Meluruskan
Makna Jihad (15)
Mengevaluasi
Ego Keumatan Kita
Oleh:
Nasaruddin Umar
Egoisme
keumatan perlu sesekali direnungkan kembali. Betulkah kita sudah perfect sebagai ummah sehingga dapat
digunakan rujukan untuk menilai orang dan masyarakat lain? Motivasi dan
referensi apa yang paling dominan di dalam diri kita untuk melakukan jihad?
Jangan sampai kriteria yang kita gunakan untuk menyasar orang lain justru lebih
menonjol subjektivitas kita yang berbeda dengan orang atau kelompok yang
disasar.
Jangan
sampai kita termasuk pihak yang disindir oleh pepatah: Semut mati di seberang laut kelihatan,
gajah mati di pelupuk mata tidak kelihatan. Selama namanya manusia,
pasti subjektivitasnya pernah mendominasi dirinya. Dalam keadaan seperti ini
manusia cenderung bukan hanya meng-aku-kan dirinya sendiri, tapi juga berharap
meng-aku-kan orang lain. Dengan kata lain, ia ingin melihat orang lain seperti
keakuan dirinya, bukan sesuai dengan esensi universal yang menjadi inti ajaran
agama.
Sering
kita menjumpai orang menghendaki persepsi atau keakuan dirinya
diimplementasikan oleh orang lain di luar dirinya. Ia kecewa bahkan marah kalau
keinginan dirinya berjarak dengan kenyataan. Celakanya, terkadang seseorang
menggunakan bahasa agama untuk melegitimasi dan menjustifikasi keakuan diri
tersebut, sehingga siapapun yang berbeda dengan dirinya maka salah menurut
agama. Atas nama "kebenaran" itu, maka seseorang bisa menghalalkan
yang haram, termasuk mengalirkan darah saudaranya sendiri.
Kondisi
sedemikian di atas bukanlah sesuatu yang ideal dan tidak akan pernah
menghasilkan sesuatu yang ideal. Kini sudah saatnya kita melakukan
interiorisasi ajaran agama. Jika nilai-nilai ajaran agama menjadi bagian yang
integral, internal, dan inheren di dalam diri setiap individu, maka akan
tercipta universalitas nilai-nilai ajaran agama di dalam lingkungan pacu
kehidupan kita. Interiorisasi nilai-nilai luhur ajaran agama ke dalam pribadi
akan melahirkan kesadaran kolektif dan universal. Betapa tidak, karena diri
kita sudah melihat substansi diri kita sendiri di dalam diri orang lain, bahkan
pada seluruh alam raya.
Setiap
kali kita melihat orang lain atau apapun yang kita lihat, seolah-olah substansi
diri kita juga ada di sana. Seolah-olah kata I,
you, dan he/she/hey menjadi tidak
relevan lagi. Seolah-olah kata I,
you, dan he/she/they larut menjadi we. Tidak lagi ada kamus
"orang lain" di luar diri kita. Kamus aku adalah kamus engkau dan
kamus mereka juga. Dengan demikian, lingkungan sosial tercipta sebuah
keindahan.
Perbedaan
yang ada bukan lagi sesuatu yang menyedot energi, tetapi bagaikan ornamen
lukisan warna-warni yang menyejukkan hati dan pikiran. Alam ini ini memang
adalah sebuah lukisan; lukisan Tuhan (The
Painting of God). Siapa yang menentang realitas pluralis berarti tidak
takjub melihat lukisan Tuhan. Orang yang demikian boleh jadi itulah yang dicap
dengan fi qulubihim maradl
(dalam hatinya ada yang tidak beres). Jika hal ini berlanjut maka dikhawatirkan
berada dalam posisi khatamallah
'ala qulubihim (Allah mengunci mati hatinya). Na'udzu billah.
Sesungguhnya yang ideal ialah proporsional, yakni interiorisasi yang diiringi dengan eksteriorisasi. Kita harus terlebih dahulu menginternalisasikan nilai-nilai ideal itu pada diri sendiri sebelum menyerukannya kepada orang lain. Nabi Muhammad bukan hanya mengatakan: Ibda' bi nafsik (mulailah pada diri sendiri). Allah juga memperkenalkan nilai-nilai Islam sebagaimana terangkum di dalam Al-Quran diawali dengan proses internalisasi nilai-nilai substantif (aqidah) yang turun di Mekah, yang biasa disebut ayat-ayat Makkiyyah, lalu disusul dengan ayat-ayat legal-formalistis untuk kehidupan bermasyarakat di Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyyah.
Sistematisasi
penurunan ayat (at-tanzil)
berdasarkan kondisi objektif masyarakat menarik untuk diperhatikan. Sebaiknya
kita tidak rancu di dalam memperkenalkan ajaran agama. Ada kaedah-kaedah dan
metodologi di dalam menyampaikan ajaran agama, seperti diserukan sendiri dalam
Al-Quran: Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl/16:125). []
DETIK, 22
Januari 2020
Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar