Selasa, 21 Mei 2019

Kang Komar: Benturan Politik Identitas


Benturan Politik Identitas
Oleh: Komaruddin Hidayat

Setiap orang memiliki ragam identitas. Bagi penganut ideologi universalisme , individualitas kemanusiaan sebagai identitas primer—mengingat setiap orang terlahir sebagai anak manusia (human being), sementara identitas lain bersifat sekunder. Berikutnya adalah identitas etnis, mengingat setiap anak terlahir sebagai anak kandung biologis dan etnis tanpa bisa memilih sehingga kenyataan ini sering disebut identitas primordial.

Mengutip Francis Fukuyama dalam Identity (2018), imperialisme, industrialisasi, dan modernisasi pada urutannya mendorong lahirnya identitas dan ideologi nasionalisme akibat dari agresivitas kapitalisme global yang telah menciptakan negara kaya dan miskin. Nasionalisme bangkit untuk melindungi identitas dan kepentingan lokal yang diikat oleh kesamaan etnis, wilayah, dan tradisi.

Dalam konteks Indonesia, secara historis-dialektis, Belanda memiliki saham dalam kebangkitan ideologi dan identitas nasionalisme yang telah mendorong terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kalau saja tidak dijajah begitu lama yang telah menimbulkan penderitaan secara masif, bisa jadi di wilayah Nusantara terdapat banyak negara kesultanan  mirip Timur Tengah.

Harga diri 

Isu identitas juga berkaitan dengan harga diri (dignity). Semua agama sangat menekankan konsep harga diri sebagai anugerah Tuhan yang suci dan mesti dijaga dan dihormati. Menurut Al Quran, membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan, bobot kejahatannya setimpal dengan membunuh seluruh manusia. Di Barat , konsep ini secara filosofis dikonstruksi dan dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau (1778) dan Immanuel Kant (1804) yang menyatakan bahwa setiap diri manusia membawa benih dan potensi kebaikan secara unik, intrinsik, dan otentik yang mesti dihargai. Dari sini berkembang konsep liberalisme-individualisme dan hak asasi manusia yang selalu didengungkan oleh Barat, meskipun praktiknya kadang mereka sendiri mengingkarinya.

Harga diri yang bersifat individual-universal tidak mudah mendapatkan perlindungan tanpa ada kekuatan lokal-kolektif sehingga muncul solidaritas kelompok yang memiliki unsur kesamaan etnis, warna kulit, bahasa, teritori, dan tradisi. Mengingat keragaman etnis merupakan keniscayaan, konsep multikulturalisme mencoba memberikan wadah yang melindungi eksistensi  hak-hak kultural dalam sebuah bangsa dan masyarakat. Lagi-lagi, dalam konteks Indonesia , multikulturalisme merupakan realitas sosial-historis  sebagaimana tersirat dalam moto Bhinneka Tunggal Ika sehingga anatomi nasionalisme Indonesia berbeda dengan etno-nasionalisme yang tumbuh di Turki, Iran, China, Jepang, dan Korea.

Menurut Fukuyama, sebuah bangsa dan negara yang berdiri di atas fondasi etno-nasionalisme yang solid dan homogen akan lebih mudah membuat terobosan di bidang ekonomi dan industri karena energinya tidak tersedot untuk membangun kohesi dan solidaritas bangsanya. Etno-nasionalisme yang homogen dan solid mudah mengembangkan budaya saling percaya, high trust society, karena mereka memiliki memori kolektif yang sama, tradisi dan bahasa yang sama.

Ideologi nasionalisme, kebutuhan terhadap harga diri (dignity), dan pengakuan (recognition) merupakan elemen-elemen fundamental dan sumber kekuatan bagi eksistensi sebuah bangsa dan negara. Dibandingkan dengan Yugoslavia dan Suriah, konsolidasi nasionalisme Indonesia jauh lebih solid sementara multikulturalisme tetap tumbuh. Di kedua negara tersebut tak ada ikatan ideologi dan identitas nasionalisme yang kokoh sehingga ketika muncul konflik identitas yang diikuti politik harga diri dan pengakuan (the polititics of dignity and recognition), bangunan negaranya ambruk. Pengakuan terhadap keunikan individu dan etnis itu mesti diwujudkan dalam sebuah hukum dan etika sosial yang dijaga bersama dalam jaringan kemitraan yang saling menghargai, bukan menindas atau subordinasi.

Di Suriah, aset peradaban yang telah dibangun ratusan tahun berantakan akibat negara gagal menjaga keragaman etnis, lalu terjerumus ke dalam perang saudara.  Sedikitnya 400.000 orang meninggal, 4,8 juta menjadi pengungsi di dalam dan luar negeri. Di luar Suriah, lemahnya ikatan identitas nasional di negara-negara Arab membuat mereka sangat rentan konflik antar-etnis yang mengarah ke perang saudara. Ternyata, identitas dan kesamaan agama dan bahasa tak menjamin terbentuknya kohesi dan identitas nasional yang kokoh.

Etno-religi

Ideologi universalisme yang membela kesamaan hak bagi setiap individu di muka bumi rupanya tidak berjalan harmonis dengan agresivitas kapitalisme global yang difasilitasi teknologi digital berbasis internet. Mesin internet tidak saja membuat 3,6 miliar penduduk terhubung (connected) untuk berbagi ilmu dan pengalaman, tetapi juga telah dikuasai oleh segelintir pemodal genius untuk mengarahkan perilaku konsumen untuk memperkaya mereka dari menit ke menit. Fenomena dan tren ini yang oleh Shosana Zubof disebut The Age of Surveillance Capitalism (2019), sebuah deviasi dan pembajakan terhadap niat mulia kapitalisme awal.

Sebagai profesor emeritus dari Harvard Bussiness School, Zubov menulis: Surveillance capitalists know everything about us, whereas their operations are designed to be unknowable to us. They accumulate vast domains of new knowledge from us, but not for us. They predict our futures for the sake of other’s gain, not ours.

Rumah sosial kita yang lama sudah berubah total, kita dipaksa migrasi ke negara digital, di sana tak ada lagi tegur sapa dan kehangatan saling mencinta dan dicintai (to love and to be loved) secara intim dan personal. Kita masuk labirin The Unprecedented World, sebuah dunia baru yang belum dikenal sebelumnya dan sulit diprediksi mau ke mana arahnya, tetapi cara pandang kita masih menggunakan kacamata lama sehingga tidak pernah mendapatkan gambaran dan pemahaman yang benar dan terang tentang rumah baru yang kita huni. Konsep lama yang dikenalkan Durkheim tentang  division of labor berubah menjadi division of learning karena jenis-jenis pekerjaan yang baru siap dilakukan oleh mesin canggih, asal kita bisa memerintahkannya.

Ketika rumah sosial lama berantakan dan rumah sosial baru terasa asing, muncul rasa galau, letih, tidak aman, terlebih ketika harga diri serta identitas terancam, maka yang muncul adalah rasa putus asa dan kemarahan. Dalam kebingungan itu, ideologi dan identitas nasionalisme menjadi pilihan tempat  berlindung. Namun, ketika rumah kebangsaan masih juga dirasakan belum memberikan kepastian dan ketenangan untuk menapaki hari esok, ideologi keagamaan lebih menarik karena di sana akan mudah terjalin kesamaan nilai dan keyakinan yang disakralkan oleh kesamaan iman, dalam suatu komunitas yang lebih kecil dan eksklusif.

Namun, menurut Noah Harari, kebangkitan identitas keagamaan ini hanya akan menambah problem ketika sebuah negara birokrasi pemerintahannya tidak efektif dan tidak kokoh, serta masyarakatnya tidak memiliki budaya keilmuan (scientific culture). Seruan identitas universal kemanusiaan setiap individu sebagai sesama manusia menjadi sayup-sayup terdengar dan menghilang, digantikan oleh identitas eksklusif entah itu agama, etnis, atau perpaduan agama dan etnis. Kini berbagai ideologi dan identitas saling bertabrakan, mengingatkan kita pada adagium Darwinisme sosial, ”survival for the fittest”.

Bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, sesungguhnya nilai-nilai dan semangat Pancasila bisa memberi solusi dan wadah manakala posisi dan perannya diperkuat menjadi civil religion, tempat bertemu berbagai identitas etnis, agama, dan bangsa. Namun, disayangkan, sampai hari ini, Pancasila masih berperan minimalis sebagai ideologi negara, belum menjadi living values layaknya sebuah civic religion []

KOMPAS, 26 April 2019
Komaruddin Hidayat | Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar