi apa pun. Ia yakin tamunya tidak
melakukan hal tidak sopan itu dengan niat dan sengaja.
Ia tahu persis perempuan di hadapannya merasa
bersalah hebat. Ia berpikir keras untuk mengembalikan harga diri tamunya. Ia
tidak sampai hati membiarkan tamunya pulang dengan rasa bersalah secara moral.
Segera saja terpikir olehnya untuk bersikap sebagai seorang tua yang kurang
pendengaran. Ia meminta tamunya untuk mengulang pertanyaan tersebut. Ia
memperlihatkan diri sebagai seorang tua yang tuli di hadapan tamunya.
فقال
حاتم ارفعي صوتك
Artinya, “’Bisa diulang lebih keras,’ kata
Hatim bin Ulwan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qami‘ut Thughyan,
[Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 22).
Kalimat permintaan dari Syekh Hatim bin Ulwan
itu melegakan pikirannya. Mengetahui tuan rumah kurang pendengaran karena
tuanya, betapa puas hatinya. Kepercayaan dirinya datang kembali. Ia yakin Syekh
Hatim bin Ulwan juga tidak mendengar kentutnya. Ia kemudian mengulangi
pertanyaannya.
Sejak saat itu Syekh Abu Abdirrahman Hatim
bin Ulwan yang wafat pada tahun 237 H dijuluki Syekh Hatim bin Ulwan Al-Asham
atau Syekh Hatim Al-Asham. Secara harfiah Syekh Hatim Al-Asham berarti Syekh
Hatim yang tuli. Semua ini dilakukannya dalam rangka menjaga kehormatan tamunya
agar tidak kehilangan muka sebagaimana dikisahkan oleh Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq
yang dikutip oleh Syekh M Nawawi Banten sebagai bentuk bukti keimanan seorang
Muslim.
Semangat menutup aib sesama Muslim dan
penghormatan terhadap tetangga didasarkan pada sabda terkenal Rasulullah SAW,
“Siapa saja yang (mengaku) beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia
memuliakan tetangganya.” Wallahu a‘lam. []
(Alhafiz K)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar