Jumat, 24 Mei 2019

Cerita-cerita Hamdanah Mendampingi Tokoh NU yang Pejabat Negara


Cerita-cerita Hamdanah Mendampingi Tokoh NU yang Pejabat Negara


Begitu suaminya, KH Zainul Arifin, menduduki kursi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1953-1956), Ibu Hamdanah Zainul Arifin tidak dapat menolak permintaan untuk aktif berkegiatan sebagai istri pejabat negara.

"Ibu Arifin adalah ibu rumah tangga sejati yang tidak terlalu suka diekspos," komentar Asmach Syahroni yang pernah lama menjadi Ketua Muslimat NU serta sejak muda akrab bersahabat dengan keluarga besar Zainul Arifin.

Perempuan Desa

"Mamih benar-benar perempuan sederhana yang lahir dan besar di desa kecil Semplak, di Bogor," terang Zuhara Arifin, putrinya nomor 5. Sedang Hotimah, adik kandung Hamdanah mengenang, "Waktu dilamar Kang Aden, Ceu Danah baru 13 tahun. Tapi dari kecil sudah terbiasa mengurusi adik-adiknya karena ibu kami lama menderita sakit."

Zainul Arifin sendiri, meskipun baru berusia 17 tahun ketika pertama menikah namun sudah bekerja di pemerintahan kolonial (amtenar). Sesuatu yang masih sulit diraih oleh orang pribumi.

Waktu Hindia Belanda menghadapi kesulitan ekonomi sebagai dampak runtuhnya perekonomian dunia, Arifin beralih profesi sebagai pegiat seni tradisional Samrah, cikal bakal Gambang Kromong Betawi. Hanya tuan-tuan tanah kaya raya yang mampu menyewa rombongan Samrah milik Zainul. Selain itu, Zainul Arifin juga mengajar di sebuah sekolah elite di kawasan Jatinegara. Kemudian, dia mulai aktif memperdalam mengaji hingga menjadi muballigh kondang di Batavia dan Jawa Barat. Hamdanah Arifin setia mendampingi sebagai ibu rumah tangga biasa.

"Ibu Zainul lebih sering berbahasa Sunda. Orangnya sederhana. Selalu memanggil saya Ujang," kenang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam suatu wawancara tahun 2009 di Ciganjur.

Kerepotan Protokoler

"Waktu Anggut (Kiai Zainul Arifin) jadi wakil perdana menteri (waperdam), kegiatannya banyak sekali," cerita Ninik Hamdanah padaku suatu ketika, "Foto-foto. Resepsi ini itu. Kemana-mana mesti dikawal."

Hamdanah kemudian bercerita pula bagaimana repotnya selama Konferensi Asia Afrika berlangsung pada 1955. Banyak sekali yang harus ditemui.

"Raja Sihanouk dan Unu berdua orang yang ramah sekali. Yang lainnya lebih formal," urai Hamdanah.

Begitu usai Konferensi Asia Afrika, Presiden Sukarno semakin dekat dengan KH Zainul Arifin. Arifin selalu dibawanya serta keliling dunia dalam rangka menjalin persahabatan internasional. Dalam beberapa kesempatan melawat kenegaraan ke luar negeri, Hamdanah ikut mendampingi suaminya Zainul Arifin yang ketika itu sudah menjadi ketua parlemen."

"Kunjungan kenegaraan pertama waktu masih waperdam itu ke Kerajaan Arab Saudi. Sekalian naik haji."

Menurut Hamdanah tidak banyak kegiatan buat ibu-ibu di Saudi waktu itu. Kunjungan kenegaraan berikutnya adalah lawatan bersejarah ke negeri Cina.

Istana Kota Terlarang

Di Cina, acara-acara protokoler untuk rombongan istri pejabat berlangsung padat. Hamdanah sendiri bersama para istri rombongan kenegaraan, selain melakukan kunjungan kehormatan ke istri Mao Zhedong, Jiang Qing, di Istana Kota Terlarang, juga mengunjungi pembangunan bendungan, pabrik tekstil dan sekolah.

"Jiang Qing perempuan cantik dan ramah," kenang Hamdanah akan istri Mao yang memang mantan artis tersebut, "Cuma makannya waktu di Cina agak repot. Takut tidak halal."

Selain Jiang Qing, ibu-ibu negara yang dikata sangat rupawan dan anggun oleh Hamdanah adalah Ratu Sirikit dari Thailand dan Ratu Norodom Monineath Sihanouk atau biasa dipanggil "Monique".

Ratu Sirikit, permaisuri Raja Thailand dijumpai Hamdanah waktu mendampingi Zainul Arifin ikut dalam rombongan kenegaraan Presiden Sukarno ke Thailand.

"Permaisuri Thailand cantik sekali. Istana-istananya juga megah dan berlapis emas." ingat Hamdanah, "Rombongan tamu negara dijamu makan siang di atas kapal kerajaan menyusuri sungai di kota Bangkok. Satu kapal khusus untuk acara kesenian." Selain Istana Chitralada di Bangkok, Presiden Sukarno dan rombongan juga dijamu khusus di Istana di Chiangmai oleh Ratu Sirikit.

Permaisuri Indo

Presiden Sukarno bersahabat erat dengan Raja Norodom Sihanouk dari Kamboja. Keduanya sering saling mengunjungi. Dalam salah satu kunjungan ke tanah air itulah, Hamdanah Zainul Arifin berkesempatan bertemu langsung dengan Permaisuri Norodom Monique Sihanouk yang berdarah campuran Perancis dan Vietnam.

"Wajahnya seperti orang Barat. Tetapi tingkah lakunya sangat Asia."

Tugas protokoler lainnya yang harus dijalani Hamdanah adalah menghadiri jamuan-jamuan kenegaraan di Istana Negara. Seringkali dalam acara-acara menghormati tamu negara yang datang, dia harus membawa putrinya Siti Zuhara sebagai penerjemah.

"Saya selalu menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Sunda. Mamih lebih lancar bahasa daerah." ujar Zuhara Arifin suatu ketika.

"Malah pernah ketika rombongan istri-istri anggota parlemen Filipina mendampingi suami-suami mereka berkunjungan kerja di Indonesia, Mamih menjamu mereka di rumah kami di Jalan Cikini Raya 48. Ayah waktu itu memang Ketua Parlemen. Saya menjadi penerjemah Mamih selama jamuan." lanjut Zuhara pula.

Berkhidmah di Muslimat

Meski tadinya tidak begitu berminat ikut organisasi, Hamdanah akhirnya terlibat sebagai pengurus ormas perempuan NU, Muslimat NU.

"Ibu Zainul bergabung sebagai bendahara selama beberapa tahun," jelas Ibu Asmach Syahroni, "kemudian dilanjutkan oleh anak-anak perempuannya yang tertua. Ibu Lies dan Ibu Neneng."

Rumah di Cikini Raya seringkali dijadikan ajang pertemuan tokoh-tokoh NU maupun Muslimat NU.

"Namun Ibu Zainul kalau di rumah lebih banyak sebagai istri dan nyonya rumah yang baik. Bukan sebagai istri pejabat," pungkas Ibu Asmach menutup wawancara. []

(Ario Helmy, cucu almarhumah Hamdanah Zainul Arifin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar