Agama, Homo Sapiens, dan Politik Pascakebenaran
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Artikel ini barulah merupakan uraian selintas mengenai pokok
bahasan yang berat, fundamental, dan ruwet. Karena sifatnya yang selintas,
orang tidak akan menemukan sesuatu yang mendalam, komprehensif, dan perinci
saat membacanya.
Dalam bacaan saya, semua agama sama-sama ingin membangun peradaban
yang adil dan asri, bukan mendorong munculnya kebiadaban yang ganas, zalim, dan
mematikan. Jika yang kedua ini yang berlaku, sudah dapat dipastikan bahwa itu
adalah agama palsu atau agama yang disalahtafsirkan, yang disalahgunakan untuk
tujuan-tujuan politik kekuasaan tunamoral.
Tentang sosok homo sapiens yang biasa dipahami sebagai manusia
berpikir, bernalar, dan mampu berkontemplasi, saya lebih cenderung mengikuti
definisi AJ Toynbee sebagai ‘manusia si bijak’, si arif’. (Lih. A.J. Toynbee, Surviving the Future.
London: Oxford University Press, 1973, hlm. 44).
Definisi serupa juga disebut oleh penulis Israel kontemporer DR.
Yuval Noah Harari dalam karyanya yang banyak dibaca berjudul Sapiens, A Brief History of Mankind.
London: Vintage Books, 2014, hlm. 8. Tetapi, menurut Harari, mengartikan homo
sapiens sebagai ‘wise man’ (manusia si bijak) adalah penamaan yang tidak sopan,
tidak beradat. Saya tidak sependapat dengan Harari dalam konteks ini, sebab
‘manusia si bijak’ itu adalah tipe ideal yang perlu diperjuangkan terus-menerus
tanpa lelah.
Mengapa demikian? Mungkin pendapat Toynbee dalam buku di atas pada
halaman yang sama sedikit menjelaskan poin kita seperti berikut ini: “Baru
sedikit kita menunjukkan kearifan dalam mengatur diri kita sendiri dan dalam
menangani hubungan antara satu sama lain. Sekiranya kita berhasil dengan selamat
melalui revolusi teknologis ini, maka barulah kita menjadi homo sapiens dalam
hakikat dan dalam nama.”
Boleh jadi, kegusaran batin Toynbee dalam menghadapi revolusi
teknologis ini akan semakin parah jika dia masih hidup pada era politik
pascakebenaran dengan pengaruh masif medsos yang tak terkendali. Toynbee sudah
meninggal pada 1989 dalam usia 86 tahun (1889-1975). Dengan demikian, dia tidak
menyaksikan betapa gusar dan cemasnya umat manusia pada era kita ini.
Ungkapan era pascakebenaran sama saja dengan era sarat kebohongan,
sarat hoaks. Ironisnya, orang yang mengaku beragama juga 'menikmati' kultur
kepalsuan yang tidak ada kaitannya dengan definisi Toynbee tentang homo
sapiens, apalagi dengan definisi Alquran tentang makhluk yang dimuliakan.
Dalam surah al-Isrâ’ ayat 70, Allah memang memberikan status mulia
kepada manusia: “Dan sesungguhnya Kami telah muliakan bani adam (umat manusia),
dan telah Kami siapkan kendaraan bagi mereka di darat dan di laut. Dan Kami
beri rezeki mereka dari segala yang baik. Dan sungguh Kami lebihkan mereka dari
kebanyakan [makhluk] yang telah Kami ciptakan.”
Status mulia ini bukan tanpa syarat, seperti dijelaskan oleh ayat
yang lain. Dalam surah al-Tîn ayat 4-6 kita baca syarat itu: “Sungguh Kami
telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami jatuhkan
dia ke posisi yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, maka mereka itu akan mendapat pahala tanpa putus.”
Membangun peradaban yang adil dan asri adalah kerja besar sebagai
wujud amal-saleh pada tingkat lokal, regional, nasional, dan global. Umat
Muslim masa ini mungkin sudah punya mimpi tentang kerja besar itu, tetapi
posisi mereka yang sedang tersungkur di kaki peradaban belum dalam kapasitas
untuk bergerak ke sana.
Dalam surah al-Ahzâb ayat 72, manusia digambarkan sebagai makhluk
yang mampu memikul amanah, sementara makhluk lain menolaknya: “Sesungguhnya
Kami telah tawarkan amanah itu kepada langit-langit, bumi, dan gunung-gemunung,
maka mereka enggan memikulnya dan mereka merasa khawatir tentang [amanah] itu.
Dan manusia [bersedia] memikulnya; sesungguhnya dia itu penganiaya, bodoh.”
Jika demikian, siapakah manusia itu sebenarnya?
Pada satu tempat Alquran memuji dan memuliakan manusia itu, di
lain tempat, jika membangkang dan berkhianat, lalu dibenamkan pada posisi hina,
zalim, dan bodoh. Terdapat ketegangan moral di sini. Dalam situasi ketegangan
moral itulah jenis homo sapiens ini dituntut untuk membangun peradaban dan
menghancurkan kebiadaban atas nama apa pun, pada era mana pun, termasuk pada
era politik pascakebenaran.
Sungguh tugas dan misi besar ini hanya mungkin diemban oleh tipe
manusia kuat, bijak, visioner, lapang dada, dan pemaaf, sebuah harapan yang
masih jauh di ufuk sana. Tetapi, karena Alquran melarang kita untuk putus asa
dalam menghadapi kondisi yang paling kritis sekalipun, maka sikap saya adalah:
terus mengibarkan panji-panji optimisme di tengah kecemasan global dan di
tengah lautan pesimisme umat manusia. Pilihan lain tidak ada, kecuali jika mau
harakiri, sesuatu yang diharamkan agama! []
REPUBLIKA, 21 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar