Kamis, 06 Februari 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (18): Kehidupan Berbangsa dan Kehidupan Beragama


Meluruskan Makna Jihad (18)
Kehidupan Berbangsa dan Kehidupan Beragama
Oleh: Nasaruddin Umar

Menengok kembali Gallup's World Poll, sebuah lembaga survei internasional yang sangat terkenal di AS, yang pada 2007 membuat laporan yang kemudian dibukukan oleh John L. Esposito dan Dalia Mogahed berjudul Who Speaks for Islam? Yang artinya kira-kira ialah siapa yang berhak berbicara atas nama Islam? Buku ini menampilkan sejumlah data yang menarik untuk diperhatikan. Di antara isi buku ini ialah bagaimana membaca Islam's silenced majority, siapa yang sesungguhnya yang disebut umat Islam, mengapa di antara mereka radikal, apakah mereka memperjuangkan demokrasi atau teokrasi, dan apakah yang terjadi benturan atau keberadaan ganda?

Dengan mengambil sampel 35 negara mayoritas muslim dengan puluhan ribu responden secara acak dan dengan metodologi khusus, survei ini mengumpulkan suara mainstream muslim dalam menanggapi persoalan aktual, khususnya dilema eksternal dunia Islam. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok silent majority, yakni kelompok mainsream, lebih mengharapkan kehidupan masa depan yang lebih tenang, terutama untuk mendapatkan job/pekerjaan yang layak. Disusul kemudian dengan suasana demokratis dan dengan tetap mengharapkan agama menjadi nilai-nilai sosial yang hidup.

Yang menarik dari poll ini, kelompok mainstream mengharapkan ulama lebih fokus membimbing umat, tidak perlu terlibat langsung dalam dunia politik, meskipun pada satu sisi pemimpin pemerintahan diharapkan mengedepankan moral dan etika agama. Jihad dalam Islam agar diarahkan kepada hal-hal yang konstruktif, tidak setuju dengan cara-cara kekerasan apalagi teroris. Jika harus terjadi perang jangan sampai penduduk sipil jadi korban. Kaum perempuan muslim mengharapkan kesetaraan gender. Dunia Barat agar lebih membuka diri dan respek terhadap dunia Islam.

Di Indonesia sendiri, meskipun belum ada data kuantitatif terbaru tetapi mempunyai indikasi dan kecenderungan yang sama. Mereka menghendaki kehidupan berbangsa paralel dengan kehidupan beragama. Tidak lagi banyak mempersoalkan Islam dijadikan dasar negara atau tidak, yang penting ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat terpelihara.

Hasil pemilu legislatif yang baru lalu membuktikan bahwa partai-partai politik Islam kenyataannya tidak lagi dijadikan alternatif utama oleh umat Islam. Partai nasionalis tetapi menjanjikan kestabilan dan peningkatan kesejahteraan lebih diminati umat Islam. Ini semua menjadi isyarat meningkatnya kesadaran beragama dan berbangsa mainstream muslim. Mereka tidak lagi gampang dibakar emosinya oleh siapapun. Cara-cara pemaksaan kehendak pada saatnya akan ditinggalkan oleh mainstream muslim. []

DETIK, 27 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar