Meluruskan Makna Jihad (19)
Antara Kekerasan dan Terorisme
Oleh: Nasaruddin Umar
Kekerasan tidak identik dengan terorisme. Tidak semua tindakan
kekerasan adalah tindakan terorisme. Sebaliknya tidak semua tindakan terorisme
adalah tindakan kekerasan. Sesungguhnya hal ini sangat tergantung kontroversi
makna kekerasan dan terorisme itu sendiri. Satu tindakan kekerasan bisa
dianggap jihad oleh suatu kelompok, tetapi kelompok lain menganggapnya tindakan
teroris.
Sebaliknya ada satu tindakan atau keputusan yang secara tidak
langsung melahirkan korban, tetapi sesungguhnya dapat dianggap tindakan
teroris. Contohnya penjatuhan sanksi sepihak kepada suatu kelompok yang
menyebabkannya tersiksa, tercekam, terancam eksistensi dan kelangsungan
hidupnya, maka itu bisa disebut tindakan teroris meskipun tidak dalam bentuk
kekerasan. Di atas segala, tentu yang paling menentukan dalam hal ini ialah
definisi "kekerasan" dan "terorisme".
Ketika Perang antar Irak dan AS berkecamuk di Timur-Tengah,
media-media Barat mengklaim Irak sebagai negara terorisme dan Saddam Hussein
dianggap biang teroris dan harus ditundukkan. Alasannya karena Bagdad menyimpan
senjata kimia dan menimbulkan kekacauan di Timur Tengah. Tetapi pihak Bagdad
mengklaim sebaliknya, justru AS dan sekutu-sekutunya yang teroris, karena
merekalah yang secara nyata menyerang kedaulatan negara Irak.
Mereka yang mengepung dan membombardir Irak. Dengan demikian,
menurut sekutu Bagdad, termasuk Iran, the
real terrorist ialah AS dan sekutu-sekutunya. Pihak Irak hanya
berposisi sebagai negara yang membela diri. Ending-nya,
Irak dalam waktu dekat hancur, Saddam Hussein dan keluarganya dibunuh, tetapi
ternyata senjata kimia yang dituduhkan sama sekali tidak pernah ditemukan
sampai sekarang.
Definisi teroris (terrorism)
yang didefinisikan di dalam Kamus Oxford, sebuah kamus standar di AS dan
negara-negara Barat, justru tidak digunakan, karena jika definisi yang
dijelaskan dalam Oxford dipergunakan, maka AS dan sekutunya juga termasuk dalam
kategori teroris, karena menebarkan rasa takut, menimbulkan kecemasan, dan
mengancam jiwa orang yang tak berdosa.
Sebaliknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu komunitas
muslim dengan alasan membela panji-panji suci keagamaan mereka, maka itu bukan
tindakan kekerasan dan teroris, tetapi dimaknai sebagai perang (al-qital) atau jihad fi sabilillah.
Dalam Islam kekerasan dilarang, tetapi peperangan ditolerir. Nabi
Muhammad pernah bersabda: Sesungguhnya
Allah tidak mengutusku untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk mengajar
(mu'allim) dan memberi kemudahan (muyassir). (H.R. Ahmad dalam Kitab
Musnad). Hadis lain mengatakan: Sesungguhnya
Allah Maha Kasih-sayang (al-Rafiq). Melalui sikap kasih-sayang Allah akan
mendatangkan banyak hal positif, tidak dengan kekerasan.
Bahkan Allah pun melarang melakukan kekerasan untuk dan atas nama
agama: La ikraha fi al-din
--tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. al-Baqarah/2:256).
Meskipun demikian, Islam mengizinkan warganya untuk membela diri pada saat
diserang; umat Islam diperkenankan mengangkat senjata, bahkan diperkenankan
untuk membunuh dengan ketentuan yang amat ketat. Dasarnya antara lain dalam
ayat: Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. (Q.S. al-Haj/22:39).
Sebaliknya Allah melarang melakukan tindakan terorisme (al-irhab). Bahkan kata al-irhab tidak pernah
dimunculkan sekalipun di di dalam Al-Quran. Yang diberi pembenaran untuk
dilakukan peperangan ialah pemberontakan (al-bagyu/Q.S.
al-Nahl/16:90), perbuatan sewenang-wenang melampaui batas (thagut/Q.S. Hud/11:112),
aniaya (dhalim/Q.S.
Luqman/31:17), permusuhan ('dwan/Q.S.
al-Baqarah/2:19), pembunuhan (al-qatl/Q.S. al-Maidah/5:32),
perampokan (al-hirabah/Q.S.
al-Maidah/5:53), dan pengasingan atau ekstradisi (al-nafy/Q.S. al-Nahl/16:126). []
DETIK, 28 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar