Jumat, 10 Mei 2019

(Ngaji of the Day) Beda Pendapat Ulama tentang Niat Puasa Ramadhan


Beda Pendapat Ulama tentang Niat Puasa Ramadhan

Niat secara bahasa berarti menyengaja. Secara istilah, Imam Mawardi dalam kitab Al-Mantsur fil Qawa’id mengatakan, niat adalah bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya. Sedangkan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengartikannya sebagai “tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain.”

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan bahwa fungsi niat adalah untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan. Di samping itu, untukmembedakan tujuan seseorang dalam beribadah; apakah seorang beribadah karena mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala ataukah ia beribadah karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia. (Lihat: Ahmad Ibnu Rajab al-Hambali, Jami’ul-‘Ulum wal Hikam, Beirut: Darul Ma’rifah, 1408 H. , Halaman 67). 

Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat sah (rukun) ibadah, termasuk puasa. Artinya, sebuah ibadah tidak dianggap sah dan berpahala manakala tidak disertai niat. Karenanya, para ulama memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Bahkan, Imam Syafi’i, Ahmad, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madini, Abu Dawud dan al-Daruquthni menuturkan bahwa niat merupakan sepertiga ilmu. 

Terkait niat puasa, ada dua permasalahan yang sering diperbincangkan oleh para ulama, yaitu waktu pelaksanaan niat dan hukum memperbaharui niat. Berkenaan dengan waktu pelaksanaan niat, imam madzhab empat sepakat bahwa puasa yang menjadi tanggungan seseorang, seperti puasa nazar, puasa qadha’, dan puasa kafarah, niatnya harus dilaksanakan pada malam hari sebelum fajar. Kemudian imam madzhab – selain Malik – juga sepakat bahwa niat puasa sunnah tidak harus dilaksanakan pada malam hari. 

Adapun puasa Ramadhan, para ulama berbeda pendapat tentang waktu niatnya. Pertama, Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hambal dan para pengikutnya menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari, yaitu antara terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Jika niat dilaksanakan di luar waktu tersebut, maka hukumnya tidak sah. Akibatnya, puasa pun juga tidak sah. Mereka berpegangan pada haditsriwayat Hafshah, bahwa Nabi shallallahu ala’ihi wasallam bersabda:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya. (HR. Baihaqi dan Daruquthni). 

Hadits di atas secara jelas menegaskan ketidakabsahan puasa bagi orang yang tidak berniat di malam hari. 

Di samping hadits, mereka juga berpedoman pada qiyas (analogi). Mereka mengqiyaskan puasa Ramadhan dengan puasa nazar, kafarah, dan qadha’, di mana keduanya sama-sama wajib. Jika niat puasa nazar, kafarah, dan qadha’ harus dilakukan di malam hari, begitu juga niat puasa Ramadhan. 

Kedua, Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan mulai terbenamnya matahari sampai pertengahan siang. Artinya, tidak wajib melakukan niat di malam hari. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala surat al-Baqarah ayat 187: 

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (Al-Baqarah: 187). 

Pada ayat tersebut, Allah memperbolehkan kaum Mukminin untuk makan, minum, dan bersenggama pada malam bulan Ramadhan sampai terbit fajar. Lalu setelah terbit fajar, Allah memerintahkannya berpuasa, dimulai dengan niat terlebih dahulu. Dengan demikian, niat puasa tersebut terjadi setelah terbit fajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa niat puasa boleh dilakukan setelah terbit fajar, tidak harus di malam hari. 

Mereka juga berpegangan pada hadits Nabi shallallahu ala’ihi wasallam:

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي النَّاسِ: مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ 

Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: (Pada hari ‘Asyura, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki dari suku Aslam’ agar memberitahukan kepada orang-orang bahwa siapa saja yang tidak berpuasa maka hendaklah ia berpuasa, dan siapa saja yang telah makan, hendaklah ia menyempurnakan puasanya sampai malam). (HR. Muslim, No. 1136). 

Pada hadits di atas, Nabi shallallahu ala’ihi wasallam menganggap puasa orang yang tidak melakukan niat di malam hari Asyura’ hukumnya tetap sah. Padahal, saat itu puasa Asyura’ hukumnya wajib. Dengan demikian dapat difahami bahwa niat puasa wajib tidak harus dilakukan di malam hari. 

Adapun permasalahan kedua, yaitu hukum memperbaharui niat puasa Ramadhan, para ulama juga berbeda pendapat. Kelompok pertama yang terdiri dari imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mewajibkan untuk memperbaharui atau melakukan niat puasa setiap hari. Mereka berargumen bahwa hari-hari dalam bulan Ramadhan itu bersifat independen dan tidak saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Batalnya satu hari puasa tidak berpengaruh pada batalnya hari yang lain. Karenanya, setiap akan memasuki hari baru diperlukan niat baru. 

Sementara kelompok kedua yang terdiri dari imam Malik dan para pengikutnya tidak mensyaratkan pengulangan niat setiap hari. Bagi mereka, niat puasa Ramadhan cukup dilakukan di malam hari pertama bulan Ramadhan. Mereka beralasan, puasa Ramadhan wajib dilaksanakan secara terus menerus, sehingga hukumnya sama seperti satu ibadah. Dansatu ibadah hanya membutuhkan satu niat. (Lihat: Muhammad Ramadhan al-Buthi, Muhadharat fil Fiqhil Muqaran, Damaskus: Darul Fikr, 1981, halaman 28-34). 

Untuk keperluan berhati-hati dalam beribadah, tidak ada salahnya mengamalkan kedua pendapat di atas sekaligus, yaitu mengamalkan pendapat imam Malik dengan berniat untuk puasa sebulan penuh, dan mengamalkan pendapat mayoritas ulama dengan memperbaharui niat setiap malam. Berniat untuk puasa sebulan penuh dimaksudkan untuk berjaga-jaga agar puasa tetap sah ketika suatu saat lupa tidak niat. Di dalam kitab Hasyiyata Qalyubi Wa Umairah, juz 2, halaman 52, disebutkan:

وَيُنْدَبُ أَنْ يَنْوِيَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ أَوْ صَوْمَ رَمَضَانَ كُلَّهُ لِيَنْفَعَهُ تَقْلِيدُ الْإِمَامِ مَالِكٍ فِي يَوْمٍ نَسِيَ النِّيَّةَ فِيهِ مَثَلًا لِأَنَّهَا عِنْدَهُ تَكْفِي لِجَمِيعِ الشَّهْرِ، وَعِنْدَنَا لِلَّيْلَةِ الْأُولَى فَقَطْ

“Dan pada malam pertama, disunnahkan bagi seseorang untuk niat puasa bulan Ramadhan atau puasa Ramadhan seluruhnya, agar dapat mengambil manfaat dari bertaqlid pada Imam Malik terkait kekhawatiran lupa tidak melakukan niat pada suatu malam. Sebab menurutnya, niat itu sudah mencukupi selama sebulan. Sedangkan menurut pandangan mazhab kami, yang demikian itu hanya cukup untuk malam pertama saja”. []

Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar