Meluruskan Makna Jihad (16)
Reindonesianisasi Pemahaman Islam
Oleh: Nasaruddin Umar
Menjadi seorang mulim terbaik tidak mesti harus menjadi orang
Arab, orang Iran, orang Yaman, atau identitas keumatan negara lain. Kita bisa
menjadi orang Indonesia, atau orang Jawa, Bugis, Batak, atau beridentitas etnik
apapun yang ada pada diri kita selama ini, pada saat bersamaan kita bisa
menjadi the best muslims.
Bukankah Allah telah menegaskan:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. (Q.S. A-Hujurat/49:13).
Tulisan ini sama sekali tidak bernuansa rasial, menolak dan tidak
respek terhadap etnik tertentu seperti Arab. Perlu diingat, Nabi kita Muhammad
dan para khulafaurrasyidun adalah
orang Arab. Al-sabiqun
al-awwalun adalah orang-orang Arab di antara mereka dijamin masuk
surga. Orang-orang Arab juga tidak bisa diingkari jasanya di dalam
mentransformasikan warisan intelektual Yunani ke dalam dunia Islam melalui
upaya penerjemahan buku-buku dan penyerapan teknologinya.
Bahkan orang-orang Arab amat berjasa membawa Islam ke Indonesia,
serta tak bisa dilupakan bahwa para Wali Songo yang amat berjasa terhadap
pengislaman di wilayah Nusantara adalah juga turunan Arab. Yang paling penting
juga ialah Al-Qurán dan hadis, yang merupakan sumber ajaran Islam menggunakan
bahasa Arab.
Namun demikian, tidak berarti Islam dan perangkat ajarannya harus
identik dengan budaya Arab atau Negara Timur Tengah lainnya. Tidak seorang pun
bisa mengklaim bahwa Islam harus identik dengan tradisi dan budayanya. Dengan
kata lain, ajaran Islam dan budaya Arab tidak identik. Tradisi dan budaya Arab
kebetulan merupakan lokus pertama yang menjemput kelahiran Islam.
Adalah wajar jika kemudian ajaran Islam banyak diwarnai oleh
tradisi dan budaya Arab. Tradisi dan budaya inilah yang paling pertama mewadahi
ajaran dasar Islam. Tidak heran kalau Imam Malik, salah seorang pendiri imam
Mazhab yang mazhabnya dikenal dengan mazhab Maliki, memasukkan Ámal ahlul Madinah
(tradisi penduduk Madinah) sebagai salah satu dasar atau rujukan hukum.
Orang bisa mengatakan islamisasi
yes dan arabisasi
no. Namun perlu diingat bahwa setiap nilai etnik terdapat di
dalamnya nilai-nilai universal, termasuk Indonesia dan Arab. Seperti halnya
tradisi dan budaya Indonesia memiliki juga nilai-nilai luhur bersifat
universal, sehingga bisa diterima di negara-negara lain. Misalnya, tradisi
halal bi halal setiap usai Bulan Puasa sekarang banyak diadopsi di
negara-negara lain seperti di kawasan Asia Tenggara, itu tidak ada masalah.
Yang menjadi masalah jika ajaran Islam dipaksakan identik dengan
tradisi dan budaya Arab. Seolah-olah yang paling islami ialah tradisi dan
budaya Arab, bahkan ada yang membidahkan jika ada aspek ajaran Islam melekat
pada budaya lokal. Seperti tradisi perkawinan yang sering dirangkai dengan
adat-istiadat lokal, sering ada yang mengusiknya.
Sepanjang sebuah tradisi dan budaya tidak bertentangan dengan
substansi ajaran Islam maka itu sah saja menjadi "tempat" ajaran
Islam mengaktualkan atau mewadahi dirinya. Contohnya, ajaran Islam menyerukan
menutup aurat, tetapi model penutup auratnya tidak mesti menggunakan cadar (chodor dari bahasa Persia
berarti kelambu), abaya (tradisi Syiria), hijab atau jilbab (Arab).
Perempuan muslimah Indonesia bisa tetap menggunakan model dan
pakaian tradisional masing-masing, yang penting terpenuhi substansi ajaran
Islamnya sebagai penutup aurat. Apa itu aurat, di mana batas-batas aurat
laki-laki dan perempuan? Akan dibahas tersendiri dalam artikel lain. []
DETIK, 23 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar