Multidimensi Puasa
Oleh: Komaruddin Hidayat
DALAM ibadah puasa Ramadhan ada dimensi lahir (eksoterik) dan ada dimensi batin (essoterik). Yang pertama, kualitas dan dampaknya bisa diukur, sedangkan yang kedua sebaiknya kita yakini dan serahkan pada Allah urusan pahalanya.
Dampak puasa dari sisi kesehatan, analisis dari ilmu kedokteran tentu lebih meyakinkan ketimbang penjelasan dari seorang ahli agama. Banyak penemuan medis bahwa berpuasa membuat badan lebih sehat.
Ini sangat sejalan dengan sabda Rasulullah: Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat. Tentu saja bagi mereka yang tengah sakit atau situasi memaksa kerja keras, malahan dianjurkan agar tidak berpuasa.
Saya sendiri sering memeriksakan darah sebelum dan setelah puasa. Dengan puasa memang badan lebih fit, kolestrol turun, tekanan darah stabil, badan terasa lebih ringan untuk bergerak, pekerjaan kantor lebih efektif.
Dari sisi psikologis, orang puasa juga lebih stabil emosinya dan lebih terkendali. Mereka yang hari-hari biasa mudah marah, ketika puasa berubah jadi penyabar, lisan dan tangannya terjaga. Makanya bulan Ramadan mendatangkan rasa damai secara sosial.
Apa yang disebut "kecerdasan emosi" terlihat ketika seseorang memasuki bulan Ramadhan. Orang yang cerdas emosinya adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kelemahan dirinya, lalu bisa mengoptimalkan sisi baiknya dan meminimalkan sisi kelemahannya.
Dengan mengetahui itu lalu seseorang mampu melakukan kontrol diri. Ciri lain cerdas emosi adalah seseorang pandai memotivasi diri dan orang-orang lain. Kesemuanya itu bisa dikembangkan dengan melaksanakan puasa secara saksama.
Yang paling menonjol dari kehadiran Ramadhan adalah peningkatan ibadah ritual. Di samping menahan diri tidak makan dan minum di siang hari, volume ritual sunah naik, yaitu salat tarawih serta mengikuti forum-forum ceramah keagamaan. Ini semua merupakan aspek eksoterik atau aktivitas lahiriah puasa yang bisa diamati dan diukur.
Adapun aspek esoteriknya, kita bisa saja menduga-duga kualitas dan dampaknya, namun yang pasti kita tidak tahu. Misalnya, seberapa dalam dan intens keikhlasan seseorang menjalani puasa semata hanya karena dan untuk Allah, kita tidak tahu isi hati seseorang.
Seberapa ikhlas dan khusyuk ibadah seseorang, lalu permohonan apa yang paling banyak dipanjatkan pada Tuhan, kita juga tidak tahu. Terlebih lagi jika memasuki pahala puasa yang dijanjikan Allah, baik ampunan dosa, curahan rahmat, maupun imbalan surga di akhirat kelak, semuanya kita serahkan kepada Allah.
Yang penting bagi orang beriman adalah mematuhi perintahnya dengan benar dan tulus ikhlas, selalu berusaha mendalami makna dan hikmah yang terkandung, dan menata hati agar benar-benar ikhlas semata karena dan untuk Allah. Jangan kita rusak ibadah kita dengan mengharap pujian dari manusia.
Jadi, ada dimensi lahiriah ibadah puasa yang memang bisa diukur dan diamati, misalnya kapan mulai sahur, kapan berbuka. Juga berapa jumlah rakaat salat tarawih, apakah kita paham makna bacaan dan doa-doanya, semua itu bisa diukur. Bisa dilakukan tes bagi para siswa sekolah. Begitu pun dampak sosial dan ekonomi puasa, meskipun tidak persis dan akurat, kita bisa mengamati dan merasakannya.
Namun, dalam ibadah puasa terdapat rahasia ilahi yang nalar kita tidak sampai. Paling jauh nalar mencoba menafsirkan dan menggali hikmahnya. Adapun tujuan akhir perintah puasa adalah untuk meningkatkan ketakwaan.
Lagi-lagi, dimensi batin dari takwa adalah rahasia Allah. Meskipun ketakwaan seseorang itu rahasia Allah, sampai batas tertentu nilai ketakwaan itu terekspresikan dalam perilaku sosial seseorang, sehingga berbagai dimensi puasa itu saling mengisi dan melengkapi yang lain. []
KORAN SINDO, 10 Mei 2019
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar