Pengantin Laki-laki Belum
Sunat, Sahkah Akad Nikahnya?
Pernah lihat film Kiamat Sudah Dekat besutan
aktor dan sutradara kawakan Dedi Mizwar yang rilis tahun 2003? Sebagian
kisahnya menceritakan bahwa ketika Fandi mengungkapkan keinginannya kepada Haji
Romli untuk menikahi anaknya Sarah, Haji Romli sempat menanyakan apakah Fandi
sudah disunat. Saat itu Fandi yang anak band dan tak pernah mendapatkan
pendidikan agama dari orang tuanya sempat kebingungan dan tak mengerti apakah
dirinya sudah disunat atau belum.
Di dunia nyata hal ini sempat juga
menyinggahi calon pengantin laki-laki yang hendak melangsungkan pernikahan
namun—karena ketidaktahuannya—terkendala dengan dirinya yang belum disunat. Ini
sering terjadi pada calon pengantin laki-laki yang mualaf yang selama memeluk
agama lamanya tidak pernah melakukan sunat.
Di dalam fiqih Islam para ulama berbeda
pendapat tentang hukum dilakukannya khitan atau sunat. Dalam mazhab Syafi’i
khitan merupakan satu kewajiban yang mesti dijalani oleh semua kaum muslimin
baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula Imam Ahmad mewajibkannya.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menganggap khitan atau sunat sebagai
kesunnahan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Tentang hal ini Imam Nawawi menuturkannya di
dalam kitab Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab sebagai berikut:
الْخِتَانُ
وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ كَثِيرُونَ مِنْ
السَّلَفِ كَذَا حَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ وَمِمَّنْ أَوْجَبَهُ أَحْمَدُ وَقَالَ
مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ سُنَّةٌ فِي حَقِّ الْجَمِيعِ وَحَكَاهُ الرَّافِعِيُّ
وَجْهًا لَنَا: وَحَكَى وَجْهًا ثَالِثًا أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ
وَسُنَّةٌ فِي الْمَرْأَةِ
Artinya: “Bagi kami (ulama Syafi’iyah) khitan
itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Demikian pula kebanyakan ulama salaf
berpendapat. Hal itu disampaikan oleh Al-Khathabi. Termasuk yang mewajibkan
khitan adalah Imam Ahmad. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat
hukum khitan adalah sunnah bagi semuanya (laki-laki dan perempuan). Imam Rofi’i
menuturkan pendapat lain bagi kita, pendapat ketiga bahwa khitan itu wajib bagi
laki-laki dan sunnah bagi perempuan.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul
Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], juz I, hal. 349)
Dalam mazhab Syafi’i kewajiban bersunat juga
berkaitan erat dengan keabsahan shalat seseorang. Ketika seorang yang belum
sunat melakukan shalat bisa jadi shalatnya tidak sah dikarenakan ia membawa
najis di dalam kulit yang semestinya disunat. Sisa-sisa air seni yang
semestinya terbuang semua menumpuk dan menjadi kerak di dinding kulit ujung
kelamin yang semestinya dibuang dengan cara sunat. Ini dikarenakan shalat
mensyaratkan suci hadas dan najis bagi pelakunya.
Lalu bagaimana dengan akad nikah, adakah
hubungan sunat dengan keabsahan akad nikah?
Sebagaimana amalan-amalan pada umumnya untuk
mengetahui sah atau tidaknya suatu amalan mesti dilihat dari syarat rukunnya.
Terpenuhi atau tidaknya syarat ukun sebuah amalah menentukan sah atau tidaknya
amalan tersebut.
Demikian pula dengan akad nikah, sah atau
tidaknya dilihat dari terpenuhi atau tidaknya syarat rukun yang telah
ditetapkan.
Abu Bakar Al-Hishni dalam kitabnya Kifâyatul
Akhyâr menyebutkan:
ـ
(فرع) يشْتَرط فِي صِحَة عقد النِّكَاح حُضُور أَرْبَعَة ولي وَزوج وشاهدي عدل
Artinya: “(Cabang) dalam keabsahan akad nikah
disyaratkan hadirnya empat orang; wali, suami, dan dua orang saksi.” ( (Abu
Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, [Damaskus: Darul Basyair, 2001], hal. 426)
Keempat orang yang disebutkan di atas
masing-masing memiliki persyaratan tersendiri yang bila salah satu dari
persyaratan itu tak terpenuhi maka batallah akad nikah yang dilakukan.
Berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi
oleh calon suami Dr. Musthafa Al-Khin dalam Al-Fiqhul Manhaji (Damaskus, Darul
Qalam, 1992, IV: 60) menyebutkan ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi
seorang calon pengantin laki-laki, yakni:
1. Calon suami adalah orang yang boleh
menikahi calon istrinya. Artinya ia mahram calon istrinya.
2. Calon suami orangnya sudah jelas. Bila
sang wali dalam ijabnya mengatakan “saya nikahkan anak perempuan saya dengan
salah satu laki-laki di antara kalian” maka tidak sah nikahnya karena calon
suami tidak jelas.
3. Calon suami adalah orang yang dalam
keadaan halal menikah, tidak sedang berihram ibadah haji atau umrah.
Bila membaca kitab-kitab fiqih yang lain pun
bisa kita temukan bahwa para ulama tidak menetapkan sunat atau khitan sebagai
salat satu syarat bagi calon pengantin laki-laki untuk menjalani ijab kabul
akad pernikahan.
Ini berarti bahwa pengantin laki-laki yang
belum disunat bisa melangsungkan pernikahan dengan gadis pujaannya dan akad
nikahnya sah dalam pandangan hukum fiqih Islam. Barangkali itu pula sebabnya
pada saat proses pemeriksaan calon pengantin petugas di KUA tidak pernah
menanyakan apakah calon pengantin laki-laki telah disunat atau belum. Bila
sunat menjadi salah satu persyaratan maka tentunya petugas akan menanyakannya
dan bahkan meminta dibuktikan dengan SUKET TEKI: Surat Keterangan Telah Khitan.
Wallâhu a’lam. []
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan
Kementerian Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar