Selasa, 14 Mei 2019

Gus Dur: Antara Kultural dan Politis


Antara Kultural dan Politis
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Keputusan Majelis Kasasi yang dibentuk Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Ir. Akbar Tandjung, menunjukkan dengan jelas kepada kita, bahwa sebuah kejadian politik dapat saja mengakibatkan perubahan jalanya sebuah proses kultural. Proses kultural/budaya dalam kasus ini, berupa pemberian hukuman atas sebuah kesalahan yang diambil sebuah Pengadilan Negeri dan dikokohkan oleh sebuah Pengadilan Tinggi, dianulir begitu saja oleh Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik. Kita terpaksa menyimpulkan sendiri adanya pertimbangan politis dalam kasus ini, karena alasan-alasan hukum yang dikeluarkan Majelis Kasasi tidak meyakinkan siapapun. Bukan hanya materinya saja, tetapi prosedur penundaan pengumuman berkali-kali oleh Majelis itu, menunjukkan kenyataan demikian.

“Hari hitam” di bidang hukum yang harus kita lalui akibat keputusan MA itu, menunjukkan kepada kita, bahwa perjalanan “mematangkan” proses demokratisasi di negeri kita memang tidak mudah, dan berlangsung berliku-liku. Kenyataan ini saja sudah membuat kita merasa prihatin, karena masih banyak pemimpin politik berbicara seolah-olah “proses reformasi” berjalan dengan mudah dan dapat dipercayakan kepada pemimpin resmi pemerintahan kita saat ini. Padahal, dalam kenyataan yang ada, hal ini jauh dari kebenaran sejarah. Proses yang terjadi justru menunjukkan kebalikan dari hal itu. Pemerintahan hukum, sesuatu yang secara budaya tadinya dianggap mudah dilakukan, ternyata mengalami hembatan-hambatan politik yang luar biasa dahsyatnya. Karena itu, banyak para pejuang demokratisasi di negeri ini berputus asa, dan membiarkan pihak-pihak yang mengambil jalan pintas untuk menerapkan keinginan mereka seperti revolusi sosial yang bersifat kompreherensif dan sebagainya.

Namun, ternyata cukup banyak para pejuang demokratisasi yang masih dengan gigih memperjuangkan  “perubahan konstitusional”, pada sejumlah kelembagaan dan pola prilaku yang dijalankan lembaga-lembaga itu. Ini menunjukkan, masih cukup banyak para pejuang demokratisasi yang ingin menegakkan sebuah protes kultural menuju reformasi yang sebenarnya, walaupun sangat banyak “hambatan-hambatan politis” yang harus dihadapi. Justru sikap optimis seperti inilah yang sekarang lebih banyak kita perlukan menghadapi sekian banyak “hambatan-hambatan politis” sekarang ini. Keyakinan akan kebenaran “perjuangan kultural” yang dimiliki para pejuang demokratisasi, seperti terjadi di masa pemerintahan Orde Baru, justru sekarang sedang diuji oleh “penyesuaian-penyesuaian politis” yang ditimbulkan oleh berbagai kepentingan dari pihak pengikut pemerintahan Orde Baru, yang sekarang berlaku seolah-olah menjadi pejuang reformasi.

Dengan kata lain, kalau dahulu gambarannya adalah pihak putih (pejuang demokratisasi) melawan pihak hitam (para pelaksana pemerintahan Orde Baru), maka sekarang  telah timbul gambaran warna ketiga: abu-abu, yang juga menjadi lawan yang putih. Yang putih adalah para pejuang demokratisasi, yang berada diberbagai LSM, ormas, dan kalangan indenpenden. Yang abu-abu adalah mereka yang tadinya menjadi pengikut pemerintahan Orde Baru, dan sekarang memimpin berbagai lembaga pemerintahan dan partai-partai politik. Yang hitam adalah mereka yang menginginkan kembalinya kita kepada sistem kehidupan Orde Baru. Tidak heranlah, jika gambaran keadaan yang semakin kompleks itu lalu membuat,  beberapa pengamat menyebutnya, munculnya orang yang “bosan” akan keadaan dan ingin kembali kepada masa pemerintahan yang lalu. Kondisi itu paling tidak telah menunjukkan ketentraman yang diperlukan guna hidup dengan tenang dan membawa kepastian akan keadaan disamping tersedianya pekerjaan yang dapat memberikan jaminan akan pemenuhan kebutuhan hidup minimal yang kita perlukan.

Yang diperlukan dalam hal ini adalah adanya lowongan pekerjaan (employment opportunities). Padahal, sekarang ini pengangguran, baik yang terbuka maupun yang terselubung, sudah berada pada angka 40 juta orang pekerja. Tidak heran, jika banyak orang “merindukan” masa lampau yang setidak-tidaknya telah memberikan kepastian akan pekerjaan. Apalagi sekarang, setelah banyak perusahaan di tutup dan pemiliknya menarik diri dari usaha di negara-negara sekitar, seperti Vietnam dan RRT. Hal ini didorong munculnya secara cepat oleh dua hal sekaligus: tidak  adanya kepastian hukum (legal certainty) dan tidak adanya iklim yang menguntungkan usaha di negeri ini. Bahkan Peraturan Menteri (Permen) dapat menjadi “hambatan” bagi penanaman modal di sini, seperti Permen nomor 150/ 2000, yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Peraturan itu mengharuskan pemilik pabrik atau pemilik perusahan membayar biaya tertentu jika ada tenaga kerja yang dikeluarkan dari pekerjaannya, yang berkembang menjadi kompensasi yang sangat memberatkan penanaman modal di sini.  Ini mengakibatkan sejumlah tenaga kerja yang membuat kesalahan dalam pekerjaannya agar supaya mereka dipecat dari pekerjaan dan memperoleh kompensasi berdasarkan aturan tersebut, dengan dalih menjalankan sebuah peraturan. Padahal, dalam sebuah “ekonomi maju” seperti Amerika Serikat, buruh tidak akan memperoleh kompensasi apapun jika dipecat dari pekerjaan, karena kesalahan sendiri. Belum lagi sekian banyak bentuk-bentuk KKN yang harus dibayar oleh sang pemilik modal, jika ingin berusaha di sini.

Merajalelanya KKN, membuat ekonomi kita menjadi ekonomi berbiaya tinggi (High costs economy). Disamping itu, parpol-parpol besar juga mencari uang untuk kampanye pemilu, yang tentu saja menjadi beban ekonomi nasional kita. Ada yang berupa “sumbangan” yang diminta dari BUMN, ada kalanya berupa “sumbangan sukarela” dari sejumlah pengusaha kepada para fungsionaris parpol-parpol besar itu.

Dengan tambahan beban yang sangat berat itu, terkadang hingga bermilyar-milyar rupiah untuk sebuah parpol -yang sebenarnya menjadi tanggungan mereka, karena dengan satu dan lain cara dapat dipindahkan menjadi beban ekonomi nasional. Karenanya, setiap perkembangan politik yang mengarah kepada pengunaan uang masyarakat oleh sementara parpol harus dianggap sebagai beban ekonomi secara keseluruhan.

Ini berarti, kita harus bersabar melihat begitu banyak sumber-sumber ekonomi dikelola secara berhati-hati. Sikap berhemat (prudence) seperti itu, saat ini harus diberi prioritas, mengingat berbagai cara untuk mengatasi krisis ekonomi-finansial yang berkepanjangan, memerlukan uang dalam jumlah besar.. Justru kita harus sangat berhati-hati untuk menjaga kelangsungan hidup ekonomi secara sehat. Jangan prioritaskan sikap untuk main pinjam saja, apalagi dengan hutang-hutang luar negeri yang semakin lama semakin membengkak. Jika hal ini tidak disadari, sebuah bahaya besar sedang mengancam pembangunan kehidupan bangsa melalui perekonomian yang sama kuat disemua bidang. Tanpa menyadari hal ini, kita tidak akan mampu mengatasi krisis multidimensional.

Karena itu, kita harus berhati-hati dari sikap memenangkan pertimbangan-pertimbangan politis, biasanya dengan cara meninggalkan perkembangan kultural yang sudah terbukti kebaikannya. Kita harus berani melihat kepentingan jangka panjang, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan jangka pendek. Sikap berhati-hati sebagaimana disebutkan di atas sangat kita perlukan dewasa ini. Memang sulit mengembangkan pandangan itu pada saat ini, karena kita memang tidak sadar, bahwa kita harus menjadi bangsa “pembuat barang” (manufacturing nation), bukan hanya sekedar bangsa pedagang dan pengguna belaka. Namun ini mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan? []

Jakarta, 20 Februari 2004
Sumber: Memorandum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar