Cara Istana Kerajaan
Persia Mendidik Calon Pemimpin Publik
Raja Kisra dari Dinasti Sassania (penguasa Persia 590-628 Masehi) memanggil seseorang cendekiawan ke istananya. Ia mengutus pengawal istana untuk menghadirkan cendekiawan yang dimaksud. Ia meminta guru cendekia itu untuk mengenalkan anaknya terhadap pelbagai cabang ilmu pengetahuan.
Guru cendekia
menerima tugas mulia dari istana. Guru bijak dan cendekia itu menjalankan
tugasnya sesuai permintaan Kisra. Selama bertahun-tahun sang guru menekuni
tugasnya dengan totalitas.
Sampai pada giliran
di mana muridnya telah mencapai puncak kematangan dalam ilmu pengetahuan dan
akhlaknya, sang guru memintanya untuk berdiri di hadapannya. Tak terpikirkan
apa yang akan dilakukan sang guru karena ketidaklazimannya. Guru bijak cendekia
itu kemudian tanpa diduga memukul murid kesayangannya tersebut.
Atas insiden itu,
sang murid putra mahkota ini menyimpan dengan rapi dendam sampai gurunya
menginjak lansia. Ia tidak terima atas perlakuan sang guru. Ia merahasiakan
peristiwa dan dendamnya dari siapa pun termasuk orang tua dan gurunya sendiri.
Waktu terus berjalan.
Aktivitas kerajaan tetap berjalan seperti biasa, rutin dan membosankan. Sama
halnya dengan aktivitas pembelajaran sang guru dan sang putra mahkota.
Suatu ketika sang
ayah wafat. Sang anak putra mahkota pun naik takhta kerajaan yang dikenal dunia
sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan peradaban. Ia menggantikan posisi
ayahnya yang mangkat. Ia segera menjalankan pemerintahan atas Persia sesuai
dengan bekal ilmu pengetahuan dan sejarah kekuasaan yang diketahuinya.
Roda pemerintahan
terus berjalan. Aktivitas ekonomi masyarakat pun terus bergerak. Pembangunan
infrastruktur juga terus berlangsung. Pengembangan ilmu pengetahuan dan SDM
masyarakat Persia tetap berlangsung tanpa kurang sesuatu apa.
Walhasil selama
beberapa tahun, semua berjalan sebagaimana biasa hingga pada suatu saat sang
raja teringat pada perlakuan gurunya di waktu lampau yang menyisakan dendam. Ia
kemudian mengambil kesempatan untuk membalas dendamnya. Ia tanpa peduli meminta
pengawal kerajaan untuk mencari gurunya yang kini sudah renta. Hal ini
dilakukan demi menuntut keadilan atas kezaliman sang guru.
Di hadapan sang raja,
sang guru membungkuk hormat dan memberi salam.
“Wahai tuan guru, aku
sangat menghormatimu atas segala jenis pengetahuan yang pernah kaukenalkan
kepadaku.” kata raja membuka percakapan kepada gurunya yang berusia sangat
lanjut.
Sang guru masih
mendengarkan raja yang dulu adalah murid kesayangannya. Ia menunggu lanjutan
dari ucapan sang raja.
“Tetapi kau tentu
masih ingat bukan pada suatu hari di mana kau memukulku agak sakit tanpa sebab
dan kesalahan yang kubuat? Aku ingin menuntut keadilan atas kezaliman
tersebut,” kata sang murid dengan tekanan datar.
Pertanyaan sang raja
di luar dugaan. Pertanyaan sekaligus tuntutan muridnya itu seakan petir yang
menyambar di siang hari. Ia mengingat benar peristiwa tersebut. Ia sadar benar
bahwa penuntut keadilan yang dihadapinya bukan murid kesayangannya dulu, tetapi
penguasa Persia yang sedang menjabat. Namun demikian, sang guru dapat mengendalikan
diri. Ia memahami tujuan dari pemukulan secara sengaja yang cukup sakit kepada
muridnya ketika itu. Sementara sang raja dan para pembesar istana menunggu
dengan seksama jawaban yang keluar dari mulut sang guru.
“Ketahuilah wahai
paduka, ketika kau mencapai kematangan, derajat, dan adab setinggi ini, aku
sadar bahwa kau akan menggantikan kursi ayahmu. Aku ingin kau merasakan pukulan
dan sakitnya kezaliman ketika itu sehingga kelak kau tidak melakukan pemukulan
dan kezaliman kepada rakyatmu,” jawab sang guru.
Sang raja yang bijak,
terdidik, dan memiliki standar peradaban yang tinggi sangat mudah menerima
penjelasan pesakitan di hadapannya. Ia terpukau dan terpesona pada jawaban
bijak sang guru. Baginya, jawaban sang guru mengandung kekuatan ghaib luar
biasa. Ia kemudian bangun dari kursi dan memeluk gurunya yang sudah sangat
lanjut usia. Ia berterima kasih kepada sang guru atas peringatan dan pelajaran
berharga tersebut karena selama ini tidak ada yang berani mengingatkan sang
raja.
“Semoga Allah membalas
baik budi tuan guru,” kata penguasa Persia menitikkan air mata.
Sang raja kemudian
meminta pengawal istana untuk mengantar kembali pulang gurunya. Sebagai bentuk
terima kasih, sang raja juga memberikan hadiah kepada gurunya. []
Kisah ini diangkat kembali
oleh Syekh M Nawawi Al-Bantani, Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, [Semarang,
Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 38. Syekh M Nawawi Al-Bantani mengutip
riwayat ini dari kitab Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kaba’ir karya Syekh Ibnu Hajar
Al-Haitami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar