Berwudhu dengan Air Satu
Gayung, Bolehkah? (II)
Setelah sebelumnya dibahas tentang jumlah air yang sunnah digunakan
dalam wudhu, sekarang kita membahas masalah berikutnya dalam kasus berwudhu
dengan air satu gayung, yakni tata caranya.
Bila seseorang berwudhu dengan cara
menuangkan air sedikit demi sedikit dari wadahnya (gayung) ke anggota wudhu
tanpa memasukkan tangan ke dalam wadah air, maka cara ini adalah cara yang
disepakati kebolehannya. Bahkan inilah cara berwudhu yang standar bila memakai
air yang sedikit (jumlahnya kurang dari 2 qullah). Adapun bila memakai air
banyak atau air yang jumlahnya melebihi ukuran dua qullah (sekitar
270 liter menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaily), maka tak masalah baik berwudhu
dengan cara airnya dituangkan atau berwudhu di dalam wadah airnya.
Adapun bila seseorang berwudhu dengan cara
memasukkan tangannya ke dalam gayung, maka cara ini butuh perincian lebih
lanjut tentang keabsahannya sebab air yang jumlahnya kurang dari
dua qullah akan menjadi musta’mal (air sisa) ketika sudah dipakai
untuk menyucikan satu anggota wudhu sehingga dalam pandangan banyak ulama,
terutama Syafi’iyah, ia tak bisa dipakai lagi untuk menyucikan anggota wudhu
lainnya. Imam Nawawi berkata:
وَلَوْ
غَمَسَ الْمُتَوَضِّئُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْ غَسْلِ
الْوَجْهِ، لَمْ يَصِرْ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ غَمَسَهَا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ
الْوَجْهِ بِنِيَّةِ رَفْعِ الْحَدَثِ، صَارَ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ نَوَى
الِاغْتِرَافَ، لَمْ يَصِرْ،
“Apabila seseorang mencelupkan tangannya ke
dalam wadah air sebelum ia selesai dari membasuh muka maka airnya tidak menjadi
musta’mal.. Apabila ia mencelupkan tangannya setelah selesai membasuh muka
dengan niatan untuk menghilangkan hadas tangan maka airnya menjadi musta’mal.
Apabila ia berniat ightirâf maka tidak menjadi musta’mal.”
(an-Nawawi, Raudlat al-Thâlibîn, juz I, halaman 9)
Lebih jelasnya, Syaikh Sa’id bin Muhammad
Ba’alawi menjelaskan praktiknya seperti berikut:
ـ
(فإذا أدخل) الجنب
جزءاً من بدنه باقياً على جنابته بعد نية الغسل، أو (المتوضىء) جزءاً محدثاً من يده اليمنى أو اليسرى (يده في
الماء القليل بعد غسل وجهه) ثلاثاً… (غير ناو الاغتراف) بأن أدخلها بقصد غسلها في
الإناء، أو مع الإطلاق ( ... صار الماء مستعملاً) ـ
“Apabila seseorang yang junub memasukkan
sebagian badannya yang statusnya masih junub setelah ia berniat untuk mandi,
atau seorang yang berwudhu memasukkan sebagian anggota tubuhnya yang masih
berhadas, berupa tangan kanan atau kiri, ke dalam air yang sedikit setelah ia
membasuh wajahnya sebanyak 3 kali, .... tanpa ia berniat untuk ightirâf,
semisal ia memasukkan tangannya dengan niat membasuhnya di dalam wadah atau
tanpa niat apapun maka airnya menjadi musta’mal.” (Sa’id bin Muhammad Ba’alawi,
Syarh Muqaddimah al-Hadlramiyah, halaman 77).
Jadi, permasalahan utamanya terletak pada
niat ightirâf. Bila seseorang memasukkan tangannya ke dalam gayung atau
wadah air lainnya dengan niat ightirâf, maka airnya tidak menjadi
musta'mal sehingga tak masalah untuk dipakai melanjutkan wudhu. Akan tetapi
bila tanpa niat ightirâf ini, maka airnya berstatus sebagai air
musta’mal sehingga tak bisa dipakai melanjutkan wudhu dan harus diganti dengan
air lainnya. Niat ightirâf ini tempatnya ketika awal mula tangan
menyentuh air dalam wadah. Syaikh asy-Syarwani berkata:
وَالْوَجْهُ
الَّذِي لَا مَحِيصَ عَنْهُ وَلَا التَّفَاوُتُ لِغَيْرِهِ أَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ
تَكُونَ نِيَّةُ الِاغْتِرَافِ عِنْدَ أَوَّلِ مُمَاسَّةِ الْيَدِ لِلْمَاءِ
حَتَّى لَوْ خَلَا عَنْهَا أَوَّلَ الْمُمَاسَّةِ صَارَ الْمَاءُ بِمُجَرَّدِ
الْمُمَاسَّةِ مُسْتَعْمَلًا
“Pendapat yang tak bisa diabaikan dan tidak
boleh ditukar dengan yang lain adalah bahwasanya niat ightirâf tidak boleh
tidak harus dilakukan ketika awal mula tangan menyentuh air sehingga apabila di
waktu awal persentuhan tersebut tidak ada niat, maka airnya menjadi musta’mal
hanya dengan menyentuhnya saja.” (Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwâni, juz I,
halaman 81).
Uraian di atas adalah pendapat yang dianggap
kuat dalam mazhab Syafi’i yang difatwakan sebagai pendapat resmi mazhab.
Semuanya bertumpu pada ada tidaknya niat ightirâf. Lalu apa niat ightirâf itu?
Secara bahasa, ightirâf berarti mengambil air. Niat ightirâf dalam istilah
fiqih adalah niatan dalam hati untuk mengambil air keluar dari wadahnya untuk
dipakai menyucikan anggota wudhu di luar wadah. Niat ini sebagai penegasian
bahwa tangan menyentuh air tidak dalam rangka menghilangkan hadas tangan di
dalam wadah, melainkan sebagai media untuk mengambil air saja.
Imam asy-Syarwani menjelaskan:
لَيْسَ
الْمُرَادُ بِهَا التَّلَفُّظُ بِنَوَيْتُ الِاغْتِرَافَ، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ
اسْتِشْعَارُ النَّفْسِ أَنَّ اغْتِرَافَهَا هَذَا لِغَسْلِ الْيَدِ وَفِي خَادِمِ
الزَّرْكَشِيّ أَنَّ حَقِيقَتَهَا أَنْ يَضَعَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ بِقَصْدِ
نَقْلِ الْمَاءِ وَالْغَسْلِ بِهِ خَارِجَ الْإِنَاءِ لَا بِقَصْدِ غَسْلِهَا دَاخِلَهُ
انْتَهَى. وَظَاهِرٌ أَنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ حَتَّى الْعَوَامّ إنَّمَا
يَقْصِدُونَ بِإِخْرَاجِ الْمَاءِ مِنْ الْإِنَاءِ غَسْلَ أَيْدِيهِمْ خَارِجَهُ
وَلَا يَقْصِدُونَ غَسْلَهَا دَاخِلَهُ وَهَذَا هُوَ حَقِيقَةُ نِيَّةِ
الِاغْتِرَافِ
“Yang dimaksud niat ightirâf bukankah
mengucap saya niat mengambil air (ightirâf), tetapi merasakan dalam hati bahwa
tindakannya mengambil air bertujuan untuk membasuh tangan. Dan dalam kitab
Khadim karya Imam Az-Zarkasyi disebutkan bahwa hakikat ightirâf adalah
dengan cara meletakkan tangan di dalam wadah air dengan niatan memindah air dan
membasuh tangan di luar wadah, bukan dengan maksud membasuh tangan di dalamnya.
Yang jelas, bahwa sebagian besar orang bahkan yang awam sekalipun tak lain
mereka berniat mengeluarkan air dari wadahnya untuk membasuh tangannya di luar
wadah dan tidak bermaksud untuk membasuh tangan di dalamnya. Inilah dia hakikat
dari niat ightirâf itu.” (Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwâni, juz I,
halaman 80-81).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa persoalan
ini sebenarnya tidaklah rumit. Intinya, bila seseorang berniat mengambil air
keluar dari wadahnya untuk berwudhu di luar wadah, maka airnya tidak menjadi
musta’mal sehingga wudhunya sah. Akan tetapi, bila ia berniat membasuh
tangannya (dalam rangka berwudhu) di dalam wadah, maka airnya menjadi musta’mal
dan wudhunya menjadi tidak sah bila terus menggunakan air tersebut.
Lalu apakah ketentuan untuk berniat ightirâf
ini merupakan kesepakatan ulama yang tak bisa ditawar lagi? Kita akan bahas
pada bagian selanjutnya.
Wallahu a'lam.
Bersambung… []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Pengurus Lembaga
Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar