Jejak NU Tinggalkan
Politik Praktis dan Perkuat Khittah 1926
Keputusan NU menjadi
partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur
organsasi karena fokus lebih ke arah politik praktis. Dalam prosesnya,
keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat karena setelah menjadi
partai pada 1952 juga banyak dari kalangan kiai yang mengusulkan kembali ke
Khittah NU 1926.
Seruan kembali ke
Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH
Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara
historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH
Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat
perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
Setelah seruan
kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada
tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa
Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah
diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah.
Apalagi NU sedang
giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun
pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran
sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.
Misi kembali ke
khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU.
Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan
komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah
NU 1926. Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di
kediaman KH Masykur di Jakarta.
Naskah yang ditulis
oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena
menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun
1983 di Situbondo, Jawa Timur. Setahun sebelum digelarnya Muktamar ke-27 NU di
tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah
ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah.
KH Achmad Siddiq
menegaskan bahwa Khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi
berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun
lamanya.
Tujuan kembali ke
khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian
organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung
tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan,
sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan keindonesiaan.
Naskah Khittah
Nahdliyah KH Achmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat
kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU di antaranya KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).
Bersama para aktivis
lain macam H Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan
Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas
NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur itu yang bersumber dari pemikiran dan
pandangan KH Achmad Siddiq dan para kiai sepuh lain.
Khittah NU adalah
landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin)
yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta
dalam setiap pengambilan keputusan. Definisi di atas tertuang dalam Naskah
Khittah NU poin kedua yang disusun Abdul Mun’im DZ dalam bukunya Piagam
Perjuangan Kebangsaan (2011).
Naskah Khittah yang dirumuskan
oleh KH Achmad Siddiq dibantu oleh beberapa kiai lain menjadi tonggak
kembalinya NU dalam rel perjuangan seperti cita-cita organisasi pada awal
didirikan, yakni dakwah keagamaan dan sosial-kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah
ijtima’iyyah), bukan melanggengkan politik praktis. Apalagi memanfaatkan
organisasi untuk tujuan politik tersebut.
Menurut kesaksian Gus
Mus, gagasan kembali ke Khittah NU 1926 baru bisa diputuskan berkat
pikiran-pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari
kedua tokoh besar, KH Achmad Siddiq dan Gus Dur. (KH Husein Muhammad, Gus Dur
dalam Obrolan Gus Mus, 2015)
Pandangan kebangsaan
kedua tokoh tersebut dan didukung oleh para kiai lain mampu membawa NU ke rel
yang sesungguhnya. Bagi NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial
keagamaam dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen atau alat mencapai
tujuan kemaslahatan bangsa dan negara.
Sebab itu, politik
yang dipraktikkan NU secara organisasi adalah politik kebangsaan, politik
keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika. Bukan
politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua
cara.
Praktik politik
seperti itulah yang digagas oleh KH MA Sahal Mahfudh (2013) sebagai siyasah
‘aliyah samiyah (politik tingkat tinggi), bukan politik tingkat rendah (siyasah
safilah).
Menurut Kiai Sahal
Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah adalah
porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara
perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari
politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran
politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika
berpolitik. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar