Kamis, 23 Mei 2019

Buya Syafii: Agama, Homo Sapiens, dan Politik Pascakebenaran


Agama, Homo Sapiens, dan Politik Pascakebenaran
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Artikel ini barulah merupakan uraian selintas mengenai pokok bahasan yang berat, fundamental, dan ruwet. Karena sifatnya yang selintas, orang tidak akan menemukan sesuatu yang mendalam, komprehensif, dan perinci saat membacanya.

Dalam bacaan saya, semua agama sama-sama ingin membangun peradaban yang adil dan asri, bukan mendorong munculnya kebiadaban yang ganas, zalim, dan mematikan. Jika yang kedua ini yang berlaku, sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah agama palsu atau agama yang disalahtafsirkan, yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politik kekuasaan tunamoral.

Tentang sosok homo sapiens yang biasa dipahami sebagai manusia berpikir, bernalar, dan mampu berkontemplasi, saya lebih cenderung mengikuti definisi AJ Toynbee sebagai ‘manusia si bijak’, si arif’. (Lih. A.J. Toynbee, Surviving the Future. London: Oxford University Press, 1973, hlm. 44).

Definisi serupa juga disebut oleh penulis Israel kontemporer DR. Yuval Noah Harari dalam karyanya yang banyak dibaca berjudul Sapiens, A Brief History of Mankind. London: Vintage Books, 2014, hlm. 8. Tetapi, menurut Harari, mengartikan homo sapiens sebagai ‘wise man’ (manusia si bijak) adalah penamaan yang tidak sopan, tidak beradat. Saya tidak sependapat dengan Harari dalam konteks ini, sebab ‘manusia si bijak’ itu adalah tipe ideal yang perlu diperjuangkan terus-menerus tanpa lelah.

Mengapa demikian? Mungkin pendapat Toynbee dalam buku di atas pada halaman yang sama sedikit menjelaskan poin kita seperti berikut ini: “Baru sedikit kita menunjukkan kearifan dalam mengatur diri kita sendiri dan dalam menangani hubungan antara satu sama lain. Sekiranya kita berhasil dengan selamat melalui revolusi teknologis ini, maka barulah kita menjadi homo sapiens dalam hakikat dan dalam nama.”

Boleh jadi, kegusaran batin Toynbee dalam menghadapi revolusi teknologis ini akan semakin parah jika dia masih hidup pada era politik pascakebenaran dengan pengaruh masif medsos yang tak terkendali. Toynbee sudah meninggal pada 1989 dalam usia 86 tahun (1889-1975). Dengan demikian, dia tidak menyaksikan betapa gusar dan cemasnya umat manusia pada era kita ini.

Ungkapan era pascakebenaran sama saja dengan era sarat kebohongan, sarat hoaks. Ironisnya, orang yang mengaku beragama juga 'menikmati' kultur kepalsuan yang tidak ada kaitannya dengan definisi Toynbee tentang homo sapiens, apalagi dengan definisi Alquran tentang makhluk yang dimuliakan.

Dalam surah al-Isrâ’ ayat 70, Allah memang memberikan status mulia kepada manusia: “Dan sesungguhnya Kami telah muliakan bani adam (umat manusia), dan telah Kami siapkan kendaraan bagi mereka di darat dan di laut. Dan Kami beri rezeki mereka dari segala yang baik. Dan sungguh Kami lebihkan mereka dari kebanyakan [makhluk] yang telah Kami ciptakan.”

Status mulia ini bukan tanpa syarat, seperti dijelaskan oleh ayat yang lain. Dalam surah al-Tîn ayat 4-6 kita baca syarat itu: “Sungguh Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami jatuhkan dia ke posisi yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan mendapat pahala tanpa putus.”

Membangun peradaban yang adil dan asri adalah kerja besar sebagai wujud amal-saleh pada tingkat lokal, regional, nasional, dan global. Umat Muslim masa ini mungkin sudah punya mimpi tentang kerja besar itu, tetapi posisi mereka yang sedang tersungkur di kaki peradaban belum dalam kapasitas untuk bergerak ke sana.

Dalam surah al-Ahzâb ayat 72, manusia digambarkan sebagai makhluk yang mampu memikul amanah, sementara makhluk lain menolaknya: “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah itu kepada langit-langit, bumi, dan gunung-gemunung, maka mereka enggan memikulnya dan mereka merasa khawatir tentang [amanah] itu. Dan manusia [bersedia] memikulnya; sesungguhnya dia itu penganiaya, bodoh.” Jika demikian, siapakah manusia itu sebenarnya?

Pada satu tempat Alquran memuji dan memuliakan manusia itu, di lain tempat, jika membangkang dan berkhianat, lalu dibenamkan pada posisi hina, zalim, dan bodoh. Terdapat ketegangan moral di sini. Dalam situasi ketegangan moral itulah jenis homo sapiens ini dituntut untuk membangun peradaban dan menghancurkan kebiadaban atas nama apa pun, pada era mana pun, termasuk pada era politik pascakebenaran.

Sungguh tugas dan misi besar ini hanya mungkin diemban oleh tipe manusia kuat, bijak, visioner, lapang dada, dan pemaaf, sebuah harapan yang masih jauh di ufuk sana. Tetapi, karena Alquran melarang kita untuk putus asa dalam menghadapi kondisi yang paling kritis sekalipun, maka sikap saya adalah: terus mengibarkan panji-panji optimisme di tengah kecemasan global dan di tengah lautan pesimisme umat manusia. Pilihan lain tidak ada, kecuali jika mau harakiri, sesuatu yang diharamkan agama! []

REPUBLIKA, 21 Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar