Antara
Kultural dan Politis
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Keputusan
Majelis Kasasi yang dibentuk Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Ir. Akbar
Tandjung, menunjukkan dengan jelas kepada kita, bahwa sebuah kejadian politik
dapat saja mengakibatkan perubahan jalanya sebuah proses kultural. Proses
kultural/budaya dalam kasus ini, berupa pemberian hukuman atas sebuah kesalahan
yang diambil sebuah Pengadilan Negeri dan dikokohkan oleh sebuah Pengadilan
Tinggi, dianulir begitu saja oleh Mahkamah Agung atas dasar
pertimbangan-pertimbangan politik. Kita terpaksa menyimpulkan sendiri adanya
pertimbangan politis dalam kasus ini, karena alasan-alasan hukum yang
dikeluarkan Majelis Kasasi tidak meyakinkan siapapun. Bukan hanya materinya
saja, tetapi prosedur penundaan pengumuman berkali-kali oleh Majelis itu,
menunjukkan kenyataan demikian.
“Hari
hitam” di bidang hukum yang harus kita lalui akibat keputusan MA itu,
menunjukkan kepada kita, bahwa perjalanan “mematangkan” proses demokratisasi di
negeri kita memang tidak mudah, dan berlangsung berliku-liku. Kenyataan ini
saja sudah membuat kita merasa prihatin, karena masih banyak pemimpin politik
berbicara seolah-olah “proses reformasi” berjalan dengan mudah dan dapat
dipercayakan kepada pemimpin resmi pemerintahan kita saat ini. Padahal, dalam
kenyataan yang ada, hal ini jauh dari kebenaran sejarah. Proses yang terjadi
justru menunjukkan kebalikan dari hal itu. Pemerintahan hukum, sesuatu yang
secara budaya tadinya dianggap mudah dilakukan, ternyata mengalami
hembatan-hambatan politik yang luar biasa dahsyatnya. Karena itu, banyak para
pejuang demokratisasi di negeri ini berputus asa, dan membiarkan pihak-pihak
yang mengambil jalan pintas untuk menerapkan keinginan mereka seperti revolusi
sosial yang bersifat kompreherensif dan sebagainya.
Namun,
ternyata cukup banyak para pejuang demokratisasi yang masih dengan gigih
memperjuangkan “perubahan konstitusional”, pada sejumlah kelembagaan dan
pola prilaku yang dijalankan lembaga-lembaga itu. Ini menunjukkan, masih cukup
banyak para pejuang demokratisasi yang ingin menegakkan sebuah protes kultural
menuju reformasi yang sebenarnya, walaupun sangat banyak “hambatan-hambatan
politis” yang harus dihadapi. Justru sikap optimis seperti inilah yang sekarang
lebih banyak kita perlukan menghadapi sekian banyak “hambatan-hambatan politis”
sekarang ini. Keyakinan akan kebenaran “perjuangan kultural” yang dimiliki para
pejuang demokratisasi, seperti terjadi di masa pemerintahan Orde Baru, justru
sekarang sedang diuji oleh “penyesuaian-penyesuaian politis” yang ditimbulkan
oleh berbagai kepentingan dari pihak pengikut pemerintahan Orde Baru, yang
sekarang berlaku seolah-olah menjadi pejuang reformasi.
Dengan
kata lain, kalau dahulu gambarannya adalah pihak putih (pejuang demokratisasi)
melawan pihak hitam (para pelaksana pemerintahan Orde Baru), maka
sekarang telah timbul gambaran warna ketiga: abu-abu, yang juga menjadi
lawan yang putih. Yang putih adalah para pejuang demokratisasi, yang berada
diberbagai LSM, ormas, dan kalangan indenpenden. Yang abu-abu adalah mereka
yang tadinya menjadi pengikut pemerintahan Orde Baru, dan sekarang memimpin
berbagai lembaga pemerintahan dan partai-partai politik. Yang hitam adalah
mereka yang menginginkan kembalinya kita kepada sistem kehidupan Orde Baru.
Tidak heranlah, jika gambaran keadaan yang semakin kompleks itu lalu
membuat, beberapa pengamat menyebutnya, munculnya orang yang “bosan” akan
keadaan dan ingin kembali kepada masa pemerintahan yang lalu. Kondisi itu
paling tidak telah menunjukkan ketentraman yang diperlukan guna hidup dengan
tenang dan membawa kepastian akan keadaan disamping tersedianya pekerjaan yang
dapat memberikan jaminan akan pemenuhan kebutuhan hidup minimal yang kita
perlukan.
Yang
diperlukan dalam hal ini adalah adanya lowongan pekerjaan (employment
opportunities). Padahal, sekarang ini pengangguran, baik yang terbuka maupun
yang terselubung, sudah berada pada angka 40 juta orang pekerja. Tidak heran,
jika banyak orang “merindukan” masa lampau yang setidak-tidaknya telah
memberikan kepastian akan pekerjaan. Apalagi sekarang, setelah banyak
perusahaan di tutup dan pemiliknya menarik diri dari usaha di negara-negara
sekitar, seperti Vietnam dan RRT. Hal ini didorong munculnya secara cepat oleh
dua hal sekaligus: tidak adanya kepastian hukum (legal certainty) dan
tidak adanya iklim yang menguntungkan usaha di negeri ini. Bahkan Peraturan
Menteri (Permen) dapat menjadi “hambatan” bagi penanaman modal di sini, seperti
Permen nomor 150/ 2000, yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Peraturan itu mengharuskan pemilik pabrik atau pemilik perusahan
membayar biaya tertentu jika ada tenaga kerja yang dikeluarkan dari
pekerjaannya, yang berkembang menjadi kompensasi yang sangat memberatkan
penanaman modal di sini. Ini mengakibatkan sejumlah tenaga kerja yang
membuat kesalahan dalam pekerjaannya agar supaya mereka dipecat dari pekerjaan
dan memperoleh kompensasi berdasarkan aturan tersebut, dengan dalih menjalankan
sebuah peraturan. Padahal, dalam sebuah “ekonomi maju” seperti Amerika Serikat,
buruh tidak akan memperoleh kompensasi apapun jika dipecat dari pekerjaan,
karena kesalahan sendiri. Belum lagi sekian banyak bentuk-bentuk KKN yang harus
dibayar oleh sang pemilik modal, jika ingin berusaha di sini.
Merajalelanya
KKN, membuat ekonomi kita menjadi ekonomi berbiaya tinggi (High costs economy).
Disamping itu, parpol-parpol besar juga mencari uang untuk kampanye pemilu,
yang tentu saja menjadi beban ekonomi nasional kita. Ada yang berupa
“sumbangan” yang diminta dari BUMN, ada kalanya berupa “sumbangan sukarela”
dari sejumlah pengusaha kepada para fungsionaris parpol-parpol besar itu.
Dengan
tambahan beban yang sangat berat itu, terkadang hingga bermilyar-milyar rupiah
untuk sebuah parpol -yang sebenarnya menjadi tanggungan mereka, karena dengan
satu dan lain cara dapat dipindahkan menjadi beban ekonomi nasional. Karenanya,
setiap perkembangan politik yang mengarah kepada pengunaan uang masyarakat oleh
sementara parpol harus dianggap sebagai beban ekonomi secara keseluruhan.
Ini
berarti, kita harus bersabar melihat begitu banyak sumber-sumber ekonomi
dikelola secara berhati-hati. Sikap berhemat (prudence) seperti itu, saat ini
harus diberi prioritas, mengingat berbagai cara untuk mengatasi krisis
ekonomi-finansial yang berkepanjangan, memerlukan uang dalam jumlah besar..
Justru kita harus sangat berhati-hati untuk menjaga kelangsungan hidup ekonomi
secara sehat. Jangan prioritaskan sikap untuk main pinjam saja, apalagi dengan
hutang-hutang luar negeri yang semakin lama semakin membengkak. Jika hal ini
tidak disadari, sebuah bahaya besar sedang mengancam pembangunan kehidupan
bangsa melalui perekonomian yang sama kuat disemua bidang. Tanpa menyadari hal
ini, kita tidak akan mampu mengatasi krisis multidimensional.
Karena
itu, kita harus berhati-hati dari sikap memenangkan pertimbangan-pertimbangan
politis, biasanya dengan cara meninggalkan perkembangan kultural yang sudah
terbukti kebaikannya. Kita harus berani melihat kepentingan jangka panjang,
kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan jangka pendek. Sikap berhati-hati
sebagaimana disebutkan di atas sangat kita perlukan dewasa ini. Memang sulit
mengembangkan pandangan itu pada saat ini, karena kita memang tidak sadar,
bahwa kita harus menjadi bangsa “pembuat barang” (manufacturing nation), bukan
hanya sekedar bangsa pedagang dan pengguna belaka. Namun ini mudah dikatakan,
tetapi sulit dilaksanakan, bukan? []
Jakarta,
20 Februari 2004
Sumber: Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar