Cerita-cerita
Hamdanah Mendampingi Tokoh NU yang Pejabat Negara
Begitu suaminya, KH
Zainul Arifin, menduduki kursi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (1953-1956), Ibu Hamdanah Zainul Arifin tidak dapat menolak
permintaan untuk aktif berkegiatan sebagai istri pejabat negara.
"Ibu Arifin
adalah ibu rumah tangga sejati yang tidak terlalu suka diekspos," komentar
Asmach Syahroni yang pernah lama menjadi Ketua Muslimat NU serta sejak muda
akrab bersahabat dengan keluarga besar Zainul Arifin.
Perempuan Desa
"Mamih
benar-benar perempuan sederhana yang lahir dan besar di desa kecil Semplak, di
Bogor," terang Zuhara Arifin, putrinya nomor 5. Sedang Hotimah, adik
kandung Hamdanah mengenang, "Waktu dilamar Kang Aden, Ceu Danah baru 13
tahun. Tapi dari kecil sudah terbiasa mengurusi adik-adiknya karena ibu kami
lama menderita sakit."
Zainul Arifin
sendiri, meskipun baru berusia 17 tahun ketika pertama menikah namun sudah
bekerja di pemerintahan kolonial (amtenar). Sesuatu yang masih sulit diraih
oleh orang pribumi.
Waktu Hindia Belanda
menghadapi kesulitan ekonomi sebagai dampak runtuhnya perekonomian dunia,
Arifin beralih profesi sebagai pegiat seni tradisional Samrah, cikal bakal
Gambang Kromong Betawi. Hanya tuan-tuan tanah kaya raya yang mampu menyewa
rombongan Samrah milik Zainul. Selain itu, Zainul Arifin juga mengajar di
sebuah sekolah elite di kawasan Jatinegara. Kemudian, dia mulai aktif
memperdalam mengaji hingga menjadi muballigh kondang di Batavia dan Jawa Barat.
Hamdanah Arifin setia mendampingi sebagai ibu rumah tangga biasa.
"Ibu Zainul
lebih sering berbahasa Sunda. Orangnya sederhana. Selalu memanggil saya
Ujang," kenang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam suatu wawancara tahun
2009 di Ciganjur.
Kerepotan Protokoler
"Waktu Anggut
(Kiai Zainul Arifin) jadi wakil perdana menteri (waperdam), kegiatannya banyak
sekali," cerita Ninik Hamdanah padaku suatu ketika, "Foto-foto.
Resepsi ini itu. Kemana-mana mesti dikawal."
Hamdanah kemudian
bercerita pula bagaimana repotnya selama Konferensi Asia Afrika berlangsung
pada 1955. Banyak sekali yang harus ditemui.
"Raja Sihanouk
dan Unu berdua orang yang ramah sekali. Yang lainnya lebih formal," urai
Hamdanah.
Begitu usai
Konferensi Asia Afrika, Presiden Sukarno semakin dekat dengan KH Zainul Arifin.
Arifin selalu dibawanya serta keliling dunia dalam rangka menjalin persahabatan
internasional. Dalam beberapa kesempatan melawat kenegaraan ke luar negeri,
Hamdanah ikut mendampingi suaminya Zainul Arifin yang ketika itu sudah menjadi ketua
parlemen."
"Kunjungan
kenegaraan pertama waktu masih waperdam itu ke Kerajaan Arab Saudi. Sekalian
naik haji."
Menurut Hamdanah
tidak banyak kegiatan buat ibu-ibu di Saudi waktu itu. Kunjungan kenegaraan
berikutnya adalah lawatan bersejarah ke negeri Cina.
Istana Kota Terlarang
Di Cina, acara-acara
protokoler untuk rombongan istri pejabat berlangsung padat. Hamdanah sendiri
bersama para istri rombongan kenegaraan, selain melakukan kunjungan kehormatan
ke istri Mao Zhedong, Jiang Qing, di Istana Kota Terlarang, juga mengunjungi
pembangunan bendungan, pabrik tekstil dan sekolah.
"Jiang Qing
perempuan cantik dan ramah," kenang Hamdanah akan istri Mao yang memang
mantan artis tersebut, "Cuma makannya waktu di Cina agak repot. Takut
tidak halal."
Selain Jiang Qing,
ibu-ibu negara yang dikata sangat rupawan dan anggun oleh Hamdanah adalah Ratu
Sirikit dari Thailand dan Ratu Norodom Monineath Sihanouk atau biasa dipanggil
"Monique".
Ratu Sirikit,
permaisuri Raja Thailand dijumpai Hamdanah waktu mendampingi Zainul Arifin ikut
dalam rombongan kenegaraan Presiden Sukarno ke Thailand.
"Permaisuri
Thailand cantik sekali. Istana-istananya juga megah dan berlapis emas."
ingat Hamdanah, "Rombongan tamu negara dijamu makan siang di atas kapal
kerajaan menyusuri sungai di kota Bangkok. Satu kapal khusus untuk acara
kesenian." Selain Istana Chitralada di Bangkok, Presiden Sukarno dan
rombongan juga dijamu khusus di Istana di Chiangmai oleh Ratu Sirikit.
Permaisuri Indo
Presiden Sukarno
bersahabat erat dengan Raja Norodom Sihanouk dari Kamboja. Keduanya sering
saling mengunjungi. Dalam salah satu kunjungan ke tanah air itulah, Hamdanah
Zainul Arifin berkesempatan bertemu langsung dengan Permaisuri Norodom Monique
Sihanouk yang berdarah campuran Perancis dan Vietnam.
"Wajahnya
seperti orang Barat. Tetapi tingkah lakunya sangat Asia."
Tugas protokoler
lainnya yang harus dijalani Hamdanah adalah menghadiri jamuan-jamuan kenegaraan
di Istana Negara. Seringkali dalam acara-acara menghormati tamu negara yang
datang, dia harus membawa putrinya Siti Zuhara sebagai penerjemah.
"Saya selalu
menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Sunda. Mamih lebih lancar bahasa
daerah." ujar Zuhara Arifin suatu ketika.
"Malah pernah
ketika rombongan istri-istri anggota parlemen Filipina mendampingi suami-suami
mereka berkunjungan kerja di Indonesia, Mamih menjamu mereka di rumah kami di
Jalan Cikini Raya 48. Ayah waktu itu memang Ketua Parlemen. Saya menjadi
penerjemah Mamih selama jamuan." lanjut Zuhara pula.
Berkhidmah di
Muslimat
Meski tadinya tidak
begitu berminat ikut organisasi, Hamdanah akhirnya terlibat sebagai pengurus
ormas perempuan NU, Muslimat NU.
"Ibu Zainul
bergabung sebagai bendahara selama beberapa tahun," jelas Ibu Asmach Syahroni,
"kemudian dilanjutkan oleh anak-anak perempuannya yang tertua. Ibu Lies
dan Ibu Neneng."
Rumah di Cikini Raya
seringkali dijadikan ajang pertemuan tokoh-tokoh NU maupun Muslimat NU.
"Namun Ibu
Zainul kalau di rumah lebih banyak sebagai istri dan nyonya rumah yang baik.
Bukan sebagai istri pejabat," pungkas Ibu Asmach menutup wawancara. []
(Ario Helmy, cucu
almarhumah Hamdanah Zainul Arifin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar