Kiai Ahmad Rifa’i
Kalisalak, Melawan dengan Syi’ir
Sejarah kelam
penjajahan yang dialami bangsa Indonesia menjadi pembelajaran berharga yang
bisa kita ambil hikmahnya. Peristiwa tersebut bukan tanpa perlawanan, namun
kecanggihan teknologi dan strategi licik seperti adu domba membuat bangsa ini
takluk. Sejarah menunjukkan bahwa perlawanan terus dilakukan mulai dari
masuknya Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang.
Sekarang bisa kita
lihat deretan pahlawan dari masa ke masa menunjukkan betapa gigihnya mereka
dalam mengusir penjajah. Bahkan perlawanan muncul dari berbagai kalangan
seperti bangsawan, kiai sampai rakyat biasa. Segala cara sudah ditempuh, baik
dengan jalan angkat senjata seperti perang Padri (1821-1835) di Sumatra, dan
Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa yang membuat penjajah kewalahan.
Kemudian ada pula
yang melakukan perlawanan tanpa kekerasan. Metode tersebut biasa dilakukan oleh
para ulama dengan dakwahnya. Salah satunya Kiai Ahmad Rifa’i, ulama yang gigih
melakukan perlawanan melalui dakwah dan protes sosial sampai akhir hayatnya. Ia
merupakan seorang ulama yang lahir di sebuah desa di Kendal, tepatnya di Desa
Tempuran. Lebih jelasnya H Ahmad Syadzirin Amin dalam bukunya Gerakan Syaikh
Ahmad Rifa’i mengambil pendapat Drs Slamet Siswadi menyebutkan, bahwa Ahmad
Rifa’i lahir pada hari Kamis tanggal 9 Muharram 1200 H, bertepatan tahun 1786
Masehi.
Dalam kitab Risalah
Syamsul Hilal Juz Ats-Tsani pada Bab Perimbangan Awal Tahun Hijriyah dan
Miladiyah menyebutkan bahwa tanggal 1 Muharram 1200 H bertepatan dengan 4
November 1785. Artinya, 9 Muharram 1200 H setidaknya bertepatan pada 12
November 1785.
Kiai Ahmad Rifa'i
dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama Siti Rahmah, buah cintanya dengan
Raden KH Muhammad Marhum. Jika melihat tahun kelahirannya, ia seangkatan dengan
Pangeran Diponegoro (lahir 1785).
Ahmad Rifa’i diasuh
oleh kedua orang tuanya sejak lahir hingga ayahnya wafat saat ia berusia enam
tahun. Menurut kalangan Rifa’iyah, ia kemudian diasuh dan dididik oleh pamannya
yang bernama KH Asy’ari, seorang ulama terkemuka di daerah Kaliwungu. Diasuh
oleh KH Asy’ari menjadikan Ahmad Rifa’i tumbuh dewasa kental dengan ilmu agama
Islam. Sejak kecil ia sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Tak heran jika
kelak ia menjadi ulama besar.
Perlawanan terhadap
Belanda
Perjuangan dakwah
Kiai Ahmad Rifa’i dilakukan sejak beliau muda. Pada usia 30-an tahun, tepatnya
tahun 1833 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah dan menetap di sana selama
delapan tahun untuk menimba ilmu. Ia bertemu dengan para ulama besar di sana.
Saat itu jaringan ulama dunia berpusat di Makkah.
Pertemuan tersebut
membuatnya semakin bersemangat menimba ilmu. Salah satu gurunya adalah
Isa al-Barawi. Iai juga pernah berguru kepada Ibrahim al-Bajuri, seorang ulama
dari Mesir meskipun kepergian Kiai Ahmad Rifa’i ke Mesir masih diragukan.
Namun, karena pada masa itu banyak ulama yang beraktivitas di Makkah dan
Madinah, bisa jadi Kiai Rifa’i bertemu Syaikh Ibrahim al-Bajuri di sana.
Pada saat Kiai Ahmad
Rifa’i menimba ilmu di tanah haram, beliau bertemu dengan beberapa ulama
Nusantara, seperti Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Kholil Bangkalan. Ketiga
ulama tersebut menjadi sahabat karib dan sempat melakukan diskusi terkait
dakwahnya kelak. Dari hasil diskusi tersebut ketiganya bersepakat, Syaikh
Kholil Bangkalan akan fokus pada masalah tasawuf dalam dakwahnya, Syaikh Nawawi
Banten pada masalah usuluddin, sementara Kyai Ahmad Rifa’i pada masalah fiqih.
Sesampai di tanah air
Kiai Ahmad Rifa’i memulai dakwahnya di sebuah desa terpencil yakni Kalisalak,
sekarang masuk di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Pada masa itu Nusantara
sedang terpuruk karena penjajahan dan kebodohan. Ia sangat prihatin melihat kondisi
masyarakat. Karena saat kehidupan sosial rakyat sangat tertindas oleh penjajah,
para birokrat pribumi banyak yang bersekutu dengan penjajah.
Melihat kondisi
tersebut ia mendirikan pondok pesantren di Kalisalak yang digunakan sebagai
tempat berdakwah dan mengajar agama Islam. Ia menilai bahwa budaya Islam di
masyarakat harus diubah agar terhindar dari budaya yang tidak sesuai dengan
Al-Qur’an dan sunah. Selain mengajar di pondok, ia juga sering berdakwah ke
tempat lain seperti Wonosobo, Pekalongan, Kendal. Dari dakwahnya tersebut
menjadikan pondok pesantrennya diketahui banyak orang. Hal itu membuat banyak
orang berbondong-bondong ke pondok pesantren Kalisalak untuk menyantri pada
Kiai Ahmad Rifa’i.
Materi dakwahnya
tidak selalu tentang hukum Islam, tapi juga protes sosial karena ia melihat
pemerintah kolonial yang selalu menindas masyarakat. Protes sosial ia masukkan
dalam ajaran dan kitab yang ditulisnya. Ia meyakini pemerintah kolonial adalah
kafir dan harus diperangi. Keyakinan tersebut diajarkan kepada santri-santrinya
agar tidak tunduk terhadap penjajah dan birokrat pribumi yang bersekutu
dengannya. Tidak hanya itu, Kiai Ahmad Rifa’i juga mengajarkan kepada santrinya
bahwa melawan pemerintah kolonial merupakan Perang Sabil.
Kiai Rifa’i termasuk
ulama yang sangat produktif dalam bidang penulisan. Kebanyakan
karyanya adalah syi’ir atau nazam. Salah satu syi’ir ini
menggambarkan pendapatnya pada pribumi yang mau bekerjasama dengan penjajah
Ghalib alim lan haji
pasik pada tulung,
marang raja kafir asih
pada junjung.
Ikulah wong alim
munafik imane suwung,
Dumeh diangkat drajat
dadi tumenggung.
Lamun wong alim
weruho ing alane wong takabur,
Mengko ora tinemu
dadi kadi miluhur.”
Artinya:
Ghalib alim dan haji
fasik menolong,
raja kafir dan senang
mendukungnya.
Itulah orang alim
yang munafik yang kosong imannya,
Merasa diangkat
derajatnya jadi tumenggung.
Jika orang alim
menunjukkan jeleknya orang takabur,
Nanti tidaklah
mungkin dapat kadi terkenal.
Pada syair di atas
bisa kita lihat bagaimana kerasnya terhadap penjajah dan orang-orang pribumi
yang bekerjasama dengan mereka.
Perlawanan dalam
mengusir penjajah dari para pahlawan sangat beragam dengan situasi dan kondisi
pada masa itu. Kiai Ahmad Rifai lebih memilih menggunakan metode dakwah secara
lisan dan tulisan yang dirangkum dalam kitab-kitabnya. Metode tersebut memiliki
keunikan tersendiri karena membentuk kesadaran masyarakat bahwa mereka sedang
tertindas. Ia juga menanamkan pada masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai
fondasi dan jalan hidup yang benar.
Dengan kitab Tarjumah
yang ia buat menjadikan santri-santri lebih mudah memahami ajarannya karena
ditulis dengan Arab pegon yang nota bene berbahasa Jawa. Karena melihat
kondisi masyarakat pada saat itu yang belum familiar dengan bahasa Arab. Selain
mengajarkan agama Islam, dalam kitabnya, Kiai Ahmad Rifai memasukkan
pesan-pesan untuk melawan penjajah dengan sekuat tenaga dan kemampuan
masing-masing.
Slameta dunya akhirat
wajib kinira
nglawen raja kafir
sakuasnu kafikira
Tur perang sabil
luwih kadene ukara
Kacukupan tan kanti
akeh bala kuncara.
Artinya:
Keselamatan dunia
akhirat wajib diperhitungkan
Melawan raja kafir
sekemampuannya perlu dipikirkan
Demikian juga perang
sabil lebih daripada ucapan
Cukup tidak
menggunakan pasukan yang besar.
Akhir Hayat dan
Warisan Kiai Ahmad Rifa’i
Meskipun tanpa
kekerasan, perlawanan Kiai Ahmad Rifa’i tetap ada risikonya. Sejak saat di
Kendal ia sempat beberapa kali dilaporkan, bahkan dijebloskan ke penjara.
Ketika di Kalisalak, ia juga sempat bersitegang dengan ulama yang lain saat itu
dan pemerintah. Ia pernah dituduh oleh Bupati Batang telah menghasut masyarakat
untuk melawan pemerintah dan mengajarkan ajaran Islam yang menyimpang. Hingga
akhirnya ia diasingkan (hukuman yang biasa dijatuhkan kepada para tokoh yang
menentang penjajah pada masa itu), karena dianggap tidak taat pada pemerintah
Belanda.
Sebelum diasingkan ke
Ambon, ia sempat tinggal di penjara Pekalongan selamat 13 hari. Dalam masa
pengasingan, ia sangat produktif menulis dan menjalin komunikasi rahasia dengan
santri-santri yang ada di Kalisalak melalui saudagar Semarang yang berlayar ke
Ambon. Saat hal itu diketahui oleh Belanda, ia kembali diasingkan ke Kampung
Jawa Tondano, Sulawesi Utara hingga akhir hayatnya.
Tanggal 5 November
2004 melalui Keppres No. 089/TK/2004, Presiden Indonesia saat itu Susilo
Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai Ahmad
Rifa’i.
Setidaknya ada 68
karya atau kitab yang diwariskannya kepada generasi Islam saat ini yang
kebanyakan berupa syair bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab (pegon)
yang menerangkan ilmu agama Islam.
Ajaran Kiai Ahmad
Rifa’i saat ini masih ada dan diamalkan oleh para pengikutnya yang dikenal
dengan sebutan Rifa’iyah. Pada tahun 1965, Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah
didirikan oleh tokoh-tokoh Rifa’iyah masa itu. Saat ini pengikut Rifa’iyah
banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya Batang,
Pekalongan, Pemalang, Wonosobo, Kendal, Pati, Jakarta dan lainnya.
Satu lagi warisan
yang dilestarikan sampai sekarang, yakni Batik Rifa’iyah. Di Desa Kalipucang
Wetan Kecamatan Batang masih banyak pengrajin Batik Rifa’iyah, hingga desa
tersebut juga dikenal dengan Kampung Batik Rifa’iyah. Salah satu ciri khas
Batik Rifa’iyah adalah gambar hewan yang tidak lengkap anggota tubuhnya
(seakan-akan mati) pada motif atau desain batik. []
Veri Listianto dan
Gigih Arif, pegiat Lakpesdam NU Batang dan pengelola Pondok Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar