Umar bin Khatab dan
Panci Rakyat Miskin
Suatu masa dalam
kepemimpinan ‘Umar, terjadi “Tahun Abu”. Masyarakat Arab menderita masa
paceklik berat. Hujan tak lagi turun, pepohonan mengering, hewan-hewan mati.
Tanah tempat berpijak hampir menghitam layaknya abu.
Suatu malam, bersama
sahabatnya Aslam, Khalifah ‘Umar berjalan-jalan ke kampung terpencil yang
berada di tengah gurun sepi. Tiba-tiba beliau terkaget. Dari sebuah kemah yang
sudah rombeng, terdengar suara gadis kecil menangis keras. ‘Umar bin Khaththab
dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, untuk mengecek bila penghuninya
membutuhkan bantuan.
Umar:
Assalamualaikum..
Wanita Janda:
Waalaikumsalam (sedikit mengabaikan, dan kemudian melanjutkan pekerjaanya yaitu
sambil mengaduk panci)
Umar: Boleh aku
mendekat?
Wanita Janda:
Silahkan, jika kau membawa kebaikan
(Kemudian umar
mendekati wanita yang sendang mengaduk panci tersebut)
Umar: Siapakah
gerangan yang menangis di dalam itu?
Wanita Janda:
Anakku….
Umar: Kenapa
anak-anakmu menangis? Apakah ia sakit?
Wanita Janda: Tidak,
mereka lapar.
(Umar dan Aslam
tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam.
Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi
pancinya)
Umar: Apa yang sedang
kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?
Wanita Janda: Hmmm,
kau lihatlah sendiri!
(Umar dan Aslam
segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka
melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak
percaya, Umar berteriak)
Umar: Apakah kau
memasak batu?!
Wanita Janda: Aku
memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar
bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah
terpenuhi apa belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku
dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan
harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak.
Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut
yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan
kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan
ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar,
sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.
(Wanita janda itu
diam sejenak, kemudian ia melanjutkan)
Namun apa dayaku?
Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin
kebutuhan rakyatnya.
(Mendengar penuturan
wanita itu, Aslam berniat menegur perempuan itu. Namun Khalifah ‘Umar sempat
mencegah)
(Dengan air mata
berlinang beliau bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah.
Tanpa istirahat lagi, ‘Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk
diberikan kepada janda tua nan sengsara itu.)
Umar: Angkatkan ke
punggungku.
Aslam: Wahai Amirul
Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu…
Umar: Aslam, jangan
jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini,
apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari
pembalasan kelak? (dengan wajah yang merah padam)
Aslam tertunduk.
Tersuruk-suruk Khalifah ‘Umar berjuang memikul karung gandum itu. Angin
berhembus membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.
Sesampainya ditempat
wanita jandi tersebut umar langsung menyuruh dan mebantu wanita tersebut untuk
memasak.
Umar: (sambil
memberikan serantang gandum) Masukkan gandumnya dan aku yang akan
mengaduknya.
(Umar sembari meniup
asap untuk menghidupkan apinya)
(Setelah masak,
Sayyidina Umar pun mengajak keluarga yang miskin itu untuk makan.)
Wanita janda:
Kemarilah,,, kemarilah anaku,, ayo kita makan.
(Sambil melihat
mereka makan, Umar duduk tersenyum dalam hatinya. Hatinya berasa sangat lega
kerana melihat anak-anak kecil itu kembali gembira.)
Wanita janda: Semoga
Allah membalas kebaikanmu dengan yang lebih baik. Engkau lebih baik dibanding
khalifah Umar.
Umar: Berkatalah yang
baik-baik, besok termui Amirul Mukminin dan kau bisa temui aku juga disana.
InsyaAllah ia akan mencukupimu
(Pada keesokan hari
itu, datanglah ibu itu ke Baitul Mal. Umar pun menyambut dengan senyum bahagia.
Ketika ibu itu melihat wajah Khalifah, dia menyadari bahwa orang yang
membantunya semalam adalah Umar sang Amirul Mu'minin, )
(Wanita itu gemetaran
dan terlihat ketakutan)
Wanita janda: Aku
mohon maaf! aku telah menyumpahi dengan kata-kata dzalim kepada engkau. aku
sudah siap menerima hukuman yang akan ditimpakan.
Umar: Ibu tidak
bersalah, akulah yang bersalah selama ini. Aku berdosa membiarkan seorang ibu
dan anak kelaparan di wilayah kekuasaannku, bagaimana aku
mempertanggungjawabkan dihadapan Allah?. Sudi kiranya Ibu memaafkan aku?
(Beliau masih sempat
datang membawa makanannya sendiri sekedar untuk memenuhi kebutuhan makanan
wanita dan anaknya yang kelaparan).[]
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar