Jumat, 17 Mei 2019

Azyumardi: Islam Indonesia: Model Plurikulturalisme


Islam Indonesia: Model Plurikulturalisme
Oleh: Azyumardi Azra

Pluralisme atau plurikulturalisme atau multikulturalisme jelas terus meningkat, baik di Jerman dan negara-negara Eropa lain maupun di Indonesia. Peningkatan itu terkait banyak dengan globalisasi dan situasi politik dan ekonomi di berbagai negara yang mendorong banyak orang mengadakan lebih banyak perjalanan dan migrasi dari satu negara ke negara lain.

Namun, peningkatan plurikulturalisme atau kemajemukan penduduk di Jerman, Indonesia, dan banyak negara lain cenderung tidak disertai bertambahnya saling pengertian dan penghargaan di antara komunitas-komunitas berbeda secara sosio-kultural dan agama. Gejala yang muncul dan berkembang justru mengarah pada ketegangan dan konflik di tengah berbagai kelompok masyarakat berbeda.

Dalam kaitan itu, sejak akhir 1980-an di berbagai negara Eropa terjadi kecenderungan peningkatan ‘rough tribalism’—tribalisme, kesukuan, dan rasialisme yang kasar. Gejala ini selanjutnya berkembang ke arah ‘politik identitas’ (identity politics) sayap kanan yang anti-migran dan sekaligus anti-Muslim dan anti-Islam.

Sementara itu, Indonesia dengan lingkungan sosial, budaya, agama, dan politik berbeda juga mengalami peningkatan politik identitas Islam. Gejala ini terlihat paling jelas sejak Pilkada Provinsi DKI Jakarta mulai akhir 2017 dan awal 2018, yang memunculkan aksi massa Muslim dalam jumlah besar yang sepanjang Pilpres 2019 menyebut diri ‘alumni 212’.

Dalam konteks semua perkembangan itu, pembicaraan tentang Islam Indonesia menjadi hal penting bagi Eropa, khususnya pemerintah dan kepemimpinan sosial, kultural dan keagamaan masyarakat Jerman. Untuk kepentingan ini, KBRI Berlin menyelenggarakan konferensi bertajuk ‘Toleransi Islam di Dalam Masyarakat Plurikultural’ pada 29 April 2019.

Konferensi ini diselenggarakan di Villa-Borsig Berlin, bangunan bersejarah yang dikelola Kemenlu Jerman. Vila ini memiliki signifikansi tersendiri dalam mempromosikan dialog tentang toleransi dan kerja sama antarumat beragama di Jerman; juga melalui program khusus bertajuk ‘Villa-Borsig-Talk on Religion and Foreign Policy’.

Pembicaraan dalam konferensi meja bundar yang merupakan forum terbatas diikuti sekitar 50 pejabat Pemerintah Jerman dan Indonesia, anggota parlemen Jerman, tokoh dan pemimpin agama (Kristen, Yahudi, dan Islam), profesor universitas, jurnalis, dan aktivis civil society. Kehadiran berbagai kalangan berbeda ini mengisyaratkan bahwa Islam dan kerukunan beragama menjadi salah satu minat dan concern mereka.

Konferensi menghadirkan dua pembicara; penulis Resonansi ini dan Rafi Gurbanov, Baku, Azerbaijan dengan moderator Pendeta Dr Nikodemus Schnabel. Sedangkan pengantar pembicaraan diberikan Duta Besar untuk Agama dan Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman, Volker Berresheim; dan catatan penutup disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegreseno.

Dalam pengantar cukup panjang, Berresheim menyatakan, Indonesia dan Azerbaijan yang merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim dapat menjadi model bagi toleransi dalam masyarakat plurikultural. Dubes Barresheim yang pernah bertugas di Indonesia, melihat Islam Indonesia memiliki karakter khusus yang membuatnya dapat menjadi model kehidupan dan toleransi antarumat beragama negara-negara lain.

Lebih jauh, menurut Berresheim, Islam yang berkembang di Indonesia menjadi inspirasi bagi Jerman. “Islam Indonesia dapat menjadi alternatif untuk mengimbangi corak Islam dari etnis atau ras lain yang saat ini berkembang hegemonik di Jerman”.

Selanjutnya, Berresheim berargumen: “Kita perlu memperkenalkan ke publik Jerman, corak dan warna Islam yang lain. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktikkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan kelompok etnis atas suku bangsa yang sangat beragam”.

“Coba Anda bayangkan, sekitar 260 juta penduduk terpencar di ribuan pulau di Indonesia dengan ratusan budaya dan bahasa serta agama dan kepercayaan yang beragam, mampu hidup secara damai. Dan sekitar 87 persen penduduk Islam beragama Islam.”

Mempertimbangkan hal tersebut, Dubes Berresheim berharap agar Indonesia dapat berkontribusi lebih besar dalam memajukan dialog dan kerja sama antarumat beragama di negara-negara Eropa khususnya. Untuk kepentingan itu, perlu inisiatif dan prakarsa lebih intensif dari pihak Pemerintah Indonesia melalui kementerian/lembaga relevan terkait bekerja sama dengan berbagai pihak non-pemerintah, seperti perguruan tinggi dan ormas-ormas keagamaan dan LSM civil society. []

REPUBLIKA, 16 Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar