Cara Mengetahui Illat Hukum
Syekh Ali Jumah menyebutkan bahwa teks-teks
syariat yang berhubungan dengan hukum jumlahnya sangat terbatas, baik yang
terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum
jumlahnya tidak lebih dari 200 ayat (dari 6.236 ayat). Sedangkan hadits aḥkām
juga tidak lebih dari 3000 hadits (dari sekitar 60.000an hadits). Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam sebuah adagium ‘Nuṣūṣun maḥsūratun” (jumlah naṣ-naṣ
terbatas). sedangkan masalah manusia senantiasa berkembang.
النصوص
محصورة الوقائع والأحوال الحياتية دائمة التجدد والتزايد والتغير
Artinya, “Teks-teks agama terbatas. Sedangkan
kejadian dan kondisi kehidupan manusia senantiasa diperbaharui, bertambah, dan
berubah, (Lihat Syekh Ali Jumah, Tārikh Uṣul Fiqh, [Kairo, Dārul Maqṭum:
2015 M], halaman 102).
Dalam hal seperti inilah maka para ahli ushul
menggunakan qiyas sebagai metode pengambilan hukum (istinbaṭ al-ḥukm), walau
ada juga beberapa perdebatan terkait keabsahan qiyas itu sendiri.
Salah satu rukun qiyas yang harus difahami
adalah illat. Mengetahui dan memahami illat menjadi bagian penting dari qiyas
karena tidak mungkin qiyas bisa digunakan tanpa diketahui terlebih dahulu
illatnya.
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan tiga cara
yang paling umum digunakan untuk mengetahui sebuah illat dalam sebuah hukum
syariat.
Pertama, Nash (teks). Illat dalam naṣh ini
ada kalanya ṣhāriḥ (jelas) dan ada kalanya bil imā’ wal isyārah (dengan
tanda atau petunjuk).
Adapun beberapa contoh illat naṣh ṣhāriḥ
adalah biasanya menyebutkan secara langsung ‘sebab dan alasannya’ dalam badan
naṣh, misalnya dengan lafal “li ajli”, “li alla”, “li sababi”.
Contohnya:
أقم
الصلاة لدلوك الشمس
Artinya, “Dirikanlah shalat karena matahari
sudah bergeser dari titik tengahnya.”
Atau bisa juga naṣh yang ghairus Sārih,
seperti:
لايقض
القاضي وهو غضبان
Artinya, “Seorang hakim tidak boleh
menghukumi sesuatu ketika ia sedang marah,” (Lihat Abdul Wahhāb Khallāf, Ilmu
Uṣūlil Fiqh, [Kairo, Maktabah Dakwah Al-Islāmiyah: 1956], halaman 76).
Kedua, Ijmāʽ. Jika para mujtahid berijtihad
terhadap illat dari suatu hukum pada suatu masa, maka illat tersebut sah
berdasarkan ijma’. Seperti ketetapan para ulama bahwa illat dari didahulukannya
saudara kandung (akh syaqīq) daripada saudara seayah (akh lil ab)
dalam masalah warisan adalah unggulnya saudara kandung atas kedekatan pada ibu.
Maka dari ilat tersebut bisa diqiyaskan bahwa seorang anak laki-laki dari
saudara kandung lebih didahulukan dari pada anak laki-laki dari saudara seayah
dalam hal perwalian.
Ketiga, As-Sabru wat Taqsīm. Yang
dimaksud dengan As-Sabr adalah meneliti sifat-sifat yang memungkinkan
untuk bisa dijadikan illat, kemudian melihat apakah illat tersebut sesuai untuk
hukum atau tidak. Kemudian menanggalkan illat-illat yang tidak sesuai dan hanya
memilih illat yang sesuai.
Adapun Taqsīm adalah menyeleksi dan
meringkas lagi sifat-sifat yang telah sesuai dan mengandung aslul qiyas.
Secara eksplisit, dengan mengutip Al-Ghazali
dalam Al-Mustaṣfā, Syekh Wahbah Zuhayli menjelaskan bahwa As-Sabru
wat Taqsīm adalah:
جمع
الأوصاف التي يظن كونها علة في الأصل ثم اختبارها بإبطال مالايصلح منها للعلية
فيتعين الباقي للتعليل
Artinya, “Mengumpulkan sifat-sifat yang
dikira sebagai illat dalam aṣhl, kemudian menelitinya dengan membatalkan
sifat-sifat yang tidak sesuai untuk dijadikan illat, kemudian menentukan
sisanya sebagai illat.” (Lihat Syekh Wahbah Zuhayli, Uṣhul Fiqhil Islāmī,
[Beirut, Dārul Fikr: 1986 M], juz I, halaman 671).
As-Sabr wat Taqsīm dilakukan apabila ada naṣh
yang menerangkan tentang suatu kasus, tetapi tidak ada naṣh yang menerangkan
‘illatnya. Misalnya ketika ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasul SAW
mengadu bahwa ia telah berhubungan seksual dengan istrinya pada bulan Ramadhan.
Kemudian Nabi SAW menyuruhnya membayar kafarah
berupa memerdekakan budak. Jika tidak dapat, diganti dengan puasa dua bulan
berturut-turut. Jika masih tidak mampu, maka diganti dengan memberi makan enam
puluh orang miskin.
Tidak diragukan lagi bahwa hukum ini memiliki
illat. Namun yang menjadi illatnya adalah apakah sekadar membatalkan puasa atau
atau karena berhubungan suami dan istri?
Menjimak istri jelas bukan haram secara
dzatnya. Namun jimak pada siang hari bulan Ramadhan merusak kemuliaan Ramadhan.
Hal ini juga sama dengan hal-hal yang membatalkan puasa yang lain. Maka
diputuskan bahwa yang menjadi illat adalah kesengajaannya, (Lihat Muḥammad Abū
Zahrah, Uṣhūlul Fiqh, [Beirut, Dārul Fikril ʽAraby: tanpa tahun],
halaman 245).
Itulah beberapa cara untuk mengetahui illat.
Hal ini dirasa sangat penting untuk diketahui sebagai jalan bagi kita memahami
sebuah hukum dengan komprehensif, juga agar kita tidak terjebak pada pemahaman
yang kaku dan ujung-ujungnya merugikan bagi diri sendiri. Wallahu alam.
[]
Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, Pegiat
Kajian Tafsir dan Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar