Islam
Indonesia: Model Plurikulturalisme
Oleh:
Azyumardi Azra
Pluralisme
atau plurikulturalisme atau multikulturalisme jelas terus meningkat, baik di
Jerman dan negara-negara Eropa lain maupun di Indonesia. Peningkatan itu
terkait banyak dengan globalisasi dan situasi politik dan ekonomi di berbagai
negara yang mendorong banyak orang mengadakan lebih banyak perjalanan dan
migrasi dari satu negara ke negara lain.
Namun,
peningkatan plurikulturalisme atau kemajemukan penduduk di Jerman, Indonesia,
dan banyak negara lain cenderung tidak disertai bertambahnya saling pengertian
dan penghargaan di antara komunitas-komunitas berbeda secara sosio-kultural dan
agama. Gejala yang muncul dan berkembang justru mengarah pada ketegangan dan
konflik di tengah berbagai kelompok masyarakat berbeda.
Dalam
kaitan itu, sejak akhir 1980-an di berbagai negara Eropa terjadi kecenderungan
peningkatan ‘rough tribalism’—tribalisme, kesukuan, dan rasialisme yang kasar.
Gejala ini selanjutnya berkembang ke arah ‘politik identitas’ (identity politics) sayap
kanan yang anti-migran dan sekaligus anti-Muslim dan anti-Islam.
Sementara
itu, Indonesia dengan lingkungan sosial, budaya, agama, dan politik berbeda
juga mengalami peningkatan politik identitas Islam. Gejala ini terlihat paling
jelas sejak Pilkada Provinsi DKI Jakarta mulai akhir 2017 dan awal 2018, yang
memunculkan aksi massa Muslim dalam jumlah besar yang sepanjang Pilpres 2019
menyebut diri ‘alumni 212’.
Dalam
konteks semua perkembangan itu, pembicaraan tentang Islam Indonesia menjadi hal
penting bagi Eropa, khususnya pemerintah dan kepemimpinan sosial, kultural dan
keagamaan masyarakat Jerman. Untuk kepentingan ini, KBRI Berlin
menyelenggarakan konferensi bertajuk ‘Toleransi Islam di Dalam Masyarakat
Plurikultural’ pada 29 April 2019.
Konferensi
ini diselenggarakan di Villa-Borsig Berlin, bangunan bersejarah yang dikelola
Kemenlu Jerman. Vila ini memiliki signifikansi tersendiri dalam mempromosikan
dialog tentang toleransi dan kerja sama antarumat beragama di Jerman; juga
melalui program khusus bertajuk ‘Villa-Borsig-Talk on Religion and Foreign
Policy’.
Pembicaraan
dalam konferensi meja bundar yang merupakan forum terbatas diikuti sekitar 50
pejabat Pemerintah Jerman dan Indonesia, anggota parlemen Jerman, tokoh dan
pemimpin agama (Kristen, Yahudi, dan Islam), profesor universitas, jurnalis,
dan aktivis civil society.
Kehadiran berbagai kalangan berbeda ini mengisyaratkan bahwa Islam dan
kerukunan beragama menjadi salah satu minat dan concern mereka.
Konferensi
menghadirkan dua pembicara; penulis Resonansi ini dan Rafi Gurbanov, Baku,
Azerbaijan dengan moderator Pendeta Dr Nikodemus Schnabel. Sedangkan pengantar
pembicaraan diberikan Duta Besar untuk Agama dan Kebijakan Luar Negeri,
Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman, Volker Berresheim; dan catatan
penutup disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegreseno.
Dalam
pengantar cukup panjang, Berresheim menyatakan, Indonesia dan Azerbaijan yang
merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim dapat menjadi model bagi
toleransi dalam masyarakat plurikultural. Dubes Barresheim yang pernah bertugas
di Indonesia, melihat Islam Indonesia memiliki karakter khusus yang membuatnya
dapat menjadi model kehidupan dan toleransi antarumat beragama negara-negara
lain.
Lebih
jauh, menurut Berresheim, Islam yang berkembang di Indonesia menjadi inspirasi
bagi Jerman. “Islam Indonesia dapat menjadi alternatif untuk mengimbangi corak
Islam dari etnis atau ras lain yang saat ini berkembang hegemonik di Jerman”.
Selanjutnya,
Berresheim berargumen: “Kita perlu memperkenalkan ke publik Jerman, corak dan
warna Islam yang lain. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang
dipraktikkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu
menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan kelompok etnis atas suku bangsa
yang sangat beragam”.
“Coba
Anda bayangkan, sekitar 260 juta penduduk terpencar di ribuan pulau di
Indonesia dengan ratusan budaya dan bahasa serta agama dan kepercayaan yang
beragam, mampu hidup secara damai. Dan sekitar 87 persen penduduk Islam
beragama Islam.”
Mempertimbangkan
hal tersebut, Dubes Berresheim berharap agar Indonesia dapat berkontribusi
lebih besar dalam memajukan dialog dan kerja sama antarumat beragama di
negara-negara Eropa khususnya. Untuk kepentingan itu, perlu inisiatif dan
prakarsa lebih intensif dari pihak Pemerintah Indonesia melalui
kementerian/lembaga relevan terkait bekerja sama dengan berbagai pihak
non-pemerintah, seperti perguruan tinggi dan ormas-ormas keagamaan dan LSM civil society. []
REPUBLIKA,
16 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar