Sikap terhadap Pemimpin
Menurut Ajaran Islam
Setelah usai dari perhelatan pesta demokrasi
untuk memilih presiden, ada hal-hal yang perlu bahkan wajib kita perhatikan
mengenai bagaimana pandangan syariat Islam dan sikap yang harus kita jalani
terhadap pemimpin yang terpilih secara sah dan demokratis di negara kita
tercinta, Indonesia. Di antaranya adalah:
Kewajiban Menaati Pemimpin dalam Kebajikan
Ketaatan kepada pemimpin adalah suatu
kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits sangat banyak
sekali. Dalil di dalam Al-Qur’an di antaranya adalah firman Allah ta'ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An
Nisa' [4]: 59)
Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan
kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh perintah
"taatilah" karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (tâbi')
dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat
kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan taat kepada mereka
Dalil-dalil ketaatan kepada pemimpin meskipun
mereka zalim di dalam hadits:
عَنْ
عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ
يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا
حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ
سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي
الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
"Abu Hunaidah (wail) bin Hudjur RA
berkata: Salamah binti Yazid Al Ju'fi bertanya pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam: Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat di atas kami
kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka
bagaimanakah anda memerintahkan pada kami ? Pada mulanya beliau mengabaikan
pertanyaan itu, hingga beliau ditanya yang kedua kalinya atau ketiga kalinya,
maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menarik Al Asy'ats bin Qois
dan bersabda: Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka
sesungguhnya di atas mereka ada tanggung jawab/kewajiban atas mereka sendiri
dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri." (HR Muslim)
وَرَوَى
هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ
فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ،
فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ
أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
"Sepeninggalku nanti ada
pemimpin-pemimpin yang akan memimpin kalian, pemimpin yang baik akan memimpin
dengan kebaikannya dan pemimpin yang fajir akan memimpin kalian dengan
kefajirannya. Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara-perkara yang sesuai
dengan kebenaran saja. Apabila mereka berbuat baik maka kebaikannya adalah
bagimu dan untuk mereka, jika mereka berbuat buruk maka bagimu (untuk tetap
berbuat baik) dan bagi mereka (keburukan mereka)." (HR Bukhari Muslim)
يَكُوْنُ
بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي
وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي
جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ
أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ
ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
"Akan datang setelahku para pemimpin
yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada
mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam
jasad manusia." (Hudzaifah berkata), "Wahai Rasulullah, apa yang aku
perbuat jika aku menemui mereka?" Beliau menjawab, "Engkau dengar dan
engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil." (HR.
Muslim)
Padahal sudah maklum kita ketahui, bahwa
menyiksa atau memukul punggung seseorang dan mengambil harta tanpa ada sebab
yang dibenarkan oleh syari'at–tanpa ragu lagi—termasuk maksiat. Seseorang tidak
boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, "Saya tidak akan taat
kepadamu sampai engkau menaati Rabb-mu." Perkataan semacam ini
adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin)
walaupun mereka durhaka kepada Rabb-nya.
Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk
bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan menaati mereka.
Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta'ala
oleh karena itu wajib taat kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada
maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
"Tidak ada kewajiban taat dalam rangka
bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf (bukan
maksiat)." (HR. Bukhari no. 7257)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
juga bersabda,
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ
بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
"Seorang muslim wajib mendengar dan taat
dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk
bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengar dan taat." (HR. Bukhari no. 7144)
Menghindari Fitnah dan Pertumpahan Darah
Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar
dan taat kepada penguasa. Karena, bila kita tidak menaati mereka, maka akan
terjadi kekacauan, pertumpahan darah dan terjadi korban pada kaum muslimin.
Ingatlah bahwa darah kaum muslimin itu lebih mulia daripada hancurnya dunia
ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ
الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
"Hancurnya dunia ini lebih ringan
(dosanya) daripada terbunuhnya seorang muslim." (HR. Tirmidzi)
Sekarang kita dapat menyaksikan orang-orang
yang memberontak kepada penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan
darah dan banyak di antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban.
Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan
menaati mereka. Namun bukan berarti tidak ada amar ma'ruf nahi munkar. Hal itu
tetap ada tetapi harus dilakukan menurut kaidah yang telah ditetapkan oleh
syari'at yang mulia ini.
Sahabat 'Amr bin 'Ash berkata kepada
putranya, Abdullah:
عن
عمرو بن العاص رضي الله عنه أنه قال لابنه عبد الله: يا بني! سلطان عادل خير من
مطر وابل، وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم، وسلطان غشوم ظلوم خير من فتنة تدوم
“Wahai anakku, pemimpin yang aqdil itu lebih
baik dibandingkan dengan hujan yang deras, macan yang buas lebih baik daripada
pemimpin yang zalim sedangkan pemimpin yang sangat zalim itu masih lebih baik
dibandingkan dengan fitnah yang permanen (dikarenakan tidak ada pemimpin sama
sekali).”
Syekh 'Ali Jum'ah, mantan mufti Mesir
menyitir maqalah Imam Malik:
حاكم
ظلوم غشوم ولا فتنة تدوم
“(Tetaplah menaati) pemimpin yang zalim dan
jangan sampai terjadi fitnah yang berkepanjangan tanpa akhir.
Lalu beliau berkomentar:
فوجدنا
من يخرج علينا هذه الأيام ويقول أخطأ مالك بل الفتنة أفضل من الحاكم الظالم .
نقول
لهذا الشخص أنك من الخوارج .لأنه يريد الفساد فى الأرض .
"Pada masa ini kita mendapati seseorang
yang menyempal dari kita seraya berkata: "Pemimpin sudah berbuat kesalahan
bahkan fitnah (kekacauan denga tidak mengakui adanya pemimpin yang sah untuk
ditaati) itu lebih baik dibandingkan dengan pemerintah yang zalim."
Komentar kami (Syekh Ali Jum'ah) untuk orang
ini: "Anda termasuk golongan Khowarij, karena yang dikehendaki adalah
kerusakan di muka bumi."
Amar Ma'ruf Nahi munkar kepada Pemimpin
Berikut ini adalah dalil kebolehan amar
ma'ruf, nahi munkar dengan cara mengkritik pemimpin/pemerintah:
وقال
صلى الله عليه وسلم: أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sebaik-baik jihad adalah ucapan yang hak disisi pemimpin yang zalim. (HR Abu
Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Namun demikian, amar ma'ruf nahi munkar harus
dengan lemah lembut dan pelakunya harus mempunyai ilmu yang cukup agar bisa
bertindak dengan benar.
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri berkata:
لا
يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فيه ثلاث خصال: رفيق بما يأمر، رفيق بما
ينهى، عدل بما يأمر، عدل بما ينهى، عالم بما يأمر، عالم بما ينهى
"Seseorang tidak boleh melakukan amar
ma'ruf nahi munkar melainkan ada pada dirinya tiga perangai: lemah lembut
ketika menyeru dan mencegah, adil ketika menyeru dan mencegah, mengilmui
sesuatu yang diseru dan dicegahnya." (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami'ul
Ulum wal Hikam)
Dikisahkan ada seseorang yang akan beramar
ma'ruf dan nahi munkar, lalu dia meminta pendapat kepada seorang ulama agar
diizinkan dengan cara yang keras karena pelakunya itu sudah dianggap
keterlaluan, namun sang ulama menjawab bahwa kamu tidak lebih baik dari Nabi
Musa as dan orang yang akan kamu nasihati tidak lebih jahat dari Fir'aun, tapi
Allah di dalam Al-Qur’an tetap memerintahkan Nabi Musa as dan Nabi Harun as)
untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Fir'aun:
اذْهَبَا
إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ، فَقُولَا
لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar
atau takut. (QS. Thaha 43-44)
Kemudian kita tidak boleh membenarkan
kebohongan dan mendukung kezaliman mereka. Dari Ka'ab bin Ujroh radhiyallahu
'anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar
mendekati kami, lalu bersabda:
إِنَّهُ
سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ
بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ،
وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ
وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ
عَلَيَّ الْحَوْضَ
"Akan ada setelahku nanti para pemimpin
yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui)
kebohongan mereka dan mendukung kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku
dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari
kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan
tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezaliman
mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan
ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat)." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)
Larangan Memberontak dan Menyibukkan Diri
Mencelanya
Al-Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi rahimahullah
menjelaskan di antara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah:
ولا
نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع
يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ،
وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
"Dan kami tidak memandang bolehnya
memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat
zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri
dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah
ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan
itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan
dan keselamatan." (Al-Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi Al-Hanafi, dalam Al-Aqidah
Ath-Thahawiyah)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga
menukil ijma'. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: "Para
fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa,
berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada
memberontak." (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 13/7)
Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alawy Al Haddad
dalam kitabnya 'Adda'wah Attammah menjelaskan tentang sikap yang harus
dilaksanakan kepada pemimpin:
ومهما
كان الولي مصلحا حسن الرعاية جميل السيرة
كان
على الرعية أن يعينوه بالدعاء له و الثناء عليه بالخير
"Jika seorang pemimpin membawa
kemaslahatan untuk rakyat, bersungguh-sungguh dalam memberi perhatian kepada
mereka, dan mempunyai kinerja yang bagus maka rakyat harus membantunya dengan
berdoa untuknya serta memujinya atas kinerjanya yang bagus".
ومهما
كان مفسدا مخلطا كان عليهم ان يدعوا له بالصلاح والتوفيق و الاستقامة وألا يشغلوا
ألسنتهم بذمه والدعاء عليه فإن ذلك يزيد في فساده واعوجاجه ويعود وبال ذلك عليهم.
Jika ia membawa kerusakan, mencampur aduk
antara kebenaran dan kebatilan, maka kewajiban kita—sebagai rakyat—adalah
mendoakan, semoga Allah segera memperbaiki keadaan pemimpin kita itu, memberi
ia petunjuk kepada jalan yang benar, dan memberinya sifat istiqamah dalam
hal-hal yang diridhai Allah—dalam kepemimpinannya. Dan janganlah kita sibuk
mencela dan berdoa buruk atas dirinya, karena itu semua malah akan menambah
kerusakan dan kezalimannya dan kita sendiri yang akan merasakan dampak-dampak
buruknya.
قال
الفضيل رحمه الله لو كانت لي دعوة مستجابة لم اجعلها إلا للامام. لأن الله إذا
اصلح الامام أمن العباد و البلاد. وفي بعض الآثار عن الله تعالى أنه قال انا الملك
قلوب الملوك بيدي فمن أطاعني جعلتهم عليه نعمة و من عصاني جعلتهم عليه نقمة فلا
تشغلوا أنفسكم بسب الملوك و سلوني أعطف قلوبهم عليكم
Berkata Al-Imam Fudhail Bin Iyadh rahimahullah:
"Andai saja aku mempunyai satu doa yang
pasti dikabulkan Allah, maka aku akan menjadikannya (untuk berdoa yang baik)
untuk pemimpinku, karena jika Pemimpin kita baik, maka negara akan aman dan
masyarakat tentram. Allah berfirman dalam sebagian hadits qudsi:
"Aku adalah Maha Raja. Hati para raja
ada di genggamanku. Maka barang siapa yang taat padaku, akan aku jadikan mereka
(para raja/pemimpin) nikmat baginya, dan barang siapa yang melanggar
perintah-Ku akan aku jadikan mereka sebagai musibah atas dirinya. Maka
janganlah kalian sibuk mencela dan mencaci maki pemimpin-pemimpin kalian, akan
tetapi memintalah padaku, maka akan aku lembutkan hati mereka untuk
kalian".
Semoga Allah menguasakan kepada kita
pemimpin-pemimpin yang takut kepada-Nya, mau mengasihi kita dan menjadikan Indonesia
sebagai baldah thayyibah wa rabbun ghafuur.... Amiin.
Wallahu a'lam... []
Ustadz Dodi el Hasyimi, Aswaja NU Center
Bojonegoro, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar