Meluruskan Makna Jihad (18)
Kehidupan Berbangsa dan Kehidupan Beragama
Oleh: Nasaruddin Umar
Menengok kembali Gallup's World Poll, sebuah lembaga survei
internasional yang sangat terkenal di AS, yang pada 2007 membuat laporan yang
kemudian dibukukan oleh John L. Esposito dan Dalia Mogahed berjudul Who Speaks for Islam? Yang
artinya kira-kira ialah siapa yang berhak berbicara atas nama Islam? Buku ini
menampilkan sejumlah data yang menarik untuk diperhatikan. Di antara isi buku
ini ialah bagaimana membaca Islam's
silenced majority, siapa yang sesungguhnya yang disebut umat Islam,
mengapa di antara mereka radikal, apakah mereka memperjuangkan demokrasi atau
teokrasi, dan apakah yang terjadi benturan atau keberadaan ganda?
Dengan mengambil sampel 35 negara mayoritas muslim dengan puluhan
ribu responden secara acak dan dengan metodologi khusus, survei ini
mengumpulkan suara mainstream
muslim dalam menanggapi persoalan aktual, khususnya dilema
eksternal dunia Islam. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok silent majority, yakni
kelompok mainsream,
lebih mengharapkan kehidupan masa depan yang lebih tenang, terutama untuk
mendapatkan job/pekerjaan
yang layak. Disusul kemudian dengan suasana demokratis dan dengan tetap
mengharapkan agama menjadi nilai-nilai sosial yang hidup.
Yang menarik dari poll
ini, kelompok mainstream
mengharapkan ulama lebih fokus membimbing umat, tidak perlu terlibat langsung dalam
dunia politik, meskipun pada satu sisi pemimpin pemerintahan diharapkan
mengedepankan moral dan etika agama. Jihad dalam Islam agar diarahkan kepada
hal-hal yang konstruktif, tidak setuju dengan cara-cara kekerasan apalagi
teroris. Jika harus terjadi perang jangan sampai penduduk sipil jadi korban.
Kaum perempuan muslim mengharapkan kesetaraan gender. Dunia Barat agar lebih
membuka diri dan respek terhadap dunia Islam.
Di Indonesia sendiri, meskipun belum ada data kuantitatif terbaru
tetapi mempunyai indikasi dan kecenderungan yang sama. Mereka menghendaki
kehidupan berbangsa paralel dengan kehidupan beragama. Tidak lagi banyak
mempersoalkan Islam dijadikan dasar negara atau tidak, yang penting
ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat terpelihara.
Hasil pemilu legislatif yang baru lalu membuktikan bahwa
partai-partai politik Islam kenyataannya tidak lagi dijadikan alternatif utama
oleh umat Islam. Partai nasionalis tetapi menjanjikan kestabilan dan
peningkatan kesejahteraan lebih diminati umat Islam. Ini semua menjadi isyarat
meningkatnya kesadaran beragama dan berbangsa mainstream muslim. Mereka tidak lagi gampang
dibakar emosinya oleh siapapun. Cara-cara pemaksaan kehendak pada saatnya akan
ditinggalkan oleh mainstream
muslim. []
DETIK, 27 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar