Ujian
Demokrasi Turki
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Keputusan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Turki untuk mengadakan pemilu ulang dalam pemilu lokal
di Istanbul pada 23 Juni yang akan datang menarik perhatian dunia
internasional. Turki yang selama ini dikenal sebagai kiblat demokrasi di
kawasan Timur-Tengah dan Dunia Islam pada umumnya, lamat-lamat sedang berada di
ujung tanduk.
Pasalnya, pada pemilu lokal yang digelar pada 31 Maret lalu, secara mengejutkan partai oposisi mampu merontokkan kedigdayaan Erdogan di wilayah-wilayah simbolik, khususnya Istanbul dan Ankara. Kedua kota tersebut mempunyai makna simbolik yang luar biasa, karena dapat dipahami sebagai "lonceng kematian" bagi Erdogan dan AKP, partainya yang sudah berkuasa dalam kurun waktu lima dekade terakhir.
Atas dasar itu, Erdogan melakukan berbagai manuver untuk menggagalkan kemenangan partai oposisi, Partai Rakyat Republik (CHP). Ia mengajukan keberatan dan menengarai adanya kecurangan, sehingga perlu pemilu ulang digelar di Istanbul.
Langkah
Erdogan tersebut bukan tanpa protes. Pihak oposisi menganggap Erdogan melakukan
intervensi terhadap hasil demokrasi yang jujur dan adil. Presiden Turki
tersebut dianggap tidak mau menerima kekalahan, sehingga menghalalkan segala
cara untuk membatalkan kemenangan Ekrem Imamoglu dari CHP. Sulit untuk tidak
mengaitkan antara keputusan KPU dengan sikap Erdogan yang tidak siap kalah.
Memang, dalam 25 tahun terakhir, Istanbul menjadi basis kekuatan Erdogan, bahkan kota wisata ini menjadi titik awal karir politiknya. Erdogan menapaki panggung politik setelah berhasil menjadi Wali Kota Istanbul. Karenanya, kekalahan AKP untuk memenangkan pemilu lokal di Istanbul menjadi tamparan serius bagi Erdogan. Singkatnya, ia dapat menerima kekalahan di beberapa provinsi yang lain, tapi tidak untuk Istanbul.
Kritik tidak hanya disampaikan oleh pihak oposisi, tetapi juga dunia internasional juga menyampaikan protes atas keputusan KPU Turki tersebut. Uni Eropa, Jerman, Prancis, dan beberapa negara lainnya secara resmi memandang langkah yang diambil KPU Turki tersebut sebagai tindakan yang dapat membawa Turki pada kediktatoran.
Bagi Uni Eropa, demokrasi membutuhkan transparansi, kejujuran, dan keadilan. Karenanya, keputusan pemilu ulang di Istanbul dapat dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap demokrasi. Imamoglu menegaskan, keputusan KPU Turki tersebut karena adanya tekanan dari Erdogan.
Maka dari itu, keputusan pemilu ulang di Istanbul tersebut menjadi ujian bagi demokrasi di Turki yang selama ini selalu dijadikan sebagai kiblat demokrasi di Dunia Islam, selain Indonesia. Turki telah melalui masa-masa sulit dalam demokrasi yang kerap ditandai dengan upaya kudeta militer.
Sejak Pemilu 2002, di mana Erdogan pertama kali menjadi orang nomor satu, demokrasi dapat menjadi potret kedaulatan rakyat Turki. Semua pihak dapat menerima hasil dari proses demokrasi yang berlangsung transparan, jujur, dan adil. Sebab itu, upaya kudeta yang kerap terjadi pada tahun-tahun sebelum Erdogan berkuasa hingga setelah berkuasa selalu menemukan kegagalan, karena demokrasi menjadi mekanisme yang sah untuk menentukan kepemimpinan nasional.
Nah, Erdogan sebenarnya merupakan pemimpin yang lahir karena mekanisme demokrasi tersebut. Hingga saat ini, ia masih berkuasa tidak lain karena demokrasi telah memberikan mandat kepada dirinya untuk menjadi Presiden Turki setelah memenangkan referendum terhadap amandemen konstitusi Turki dari sistem parlementer berubah menjadi sistem presidensial.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang cenderung terus menurun dan kecenderungan Erdogan untuk memonopoli kekuasaan di internal AKP dan upayanya untuk menggunakan kekuasaan dalam mengintervensi demokrasi, telah menyebabkan luapan kemarahan dan kekecewaan dari basis kelas menengah. Untuk itu, wilayah perkotaan Turki telah menentukan pilihan tidak memilih kembali AKP dalam pemilu lokal akhir Maret lalu.
Masalah yang dihadapi Erdogan dan AKP saat ini tidak hanya dalam rangka menghadapi kelompok oposisi. Tetapi orang-orang dekat Erdogan yang selama ini turut membesarkan dirinya dan AKP cenderung disingkirkan, sehingga di antara mereka sedang berupaya mendirikan partai tersendiri, seperti Abdullah Gul dan Ahmed Davudtoglu. Karenanya, AKP tidak hanya mempunyai lawan tangguh dari pihak oposisi, tetapi juga dari dalam internal AKP yang juga sudah menyampaikan protes terhadap kepemimpinan Erdogan.
Maka dari itu, keputusan KPU Turki untuk penyelenggaraan pemilu ulang ibarat buah simalakama bagi Erdogan. Kredibilitas dirinya sebagai sosok yang selama ini percaya pada proses demokrasi akan dipertanyakan publik di dalam negeri dan luar negeri. Erdogan akan dituduh sebagai sosok pengkhianat terhadap demokrasi. Artinya, ia hanya akan percaya pada demokrasi di saat dirinya menang. Tetapi di saat menghadapi kekalahan, ia cenderung menolak dan tidak percaya pada proses demokrasi.
Apa yang terjadi saat ini akan menjadi batu ujian bagi perjalanan panjang demokrasi di Turki. Tantangan terbesar bagi demokrasi akan terjadi di saat pihak-pihak yang melakukan konstestasi ternyata tidak siap menang dan tidak siap kalah.
Wael Qindil dalam al-'Araby al-Jadid menegaskan, jika Erdogan dapat menerima kekalahan AKP dalam pemilu lokal di Istanbul, bahkan menolak pemilu ulang, maka hal tersebut akan menjadi kemenangan besar bagi demokrasi. Erdogan akan dicatat dengan tinta emas sebagai "bapak demokrasi" Turki modern.
Tapi sayang seribu sayang, Erdogan justru mendorong pemilu ulang di Istanbul, dan ini akan menjadi kisah pahit bagi demokrasi di negeri yang sudah matang dalam berdemokrasi. Tidak mudah bagi pemimpin yang mengusung isu populisme untuk menerima kekalahan, apalagi ia sudah merasakan nikmatnya kursi kekuasaan. Saatnya kita belajar dari Turki, bahwa ujian terberat dalam demokrasi ketika ada pihak-pihak yang tidak menerima kekalahan. []
DETIK, 09
Mei 2019
Zuhairi
Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik
Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar