Benturan Politik Identitas
Oleh: Komaruddin Hidayat
Setiap orang memiliki ragam identitas. Bagi penganut ideologi
universalisme , individualitas kemanusiaan sebagai identitas
primer—mengingat setiap orang terlahir sebagai anak manusia (human being),
sementara identitas lain bersifat sekunder. Berikutnya adalah identitas etnis,
mengingat setiap anak terlahir sebagai anak kandung biologis dan etnis tanpa
bisa memilih sehingga kenyataan ini sering disebut identitas primordial.
Mengutip Francis Fukuyama dalam Identity (2018), imperialisme,
industrialisasi, dan modernisasi pada urutannya mendorong lahirnya identitas
dan ideologi nasionalisme akibat dari agresivitas kapitalisme global yang telah
menciptakan negara kaya dan miskin. Nasionalisme bangkit untuk melindungi
identitas dan kepentingan lokal yang diikat oleh kesamaan etnis, wilayah, dan
tradisi.
Dalam konteks Indonesia, secara historis-dialektis, Belanda
memiliki saham dalam kebangkitan ideologi dan identitas nasionalisme yang telah
mendorong terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kalau saja tidak dijajah begitu lama yang telah menimbulkan
penderitaan secara masif, bisa jadi di wilayah Nusantara terdapat banyak negara
kesultanan mirip Timur Tengah.
Harga diri
Isu identitas juga berkaitan dengan harga diri (dignity). Semua agama
sangat menekankan konsep harga diri sebagai anugerah Tuhan yang suci dan mesti
dijaga dan dihormati. Menurut Al Quran, membunuh manusia tanpa alasan yang
dibenarkan, bobot kejahatannya setimpal dengan membunuh seluruh manusia. Di
Barat , konsep ini secara filosofis dikonstruksi dan dikembangkan oleh
Jean Jacques Rousseau (1778) dan Immanuel Kant (1804) yang menyatakan bahwa
setiap diri manusia membawa benih dan potensi kebaikan secara unik, intrinsik,
dan otentik yang mesti dihargai. Dari sini berkembang konsep
liberalisme-individualisme dan hak asasi manusia yang selalu didengungkan oleh
Barat, meskipun praktiknya kadang mereka sendiri mengingkarinya.
Harga diri yang bersifat individual-universal tidak mudah
mendapatkan perlindungan tanpa ada kekuatan lokal-kolektif sehingga muncul
solidaritas kelompok yang memiliki unsur kesamaan etnis, warna kulit, bahasa,
teritori, dan tradisi. Mengingat keragaman etnis merupakan keniscayaan, konsep
multikulturalisme mencoba memberikan wadah yang melindungi eksistensi
hak-hak kultural dalam sebuah bangsa dan masyarakat. Lagi-lagi, dalam konteks
Indonesia , multikulturalisme merupakan realitas sosial-historis
sebagaimana tersirat dalam moto Bhinneka Tunggal Ika sehingga anatomi
nasionalisme Indonesia berbeda dengan etno-nasionalisme yang tumbuh di Turki,
Iran, China, Jepang, dan Korea.
Menurut Fukuyama, sebuah bangsa dan negara yang berdiri di atas
fondasi etno-nasionalisme yang solid dan homogen akan lebih mudah membuat
terobosan di bidang ekonomi dan industri karena energinya tidak tersedot untuk
membangun kohesi dan solidaritas bangsanya. Etno-nasionalisme yang homogen dan
solid mudah mengembangkan budaya saling percaya, high trust society, karena
mereka memiliki memori kolektif yang sama, tradisi dan bahasa yang sama.
Ideologi nasionalisme, kebutuhan terhadap harga diri (dignity), dan pengakuan (recognition) merupakan
elemen-elemen fundamental dan sumber kekuatan bagi eksistensi sebuah bangsa dan
negara. Dibandingkan dengan Yugoslavia dan Suriah, konsolidasi nasionalisme
Indonesia jauh lebih solid sementara multikulturalisme tetap tumbuh. Di kedua
negara tersebut tak ada ikatan ideologi dan identitas nasionalisme yang kokoh
sehingga ketika muncul konflik identitas yang diikuti politik harga diri dan
pengakuan (the polititics of
dignity and recognition), bangunan negaranya ambruk. Pengakuan
terhadap keunikan individu dan etnis itu mesti diwujudkan dalam sebuah hukum
dan etika sosial yang dijaga bersama dalam jaringan kemitraan yang saling
menghargai, bukan menindas atau subordinasi.
Di Suriah, aset peradaban yang telah dibangun ratusan tahun
berantakan akibat negara gagal menjaga keragaman etnis, lalu terjerumus ke
dalam perang saudara. Sedikitnya 400.000 orang meninggal, 4,8 juta
menjadi pengungsi di dalam dan luar negeri. Di luar Suriah, lemahnya ikatan
identitas nasional di negara-negara Arab membuat mereka sangat rentan konflik
antar-etnis yang mengarah ke perang saudara. Ternyata, identitas dan kesamaan
agama dan bahasa tak menjamin terbentuknya kohesi dan identitas nasional yang
kokoh.
Etno-religi
Ideologi universalisme yang membela kesamaan hak bagi setiap
individu di muka bumi rupanya tidak berjalan harmonis dengan agresivitas
kapitalisme global yang difasilitasi teknologi digital berbasis internet. Mesin
internet tidak saja membuat 3,6 miliar penduduk terhubung (connected) untuk berbagi
ilmu dan pengalaman, tetapi juga telah dikuasai oleh segelintir pemodal genius
untuk mengarahkan perilaku konsumen untuk memperkaya mereka dari menit ke
menit. Fenomena dan tren ini yang oleh Shosana Zubof disebut The Age of Surveillance Capitalism (2019),
sebuah deviasi dan pembajakan terhadap niat mulia kapitalisme awal.
Sebagai profesor emeritus dari Harvard Bussiness School, Zubov
menulis: Surveillance
capitalists know everything about us, whereas their operations are designed to
be unknowable to us. They accumulate vast domains of new knowledge from us, but
not for us. They predict our futures for the sake of other’s gain, not ours.
Rumah sosial kita yang lama sudah berubah total, kita dipaksa
migrasi ke negara digital, di sana tak ada lagi tegur sapa dan kehangatan
saling mencinta dan dicintai (to
love and to be loved) secara intim dan personal. Kita masuk
labirin The
Unprecedented World, sebuah dunia baru yang belum dikenal
sebelumnya dan sulit diprediksi mau ke mana arahnya, tetapi cara pandang kita
masih menggunakan kacamata lama sehingga tidak pernah mendapatkan gambaran dan
pemahaman yang benar dan terang tentang rumah baru yang kita huni. Konsep lama
yang dikenalkan Durkheim tentang division
of labor berubah menjadi division of learning karena jenis-jenis
pekerjaan yang baru siap dilakukan oleh mesin canggih, asal kita bisa
memerintahkannya.
Ketika rumah sosial lama berantakan dan rumah sosial baru terasa
asing, muncul rasa galau, letih, tidak aman, terlebih ketika harga diri serta
identitas terancam, maka yang muncul adalah rasa putus asa dan kemarahan. Dalam
kebingungan itu, ideologi dan identitas nasionalisme menjadi pilihan
tempat berlindung. Namun, ketika rumah kebangsaan masih juga dirasakan
belum memberikan kepastian dan ketenangan untuk menapaki hari esok, ideologi
keagamaan lebih menarik karena di sana akan mudah terjalin kesamaan nilai dan
keyakinan yang disakralkan oleh kesamaan iman, dalam suatu komunitas yang lebih
kecil dan eksklusif.
Namun, menurut Noah Harari, kebangkitan identitas keagamaan ini
hanya akan menambah problem ketika sebuah negara birokrasi pemerintahannya
tidak efektif dan tidak kokoh, serta masyarakatnya tidak memiliki budaya
keilmuan (scientific culture).
Seruan identitas universal kemanusiaan setiap individu sebagai sesama manusia
menjadi sayup-sayup terdengar dan menghilang, digantikan oleh identitas
eksklusif entah itu agama, etnis, atau perpaduan agama dan etnis. Kini berbagai
ideologi dan identitas saling bertabrakan, mengingatkan kita pada adagium
Darwinisme sosial, ”survival
for the fittest”.
Bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, sesungguhnya nilai-nilai dan
semangat Pancasila bisa memberi solusi dan wadah manakala posisi dan perannya
diperkuat menjadi civil
religion, tempat bertemu berbagai identitas etnis, agama, dan
bangsa. Namun, disayangkan, sampai hari ini, Pancasila masih berperan minimalis
sebagai ideologi negara, belum menjadi living
values layaknya sebuah civic
religion. []
KOMPAS, 26 April 2019
Komaruddin Hidayat | Dosen pada Fakultas Psikologi UIN
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar