Kamis, 23 Mei 2019

(Ngaji of the Day) Debat Seorang Habib dan Khatib Perihal Hari Raya


Debat Seorang Habib dan Khatib Perihal Hari Raya

Lebaran tinggal menghitung hari. Saat ini mulai berseliweran kendaraan yang mengantarkan jutaan Muslim di tanah air menuju kampung daerahnya. Mereka berbondong-bondong mudik, bersilaturrahmi, sungkem orang tua di kampung, memanfaatkan libur lebaran, cuti sementara dari tempat mereka mengais rezeki.

Sebagian dari mereka tengah dalam perjalanan, sebagian mungkin masih bersiap-siap mudik dan banyak juga yang sudah berada di kampung halaman, tinggal menunggu hasil itsbat pemerintah untuk penetapan 1 Syawal tahun ini.

Bicara mengenai itsbat pemerintah, ada kisah menarik yang menimpa seorang habib di negeri para wali. Suatu ketika di kota Tarim-Yaman telah ditetapkan hari raya berdasarkan penetapan rukyatul hilal dari qadhi setempat.

Para saksi mata yang melihat hilal sudah disumpah, diverifikasi dan sebagainya hingga qadhi memutuskan hari raya di tahun itu tidak perlu menyempurnakan Ramadhan menjadi 30 hari, sebab hilal sudah berhasil dilihat.

Masyarakat Tarim di malam harinya dengan suka cita merayakan hari raya, kumandang takbir menggema di sepanjang jalan, surau dan masjid-masjid. Keesokan harinya, mereka bersiap untuk melaksanakan shalat ‘Idul Fitri secara berjama’ah, mereka berkumpul menunggu kedatangan imam dan khathib.

Di saat berkumpul itu, ada kejanggalan menyelimuti mereka, salah seorang tokoh habaib dari fam al-‘Idrus tidak keluar rumah untuk mengikuti shalat ‘id, tidak seperti biasanya. Agar terkuak apa yang sebenarnya terjadi, ulama yang bertindak sebagai khatib mendatangi kediaman sang habib untuk mengklarifikasi ketidakhadirannya di tempat shalat id dan membujuknya agar tidak menyelesihi hari raya mayoritas.

“Habib, mengapa engkau tidak ikut shalat id?” tanya khatib mengawali obrolan. “Aku semalam bertanya kepada Nabi, apakah hari ini sudah lebaran, beliau menjawab belum, maka hari ini aku masih berpuasa, tidak berbuka,” terang sang habib.

Argumen dari habib cukup kuat, namun sepertinya khatib tidak mau kalah begitu saja. Khatib memberi argumen yang tidak kalah kuat:

أنت رأيته في المنام وأنا رأيته في اليقظة وقال لي الليلة البارحة من ليالي شوال واليوم هذا من أيام شوال

Artinya, “Habib, engkau melihat Nabi hanya dalam mimpi, sementara aku melihatnya di alam nyata. Nabi mengatakan, tadi malam sudah memasuki Syawwal, dan hari ini merupakan bagian dari hari-hari Syawwal.”

Rupanya jawaban khatib membuat habib terkejut dan terheran-heran, bagaimana mungkin Nabi menemuinya di alam nyata. “Bagaimana bisa demikian?” tanya habib. Khatib bertanya balik:

ألم يبلغك قوله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

Artinya, “Apakah belum sampai kepadamu, hadits Nabi, berpuasalah setelah melihat hilal (Ramadhan), berbukalah setelah melihat hilal (Syawwal)?”

Habib mulai terbawa dalam jebakan sang khatib, ia tidak bisa menghindarnya. “Tentu, saya mendengarnya,” jawab Habib.

Khatib rupanya tinggal mengeksekusi perdebatan itu, karena Habib sudah masuk dalam perangkapnya. Khatib mengatakan dengan sangat brilian:

رؤياك رؤيا منام وهذه رؤيا حق رواها الثقات عن الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وتكلم به في اليقظة

Artinya, “Melihatmu adalah melihat dalam mimpi, dan melihat (sabda Nabi) ini adalah melihat nyata, yang diriwayatkan orang-orang terpercaya dari orang-orang terpercaya dari Rasulullah, dan Nabi mengatakannya di alam nyata.”

Habib taslim dan mengakui bahwa dirinya salah. Ia sangat berterima kasih karena sudah diingatkan. Ia mengatakan:

جزاك الله عنا خيرا كلامه صلى الله عليه وسلم حق وكلامك حق هاتوا التمر والماء

Artinya, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, Sabda Nabi ini nyata dan ungkapanmu juga nyata. Ambilkan kurma dan air.”

Setelah itu, sang Habib berbuka, keluar rumah dan mengikuti shalat ‘Id bersama-sama dengan segenap penduduk Tarim.

Demikian keteladanan para ulama dan habaib kita. Mereka berdebat bukan untuk menang-menangan, bukan sekadar debat kusir tak berkesudahan. Namun dengan semangat saling mengingatkan, menunjukkan kebaikan dan kebenaran. Karenanya, setelah menyampaikan cerita di atas, Sayyid Ahmad bin Hasan Al-Atthas berkata:

هكذا كان أهل الاعتراف والإنصاف نفع الله بالجميع

Artinya, “Demikian ini perilaku sosok yang mengakui (kebenaran orang lain) dan objektif (dalam berdebat), semoga Allah memberi manfaat kepada semuanya.”

Disarikan dari Sayyid Ahmad bin Hasan bin Abdullah Al-‘Atthas, Tadzkirun Nas, halaman 250-251, Maktabah Al-Makruf, Huraidha-Yaman, tanpa keterangan cetak. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar