Ketahanan Pesantren (4)
Oleh: Azyumardi Azra
Ketahanan apa yang dimiliki pesantren salafiyah (tradisional) dan khalafiyah (modern)—salah satu kekayaan dan legacy utama Islam wasathiyah Indonesia—ketika berhadapan dengan tantangan organisasi, kelompok, sel dan pesantren yang menyebarkan paham Islamisme-jihadisme. Tanpa adanya ketahanan tertentu, bisa dipastikan pesantren tidak bisa bertahan, berkembang dan menemukan momentum baru dalam tiga dasawarsa terakhir.
Penelitian CSRC UIN Syarfi Hidayatullah Jakarta dan Convey
Indonesia (2019) menemukan beberapa faktor pelindung yang menjadi sumber dan
tulang punggung ketahanan pesantren salafiyah dan khalafiyah. Faktor
pelindung-ketahanan pertama adalah kiai.
Zaman boleh berubah. Pemikiran dan praksis transnasionalisme dari
bagian Dunia Islam lain boleh saja menyebar di Indonesia dalam dua atau tiga
dasawarsa terakhir, tetapi sosok kiyai dengan kedalaman ilmunya, kewaraan
perilaku, keteladanan dan kharismanya tetap menjadi sumber panutan moderasi
Islam atau pumpunan Islam wasathiyah.
Moderasi kiyai dalam pemahaman dan praksis keagamaan meluas ke
dalam bidang kehidupan lain, khususnya politik. Di sini kiai, guru dan santri
berpegang pada ijtihad para kiai dan ulama umumnya yang telah menerima
Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Karena itulah wacana,
konsep dan gerakan yang bertujuan mengubah format negara-bangsa Indonesia
menjadi dawlah Islamiyah atau khilafah tidak mendapat dukungan dari para kiai
pesantren atau ulama wasathiyah.
Faktor pelindung-ketahanan kedua adalah kitab kuning yang merupakan
legacy dan sumber otoritatif pemahaman dan praksis Islam wasathiyah. ‘Kalau
kiai dilihat sebagai manifestasi perilaku, kitab kuning diyakini sebagai wujud
normatif-intelektual yang melindungi pesantren dari radikalisme’, penelitian
menyimpulkan. Lebih jauh penelitian mencatat: “Kitab kuning mengandung makna
lebih daripada sekadar buku yang kertasnya [dulu umumnya] berwarna kuning.
Kitab kuning mengacu pada sistem literatur klasik yang muatannya mencakup tiga
diskursus [pemikiran dan praksis] Islam; [kalam/teologi] Asy’ariyah, fiqh
Syafi’iyah dan tasawuf al-Ghazali [khususnya tasawuf akhlaqi]”.
Kitab kuning jelas sangat sentral bagi pesantren tradisional dalam
membentuk cara pandang, pemahaman dan praktek keislaman ummatan wasathan
Indonesia. Misalnya, bagi dayah—pesantren tradisional di Aceh—kitab kuning
menjadi patokan dalam menilai paham atau ideologi keagamaan, termasuk dalam
menyikapi gerakan radikal.
Pada pihak lain, pesantren moderen cenderung lebih selektif dalam
rujukan pada kitab kuning. Pesantren khalafiyah umumnya tidak menggunakan kitab
kuning yang tidak sesuai atau selaras dengan pemahaman dan praksis keagamaan
modernis mereka.
Faktor pelindung-ketahanan ketiga adalah tradisi pendidikan yang
berorientasi kemasyarakatan. Di sini pesantren Salafiyah (tradisional) dan
pesantren moderen (khlafiyah) sangat menekankan pendidikan berorientasi bukan
hanya untuk kemajuan pendidikan dan keilmuan, tetapi juga dakwah Islam guna
kemajuan umat Islam secara keseluruhan.
Orientasi pendidikan seperti itu sebenarnya tidak mengherankan.
Bahkan orientasi itu menjadi raison d’etre—alasan dan dasar untuk mendirikan
dan mengembangkan pendidikan pesantren.
Dalam konteks itu, misalnya Pondok Moderen Gontor bertujuan
melahirkan kader pemimpin umat; menyiapkan generasi unggul dan berkualitas
dalam membentuk khairul ummah. Untuk itu, Pondok Moderen Gontor menerapkan
pedagogi yang dapat membentuk pribadi santri yang fleksibel dalam menghadapi
berbagai tuntutan. Sesuai motto pendidikan Gontor, membentuk generasi muda
Muslim yang berjiwa ‘bebas’.
Faktor pelindung-ketahanan keempat adalah relasi yang baik dan
workable dengan ormas Islam. Semakin kuat afiliasi dan hubungan pesantren
dengan ormas Islam wasathiyah seperti NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Tarbiyah,
Mathla’ul Anwar, Persis, Hidayatullah, NW, al-Khairat dan ormas-ormas
wasathiyah lain semakin kuat pula ketahanannya dalam menghadapi
Islamisme-jihadisme.
Faktor pelindung-ketahanan keiima adalah tradisi akomodasi dan
penerimaan perbedaan dan keragaman baik dalam bidang keagamaan (mazhab dan
aliran), maupun etnisitas, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kesediaan
menerima dan mengakomodasi keragaman dan perbedaan menumbuhkan saling percaya
mutual trust yang menjadi modal sosial penting untuk menjaga keutuhan dan
mencapai kemajuan. []
REPUBLIKA, 23 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar