Benarkah Orang Tua Nabi
Muhammad Penyembah Berhala?
Semua orang Islam sepakat bahwa Nabi adalah
manusia mulia, tidak ada keraguan untuk hal ini. Namun yang masih ditemukan
kekeliruan adalah tentang bagaimana memahami kemuliaan Nabi secara utuh,
utamanya berkaitan dengan kedua orang tua beliau. Karena hidup pada masa
pra-risalah Nabi Muhammad, sebagian kalangan beranggapan bahwa ayah dan ibunda
Nabi adalah penyembah berhala. Menurut mereka, kedua orang tua Nabi kelak
berada di neraka bersama orang-orang yang celaka. Benarkah anggapan tersebut?
Ada beberapa dalil yang menunjukan bahwa
kedua orang tua Nabi adalah pribadi yang beriman, meyakini agama tauhid yang
dibawa nenek moyangnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm.
Di antaranya firman Allah dalam menceritakan
doanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm:
رَبِّ
اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku
orang-orang yang tetap mendirikan shalat.” (QS Ibrahim: 40)
Di dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim meminta
beliau dan anak cucunya rajin mendirikan shalat. Sebagaimana maklum diketahui
bahwa tidak ada yang menjalankan shalat kecuali orang yang beriman.
Doa Nabi Ibrahim tersebut diijabah oleh
Allah, menurut riwayat Shahih dari Ibnu al-Mundzir bahwa dari keturunan Nabi
Ibrahim terdapat kelompok manusia yang senantiasa menyembah-Nya.
Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini
menegaskan:
وقد
أخرج ابن المنذر في « تفسيره » بسند صحيح عن ابن جرير في قوله تعالى حكاية عن
إبراهيم عليه السلام رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِي قال : لا يزال من ذرية إبراهيم عليه السلام ناسٌ على الفطرة
يعبدون الله
“Dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan di dalam
tafsirnya dengan sanad yang shahih dari Ibnu Jarir tentang dalam firman Allah
yang menceritakan doanya Nabi Ibrahim, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak
cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat’, Ibnu Jarir berkata dari
keturunan Nabi Ibrahim senantiasa terdapat kelompok manusia yang menetapi
kesucian, mereka menyembah Allah.” (Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj
al-Wadlihat fi Najati al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 6)
Lebih dari itu, al-Imam al-Suyuthi menegaskan
bahwa yang paling layak masuk dalam doa Nabi Ibrahim adalah nenek moyang garis
keturunan Nabi Muhammad yang diberi keistimewaan membawa “Nur Muhammad” dari
satu keturunan menuju keturunan berikutnya.
Salah satu pembesar ulama mazhab Syafi’i
tersebut mengatakan:
فعرف
أن كل ما ذكر عن ذرية إبراهيم، فإن أولى الناس به سلسلة الأجداد الشريفة الذين
خصوا بالاصطفاء، وانتقل إليهم نور النبوة واحدا بعد واحد، فهم أولى بأن يكونوا هم
البعض المشار إليهم في قوله رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِي
“Maka diketahui bahwa apa yang telah
dijelaskan tentang keturunan Nabi Ibrahim, yang lebih layak masuk dari golongan
mereka adalah silsilah nenek moyang Nabi Muhammad yang suci, mereka yang diberi
kekhususan dengan dipilih, cahaya kenabian berpindah dari mereka dari satu
orang menuju yang lain. Maka mereka lebih utama untuk masuk dalam sebagian
keturunan Nabi Ibrahim yang diisyaratkan dalam firman Allah, ‘Ya Tuhanku,
jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat’.”
وأخرج
ابن أبي حاتم عن سفيان بن عيينة أنه سئل: هل عبد أحد من ولد إسماعيل الأصنام، قال:
لا، ألم تسمع قوله وَاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sufyan bin
Uyaynah bahwa beliau ditanya, apakah salah seorang dari anak turunnya Nabi
Isma’il menyembah berhala? Sufyan menjawab, tidak. Bukankah engkau tidak
mendengar firman Allah, “Dan jauhkanlah aku dan anaku dari menyembah
berhala-berhala?” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi,
juz 2, hal. 262)
Di dalam ayat yang lain, Allah berfirman:
وَإِذْ
قالَ إِبْراهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَراءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا
الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي
عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena
Sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’. Dan (lbrahim ‘alaihissalâm)
menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya
mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Al-Zukhruf: 26-28).
Ayat ini oleh al-Imam al-Suyuthi dinilai
sebagai dalil yang paling jelas akan keimanan nenek moyang Nabi. Selanjutnya di
dalam kitab “al-Hawi li al-Fatawi” al-Suyuthi mengutip banyak riwayat tentang
interpretasi dari ayat di atas. Dari sekian tafsir tersebut menyimpulkan bahwa
keturunan Nabi Ibrahim senantiasa mengikrarkan kalimat syahadat (beriman).
Berikut ini penjelasan lengkap al-Imam
al-Suyuthi:
الأمر
الثاني مما ينتصر به لهذا المسلك، آيات وآثار وردت في ذرية إبراهيم وعقبه، الآية
الأولى - وهي أصرحها - قوله تعالى وَإِذْ قالَ إِبْراهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ
إِنَّنِي بَراءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Perkara yang kedua, di antara yang mendukung
argumentasi ini terdapat beberapa ayat dan atsar (perkataan sahabat Nabi) yang
menjelaskan tentang keturunan Nabi Ibrahim. Ayat yang pertama dan ini adalah
dalil yang paling jelas adalah firman Allah, Dan ingatlah ketika Ibrahim
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung
jawab terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang
menjadikanku; karena Sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". Dan
(Ibrahim ‘alaihissalâm) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal
pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.”
أخرج عبد
بن حميد في تفسيره بسنده عن ابن عباس في قوله وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي
عَقِبِهِ قال: لا إله إلا الله، باقية في عقب إبراهيم
“Abd bin Humaid meriwayatkan dalam tafsirnya
dengan sanad dari Ibnu Abbas tentang firman Allah ‘Dan (lbrahim ‘alaihissalâm)
menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya’, Ibnu Abbas
berkata, itu adalah kalimat Lâ Ilâha Illa-Llâh, kalimat yang kekal untuk
keturunan Nabi Ibrahim.”
وقال
عبد بن حميد: حدثنا يونس عن شيبان عن قتادة في قوله وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً
فِي عَقِبِهِ قال شهادة أن لا إله إلا الله والتوحيد، لا يزال في ذريته من
يقولها من بعده
“Abd bin Humaid berkata, kami mendapat berita
dari Yunus dari Syayban dari Qatadah tentang firman Allah, “Dan (lbrahim ‘alaihissalâm)
menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya”, Qatadah berkata,
kalimat tersebut adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan kalimat
tauhid. Senantiasa dari keturunan Nabi Ibrahim terdapat orang yang
mengucapkannya.”
وقال
عبد الرزاق في تفسيره عن معمر عن قتادة في قوله وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي
عَقِبِهِ قال: الإخلاص والتوحيد، لا يزال في ذريته من يوحد الله ويعبده،
أخرجه ابن المنذر
“Abdur Razzaq berkata dalam tafsirnya,
diriwayatkan dari Ma’mar dari Qatadah tentang firman Allah, “Dan (Ibrahim ‘alaihissalâm)
menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya”, Qatadah
berkata, itu adalah kalimat ikhlas dan tauhid. Senantiasa dari keturunan Nabi
Ibrahim terdapat orang yang mengesakan Allah dan menyembahNya. Keterangan ini
diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir.” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li
al-Fatawi, juz 2, hal. 261)
Di samping ayat Al-Qur’an, terdapat beberapa
hadits Nabi yang menjadi argumentasi tentang masalah ini.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab
Shahihnya:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «بُعِثْتُ مِنْ خَيْرِ قُرُونِ بَنِي آدَمَ قَرْنًا فَقَرْنًا، حَتَّى
بُعِثْتُ مِنَ الْقَرْنِ الَّذِي كُنْتُ فِيهِ» ـ
“Dari Abu Hurairah beliau berkata, Nabi
bersabda, aku diutus dari sebaik-baiknya masa anak Adam, dari satu masa ke masa
berikutnya, hingga aku diutus dari masa yang aku berada di dalamnya.” (HR.
al-Bukhari).
Imam Muslim dan al-Tirmidzi meriwayatkan
hadits shahih berikut ini:
عَنْ
وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِبْرَاهِيمَ إِسْمَاعِيلَ،
وَاصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ بَنِي كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ بَنِي
كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ
بَنِي هَاشِمٍ» .
“Dari Watsilah bin Asqa’ beliau berkata, Nabi
bersabda, sesungguhnya Allah memilih Isma’il dari anak Ibrahim, dan dari anak
Isma’il memilih Bani Kinanah, dan dari Bani Kinanah memilih Quraisy, dan dari
Quraisy memilih Bani Hasyim, dan dari Bani Hasyim memilihku.” (HR. Muslim dan
al-Tirmidzi).
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitab Dalail
al-Nubuwwah dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
وَأَخْرَجَ
أبو نعيم فِي " دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ " مِنْ طُرُقٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَمْ يَزَلِ اللهُ يَنْقُلُنِي مِنَ الْأَصْلَابِ
الطَّيِّبَةِ إِلَى الْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ مُصَفًّى مُهَذَّبًا، لَا تَنْشَعِبُ
شُعْبَتَانِ إِلَّا كُنْتُ فِي خَيْرِهِمَا» ـ
"Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Allah
senantiasa memindahku dari tulang rusuk yang suci kepada rahim-rahim yang suci,
seraya dijerbihkan dan dibersihkan. Tidaklah bercabang dua cabang (garis
keturunan) kecuali aku berada di (keturunan) yang terbaik". (HR Abu
Nu'aim)
Dalam hadits yang diriwayatkan dan diberi
predikat hadits Hasan oleh al-Tirmidzi disebutkan:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ حِينَ خَلَقَنِي جَعَلَنِي مِنْ
خَيْرِ خَلْقِهِ، ثُمَّ حِينَ خَلَقَ الْقَبَائِلَ جَعَلَنِي مِنْ خَيْرِهِمْ
قَبِيلَةً، وَحِينَ خَلَقَ الْأَنْفُسَ جَعَلَنِي مَنْ خَيْرِ أَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ
حِينَ خَلَقَ الْبُيُوتَ جَعَلَنِي مَنْ خَيْرِ بُيُوتِهِمْ، فَأَنَا خَيْرُهُمْ
بَيْتًا وَخَيْرُهُمْ نَفْسًا» ـ
“Dari Ibnu Abbas bin Abdil Muthallib beliau
berkata, Nabi bersabda, sesungguhnya ketika Allah menciptakanku, Ia jadikan aku
dari makhluknya yang terbaik, saat Allah menciptakan kabilah-kabilah, Ia
jadikan aku dari sebaik-baiknya kabilah, ketika Allah menciptakan jiwa-jiwa, Ia
jadikan aku dari sebaik-baiknya jiwa, ketika Allah menciptakan rumah-rumah, Ia
jadikan aku dari sebaik-baiknya rumah mereka. Maka aku adalah sebaik-baiknya
mereka, rumah dan jiwanya.” (HR al-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
Beberapa hadits di atas menegaskan bahwa
nenek moyang Nabi adalah garis keturunan yang dipilih oleh Allah. Mereka diberi
keutamaan yang tidak dimiliki orang lain. Sangat tidak rasional bila kebaikan,
kemuliaan, dan keutamaan dianugerahkan oleh Allah untuk rahim dan darah daging
yang musyrik.
Syekh Jalaluddin al-Suyuthi menegaskan:
ومن
المعلوم أن الخيرية والاصطفاء والاختيار من الله، والأفضلية عنده لا تكون مع الشرك
“Dan termasuk yang diketahui adalah kebaikan,
penyaringan dan pemilihan dari Allah serta keutamaan di sisiNya tidak terjadi
besertaan dengan kesyirikan.” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li
al-Fatawi, juz 2, hal. 256)
Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini
menegaskan:
وهل
يعقل أن يقرَّ الله الرّوح الطّاهر الطيّب بأصلاب المشركين وأرحام المشركات
ويجعلها أصله في التّكوين والتّصوير وهو القائل إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ
نَجَسٌ والقائل أيضًا الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ
لِلْخَبِيثَاتِ
“Dan apakah bisa dinalar Allah menitipkan ruh
yang suci kepada tulang rusuk orang-orang musyrik dan rahimnya wanita-wanita
musyrik? Dan Allah jadikan ruh itu dasar dari sebuah perwujudan alam semesta,
padahal Allah berfirman, ‘Orang-orang musyrik adalah kotor’, ‘Wanita-wanita
yang hina untuk laki-laki yang hina. Laki-laki yang hina untuk perempuan yang
hina’.” (Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj al-Wadlihat fi Najati
al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 11).
Masih banyak lagi hadits yang senada selain
yang telah disebutkan di atas, hingga al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
menegaskan bahwa tanda-tanda kesahihan sangat tampak di dalam matan hadits yang
menjelaskan kemuliaan nasab Nabi.
Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip
al-Suyuthi menegaskan:
قال
الحافظ ابن حجر في أماليه لوائح الصحة ظاهرة على صفحات هذا المتن
“Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab
Amalinya, isyarat-isyarat kesahihan tampat pada lembaran-lembaran matan hadits
ini.” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz 2, hal.
256)
Dari banyak hadits Nabi, al-Imam al-Suyuthi
menyimpulkan bahwa nenek moyang Nabi sampai Adam dan Hawa disucikan dari
kesyirikan dan kekufuran.
Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini
menegaskan:
قال
السّيوطي اعلم أنّ الأحاديث يصرح أكثرها لفظًا وكلها معنًى أن آباء النبي - صلى الله عليه وسلم - وأمهاته آدم وحواء مطهّرون من دنس
الشِّرك والكفر، ليس فيهم كافر؛ لأنه لا يقال في حق الكافر أنّه مختار ولا طاهر
ولا مصفًى، بل يقال نجس. قال تعالى إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ.
“Al-Imam al-Suyuthi berkata, ketahuilah
sesungguhnya mayoritas redaksi hadits dan keseluruhan maknanya menjelaskan
bahwa nenek moyang Nabi hingga Adam dan Hawa disucikan dari kotoran syirik dan
kekufuran, tidak ada dari mereka orang kafir, sebab tidak bisa diucapkan untuk
orang kafir ia adalah pilihan, suci dan bersih, bahkan diucapkan untuknya
kotor. Allah berfirman, orang-orang musyrik adalah kotor.”
فوجب
أن لا يكون في أجداده مشرك، فما زال منقولاً من الأصلاب الطّاهرة إلى الأرحام
الطّاهرة، وما زال ينتقل نوره من ساجد إلى ساجد.
“Maka wajib di antara nenek moyang Nabi tidak
ada satupun orang musyrik. Nabi senantiasa dipindah dari tulang rusuk yang suci
menuju Rahim-rahim yang suci. Cahaya Nabi senantiasa berpindah dari orang yang
bersujud kepada orang yang bersujud.” (Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj
al-Wadlihat fi Najati al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 21).
Dari beberapa penjelasan di atas dapat
dipahami, anggapan bahwa orang tua Nabi adalah penyembah berhala adalah sebuah
kesalahan. Anggapan tersebut tidak hanya keliru, namun sangat fatal dan
berbahaya. Sebab sudah mencederai kemuliaan Nabi. Menurut Syekh Ibnu al-Arabi,
tidak ada perbuatan yang lebih menyakiti Nabi dari pada mengatakan bahwa kedua
orang tua Nabi kelak akan masuk neraka.
Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini
menegaskan:
وقد
زلّت قدم بعض الناس فنسب أبويه إلى الشرك. والحذَر الحذَر من ذكرهما بنقص فإنَّ
ذلك يؤذيه - صلى الله عليه وسلم - لحديث الطبراني لا تؤذوا الأحياء بسب
الأموات
“Dan telah terpeleset sebagian manusia. Ia
menisbatkan kedua orang tua Nabi kepada kesyirikan. Jauhi dan jauhilah betul
menyebutkan kedua orang tua Nabi dengan sifat kurang, sebab hal tersebut dapat
menyakiti Nabi, karena haditsnya Imam al-Thabrani, janganlah menyakiti orang hidup
dengan mencela orang mati.”
قال
القاضي ابن العربي المالكي ولا أذى أعظم له - صلى الله عليه وسلم - من أن يقال أن
أبويه في النار. والله سبحانه وتعالى يقول إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ
“Al-Qadli Ibnu al-‘Arabi al-Maliki berkata,
tidak ada perbuatan yang lebih menyakiti Nabi dari pada menyebut kedua orang
tua Nabi berada di neraka. Sedangkan Allah berfirman, sesungguhnya mereka yang
menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat.”
(Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj al-Wadlihat fi Najati
al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 20).
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan. Semoga kita terhindar dari ucapan, keyakinan atau perbuatan yang
dapat mencederai derajat keagungan Nabi Muhammad Saw dan nenek moyangnya. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar