Beda Pendapat Ulama tentang
Niat Puasa Ramadhan
Niat secara bahasa berarti menyengaja. Secara
istilah, Imam Mawardi dalam kitab Al-Mantsur fil Qawa’id mengatakan, niat
adalah bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya. Sedangkan Imam
Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengartikannya sebagai “tekad hati untuk melakukan
amalan fardhu atau yang lain.”
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan
bahwa fungsi niat adalah untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah
lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan. Di samping itu,
untukmembedakan tujuan seseorang dalam beribadah; apakah seorang beribadah
karena mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala ataukah ia beribadah karena
selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia. (Lihat: Ahmad Ibnu Rajab
al-Hambali, Jami’ul-‘Ulum wal Hikam, Beirut: Darul Ma’rifah, 1408 H. , Halaman
67).
Para ulama sepakat bahwa niat merupakan
syarat sah (rukun) ibadah, termasuk puasa. Artinya, sebuah ibadah tidak
dianggap sah dan berpahala manakala tidak disertai niat. Karenanya, para ulama
memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Bahkan, Imam
Syafi’i, Ahmad, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madini, Abu Dawud dan al-Daruquthni
menuturkan bahwa niat merupakan sepertiga ilmu.
Terkait niat puasa, ada dua permasalahan yang
sering diperbincangkan oleh para ulama, yaitu waktu pelaksanaan niat dan hukum
memperbaharui niat. Berkenaan dengan waktu pelaksanaan niat, imam madzhab empat
sepakat bahwa puasa yang menjadi tanggungan seseorang, seperti puasa nazar,
puasa qadha’, dan puasa kafarah, niatnya harus dilaksanakan pada malam hari
sebelum fajar. Kemudian imam madzhab – selain Malik – juga sepakat bahwa niat
puasa sunnah tidak harus dilaksanakan pada malam hari.
Adapun puasa Ramadhan, para ulama berbeda
pendapat tentang waktu niatnya. Pertama, Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hambal
dan para pengikutnya menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari,
yaitu antara terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Jika niat
dilaksanakan di luar waktu tersebut, maka hukumnya tidak sah. Akibatnya, puasa
pun juga tidak sah. Mereka berpegangan pada haditsriwayat Hafshah, bahwa Nabi
shallallahu ala’ihi wasallam bersabda:
مَنْ
لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari
sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya. (HR. Baihaqi dan
Daruquthni).
Hadits di atas secara jelas menegaskan
ketidakabsahan puasa bagi orang yang tidak berniat di malam hari.
Di samping hadits, mereka juga berpedoman
pada qiyas (analogi). Mereka mengqiyaskan puasa Ramadhan dengan puasa nazar,
kafarah, dan qadha’, di mana keduanya sama-sama wajib. Jika niat puasa nazar,
kafarah, dan qadha’ harus dilakukan di malam hari, begitu juga niat puasa
Ramadhan.
Kedua, Abu Hanifah dan para pengikutnya
mengatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan mulai terbenamnya matahari sampai
pertengahan siang. Artinya, tidak wajib melakukan niat di malam hari. Mereka
berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala surat al-Baqarah ayat
187:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam. (Al-Baqarah: 187).
Pada ayat tersebut, Allah memperbolehkan kaum
Mukminin untuk makan, minum, dan bersenggama pada malam bulan Ramadhan sampai
terbit fajar. Lalu setelah terbit fajar, Allah memerintahkannya berpuasa,
dimulai dengan niat terlebih dahulu. Dengan demikian, niat puasa tersebut
terjadi setelah terbit fajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa niat puasa boleh
dilakukan setelah terbit fajar, tidak harus di malam hari.
Mereka juga berpegangan pada hadits Nabi
shallallahu ala’ihi wasallam:
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي النَّاسِ: مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ
فَلْيَصُمْ، وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallaahu
‘anhu, ia berkata: (Pada hari ‘Asyura, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan seorang laki-laki dari suku Aslam’ agar memberitahukan kepada
orang-orang bahwa siapa saja yang tidak berpuasa maka hendaklah ia berpuasa,
dan siapa saja yang telah makan, hendaklah ia menyempurnakan puasanya sampai
malam). (HR. Muslim, No. 1136).
Pada hadits di atas, Nabi shallallahu ala’ihi
wasallam menganggap puasa orang yang tidak melakukan niat di malam hari Asyura’
hukumnya tetap sah. Padahal, saat itu puasa Asyura’ hukumnya wajib. Dengan
demikian dapat difahami bahwa niat puasa wajib tidak harus dilakukan di malam
hari.
Adapun permasalahan kedua, yaitu hukum
memperbaharui niat puasa Ramadhan, para ulama juga berbeda pendapat. Kelompok
pertama yang terdiri dari imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mewajibkan untuk
memperbaharui atau melakukan niat puasa setiap hari. Mereka berargumen bahwa
hari-hari dalam bulan Ramadhan itu bersifat independen dan tidak saling
berkaitan antara satu dengan yang lain. Batalnya satu hari puasa tidak
berpengaruh pada batalnya hari yang lain. Karenanya, setiap akan memasuki hari
baru diperlukan niat baru.
Sementara kelompok kedua yang terdiri dari
imam Malik dan para pengikutnya tidak mensyaratkan pengulangan niat setiap
hari. Bagi mereka, niat puasa Ramadhan cukup dilakukan di malam hari pertama
bulan Ramadhan. Mereka beralasan, puasa Ramadhan wajib dilaksanakan secara
terus menerus, sehingga hukumnya sama seperti satu ibadah. Dansatu ibadah hanya
membutuhkan satu niat. (Lihat: Muhammad Ramadhan al-Buthi, Muhadharat fil
Fiqhil Muqaran, Damaskus: Darul Fikr, 1981, halaman 28-34).
Untuk keperluan berhati-hati dalam beribadah,
tidak ada salahnya mengamalkan kedua pendapat di atas sekaligus, yaitu
mengamalkan pendapat imam Malik dengan berniat untuk puasa sebulan penuh, dan
mengamalkan pendapat mayoritas ulama dengan memperbaharui niat setiap malam.
Berniat untuk puasa sebulan penuh dimaksudkan untuk berjaga-jaga agar puasa
tetap sah ketika suatu saat lupa tidak niat. Di dalam kitab Hasyiyata Qalyubi
Wa Umairah, juz 2, halaman 52, disebutkan:
وَيُنْدَبُ
أَنْ يَنْوِيَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ أَوْ صَوْمَ رَمَضَانَ
كُلَّهُ لِيَنْفَعَهُ تَقْلِيدُ الْإِمَامِ مَالِكٍ فِي يَوْمٍ نَسِيَ النِّيَّةَ
فِيهِ مَثَلًا لِأَنَّهَا عِنْدَهُ تَكْفِي لِجَمِيعِ الشَّهْرِ، وَعِنْدَنَا
لِلَّيْلَةِ الْأُولَى فَقَطْ.
“Dan pada malam pertama, disunnahkan bagi
seseorang untuk niat puasa bulan Ramadhan atau puasa Ramadhan seluruhnya, agar
dapat mengambil manfaat dari bertaqlid pada Imam Malik terkait kekhawatiran
lupa tidak melakukan niat pada suatu malam. Sebab menurutnya, niat itu sudah
mencukupi selama sebulan. Sedangkan menurut pandangan mazhab kami, yang
demikian itu hanya cukup untuk malam pertama saja”. []
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan
Pengurus LDNU Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar