Apakah Kotoran Telinga
termasuk Najis?
Telinga merupakan salah satu anggota tubuh
manusia yang sekaligus menjadi panca indra dalam hal pendengaran, oleh
karenanya penting untuk dijaga dan dibersihkan agar pendengaran seseorang tetap
dapat berfungsi normal.
Dalam hal ini, syariat Islam menganjurkan
pada manusia agar membasuh telinga pada saat wudhu, hikmah di balik anjuran
membasuh telinga pada saat wudhu ini tak lain merupakan bentuk perhatian syarak
pada kebersihan telinga seseorang sehingga dapat berfungsi secara normal. Dalam
hal ini, dalam Ta’liqus Sunanis Shagir lil Baihaqi dijelaskan:
وغسل
الأذنين لإزالة المادة الشمعية وما يتراكم عليها من غبار قد يؤدّي إلى ضعف السمع
أو التهاب الأذن الذي إذا انتشر إلى الأذن الداخلية التي بها مركز توازن وضع الجسم
اضطرب توازن الجسم
Artinya, “Membasuh kedua telinga (pada saat
wudhu) bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan zat-zat yang terhimpun di
dalamnya berupa debu yang terkadang dapat mengakibatkan lemahnya pendengaran
atau telinga akan terkena infeksi, jika hal demikian menyebar pada telinga
bagian dalam yang merupakan pusat keseimbangan tubuh, maka akan membuat
keseimbangan tubuh menjadi tidak teratur,” (Lihat Dr Abdul Mu’thi Amin Qal’aji,
Ta’liqus Sunanis Shagir lil Baihaqi, juz I, halaman 25).
Lalu bagaimana sebenarnya status kotoran yang
biasa hinggap dalam telinga seseorang? Apakah dihukumi najis sehingga wajib
untuk dibasuh, atau dihukumi suci?
Kotoran yang terdapat di dalam telinga
dihukumi suci layaknya cairan-cairan lain yang keluar dari lubang-lubang tubuh
(manafidz) selain kubul dan dubur, seperti air liur dan ingus. Ketentuan ini
seperti yang tersirat dalam Kitab Hasyiyatul Baijuri:
وكل
مائع خرج من السبيلين نجس قوله ( خرج من السبيلين) أي من أحد السبيلين القبل
والدبر. –إلى أن قال- وخرج بقوله من السبيلين الخارج من بقية المنافذ فهو طاهر
الّا القيء الخارج من الفم بعد وصوله الى المعدة وإن لم يتغيّر
Artinya, “Segala benda cair yang keluar dari
dua jalan adalah najis. Maksud dari cairan yang keluar dari dua jalan adalah
keluar dari salah satu dua jalan yang berupa qubul dan dubur. Dikecualikan
dengan perkataan ‘dari dua jalan’ yaitu perkara yang keluar dari lubang-lubang
tubuh yang lain (telinga, hidung, mulut) maka dihukumi suci kecuali muntahan
yang keluar dari mulut setelah awalnya muntahan tersebut telah sampai pada
perut, meskipun warna muntahan tidak berubah,’ (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri,
Hasyiyatul Baijuri, juz I, halaman 100).
Berdasarkan referensi tersebut, maka tidak
masalah jika kotoran telinga ini hinggap di bagian dasar telinga atau
tersangkut dalam cotton buds ketika dibersihkan, meski hal yang baik adalah
segera membersihkannya karena kotoran telinga dianggap sebagai sesuatu yang
menjijikkan (mustaqdzar) meski tidak sampai dihukumi najis.
Namun kesucian kotoran telinga ini ketika
memang kotoran tidak berupa nanah atau darah yang berasal dari dalam telinga
atau luar telinga. Sedangkan ketika kotoran telinga bercampur dengan nanah
(qayh), atau cairan yang keluar dari telinga berupa nanah (baca: kopok) yang
terkadang berbau menyengat, maka kotoran telinga dengan jenis demikian dihukumi
najis, baik itu sedikit atau banyak.
Sedangkan ketika kotoran yang keluar dari
telinga berupa darah, karena terkena penyakit atau luka yang terdapat dalam
telinga misalnya, maka kotoran telinga dengan jenis demikian dihukumi najis
yang di-ma’fu ketika hanya sedikit sehingga tidak berpengaruh terhadap
keabsahan shalat. Berbeda halnya ketika kotoran telinga yang berupa darah ini
banyak, maka kotoran tersebut dihukumi najis dan wajib dibersihkan ketika
hendak melakukan shalat.
Hal yang menjadi pijakan dalam menentukan
banyak sedikitnya darah yang keluar dari telinga adalah pandangan umum manusia
(‘urf). Jika umumnya manusia menilai bahwa kotoran darah yang keluar dari
telinga dianggap banyak, maka dihukumi najis, namun jika masih diangap sedikit
maka dihukumi najis yang di-ma’fu. Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan
dalam Kitab Tarsyihul Mustafidin:
ويعفى
عن دم نحو برغوث -الى أن قال- وعن قليل نحو دم غيره اى غير مغلظ بخلاف كثيره ومنه
كما قال الأذرعى دم انفصل من بدنه ثم أصابه وعن قليل نحو دم حيض ورعاف كما فى
المجموع ويقاس بهما دم سائر المنافد الا الخارج من معدن النجاسة كمحل الغائط,
والمرجع فى القلة والكثرة العرف وما شك فى كثرته له حكم القليل. اهـ
Artinya, “Dan dihukumi najis yang di-ma’fu
yaitu darah nyamuk, dan darah lain ketika sedikit dan bukan najis yang
mughallazhah. Berbeda ketika darah tersebut banyak. Sebagian dari najis yang
di-ma’fu ketika sedikit yaitu darah yang terpisah dari tubuh lalu mengenai
bagian tubuh. Dan di-ma’fu pula sedikitnya darah haid, darah mimisan seperti
yang dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’.
Disamakan dengan darah haid dan mimisan yaitu
darah yang keluar dari lubang-lubang tubuh yang lain kecuali darah yang
keluar dari (kotoran) perut yang najis, seperti pada tempat buang air besar.
Hal yang dijadikan pijakan dalam menentukan sedikit banyaknya darah adalah
pandangan umum manusia (‘urf), sedangkan sesuatu yang masih diragukan apakah
suatu darah dianggap banyak, maka darah tersebut dihukumi sedikit,” (Lihat
Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf, Tarsyihul Mustafidin, halaman 43).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kotoran telinga secara umum dihukumi suci kecuali ketika kotoran yang keluar
berupa nanah dan darah. Jika kotoran yang keluar berupa nanah maka dihukumi
najis secara mutlak. Sedangkan ketika kotoran yang keluar berupa darah maka
dihukumi najis yang di-ma’fu ketika sedikit dan dihukumi najis ketika kotoran
darah yang keluar dalam jumlah yang banyak. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar