Penentuan Khasiat Suatu
Wirid dalam Pandangan Islam
Seringkali kita mendengar dari para guru atau
dari tokoh tertentu tentang suatu bacaan yang apabila dibaca dengan tata cara
tertentu, maka akan menghasilkan khasiat tertentu. Beberapa orang
mempermasalahkan amalan semacam ini sebab dianggap tidak ada haditsnya atau
tidak ada tuntunannya dari Rasulullah sehingga mereka berasumsi bahwa hal
seperti ini adalah bagian dari bidah yang sesat itu. Padahal, sebenarnya
fenomena semacam ini bukan hal baru.
Di masa Rasulullah Muhammad ﷺ, penentuan
khasiat suatu bacaan tanpa diajarkan oleh Rasul sudah terjadi. Dalam
kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meriwayatkan kisah panjang berikut:
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى
نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ
يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ
الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ،
فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ،
وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ
مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ
وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ
حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ،
فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ
فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ،
قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ
بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ،
فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ»،
ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا»
فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu
berkata; Ada rombongan beberapa orang dari sahabat Nabi ﷺ yang bepergian dalam
suatu perjalanan hingga ketika mereka sampai di salah satu perkampungan Arab
penduduk setempat mereka meminta agar bersedia menerima mereka sebagai tamu
peenduduk tersebut namun penduduk menolak. Kemudian kepala suku kampung
tersebut terkena sengatan binatang lalu diusahakan segala sesuatu untuk
menyembuhkannya namun belum berhasil. Lalu diantara mereka ada yang berkata:
"Coba kalian temui rambongan itu semoga ada diantara mereka yang memiliki
sesuatu. Lalu mereka mendatangi rambongan dan berkata: "Wahai rambongan,
sesunguhnya kepala suku kami telah digigit binatang dan kami telah mengusahakan
pengobatannya namun belum berhasil, apakah ada diantara kalian yang dapat
menyembuhkannya?" Maka berkata, seorang dari rambongan: "Ya, demi
Allah aku akan mengobati namun demi Allah kemarin kami meminta untuk menjadi
tamu kalian namun kalian tidak berkenan maka aku tidak akan menjadi orang yang
mengobati kecuali bila kalian memberi upah. Akhirnya mereka sepakat dengan
imbalan puluhan ekor kambing. Maka dia berangkat dan membaca Alhamdulillah
rabbil 'alamiin (QS. al-Fatihah) seakan penyakit lepas dari ikatan tali padahal
dia pergi tidak membawa obat apa pun. Dia berkata: "Maka mereka membayar
upah yang telah mereka sepakati kepadanya. Seorang dari mereka berkata:
"Bagilah kambing-kambing itu!" Maka orang yang mengobati berkata:
"Jangan kalain bagikan hingga kita temui Nabi ﷺ lalu kita ceritakan
kejadian tersebut kepada Beliau ﷺ dan kita tunggu apa
yang akan Beliau perintahkan kepada kita". Akhirnya rombongan menghadap
Rasulullah ﷺ lalu mereka
menceritakan peristiwa tersebut. Beliau berkata: "Kamu tahu dari mana
kalau al fatihah itu bisa sebagai ruqyah (jampi)?" Kemudian Beliau melanjutkan:
"Kalian telah melakukan perbuatan yang benar, maka bagilah upah
kambing-kambing tersebut dan masukkanlah aku dalam sebagai orang yang menerima
upah tersebut", lalu Rasulullah ﷺ tertawa." (HR.
Bukhari)
Simak pertanyaan Rasulullah kepada sahabat itu
"Kamu tahu dari mana kalau al-Fatihah bisa sebagai ruqyah?". Ini
menunjukkan bahwa Rasulullah belum pernah mengajari fungsi al-Fatihah sebagai
ruqyah tetapi sahabat tadi berinisiatif sendiri atau dalam kata lain menentukan
khasiat sendiri tanpa ada tuntunan wahyu atau hadits. Hal ini diperjelas dengan
riwayat lain dari Imam Daraquthni sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar
berikut:
وللدَّارَقُطْنِيِّ
مِنْ هَذَا الْوَجْهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَيْءٌ أُلْقِيَ فِي رُوعِي
وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمٌ مُتَقَدِّمٌ
بِمَشْرُوعِيَّةِ الرُّقَى بِالْفَاتِحَةِ
"Daraquthni dari sisi ini mempunyai
riwayat 'Maka aku berkata: Wahai Rasul, itu adalah sesuatu yang disampaikan ke
dalam hatiku'. Hal ini jelas sekali bahwa sahabat itu tidak punya pengetahuan
sebelumnya tentang disyariatkannya ruqyah dengan Fatihah." (Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fath al-Bâri, juz IV, halaman 457)
Penjelasan dari riwayat Imam Daraquthni ini
menunjukkan bahwa sahabat itu mendapat semacam ilham dalam hatinya bahwa
al-Fatihah bisa digunakan sebagai ruqyah. Dari sini kita bisa menyimpulkan
bahwa khasiat suatu ayat atau bacaan dzikir yang disepakati sebagai kebaikan
bisa diketahui dengan jalan ilham. Rasul sama sekali tidak berkata "Kamu
melakukan bid'ah" atau bertanya "Mana dalilnya bahwa al-Fatihah bisa
sebagai ruqyah?", melainkan menyetujui itu dan bahkan meminta bagian dari
upah ruqyah itu sebagai tanda dukungan beliau atas inisiatif cerdas sahabat
tersebut.
Jadi soal penentuan khasiat tanpa tuntunan
ayat atau hadits itu diperbolehkan berdasarkan hadits sahih di atas. Kita tak
bisa berkata bahwa ini khusus Surat Fatihah saja dan khusus khasiat sebagai
ruqyah saja sebab yang demikian berarti takhshîsh bighairi mukhasshish,
mengkhususkan cakupan suatu dalil tanpa adanya dalil hadits lain yang
menyatakan kekhususan itu. Pengkhususan semacam ini sama saja dengan
menambah-nambah syariat sendiri atau dengan kata lain perbuatan
bid’ah. Wallahu a'lam. []
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar