Jumat, 07 Februari 2020

Kang Komar: Baitullah


Baitullah
Oleh: Komaruddin Hidayat

SETIAP ke Mekkah untuk melakukan umrah, selalu muncul kekaguman dan pertanyaan kritis sekaligus, mengapa Masjidilharam itu tak pernah sepi dari umat Islam yang berkunjung untuk bertawaf mengitari Ka'bah. Bahkan jumlahnya semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah umat Islam di dunia.

Jika meminjam bahasa bisnis, untuk mendapatkan visa kunjungan ke Mekkah justru ada pembatasan, jauh berbeda dari objek wisata lain yang selalu dipromosikan untuk menjaring pengunjung.

Tanpa menggunakan analisis dan pemahaman spiritual (metafisik), kita sulit dan pasti keliru melihat banyaknya orang ke Mekkah untuk bertawaf dan salat di Masjidilharam. Spiritualitas itu harus bersumber dari Sang Pencipta alam semesta.

Tapi untuk mengenal Tuhan yang absolut, nalar kita tidak akan sanggup. Terlalu gaib Tuhan itu untuk dikenal manusia. Maka diperlukan perantara (wasilah) untuk mengenal Tuhan, yaitu rasul (utusan) yang tepercaya (al-amin).

Rasul terakhir dan pemungkas serta penyempurna seluruh nabi dan rasul Tuhan itu bernama Muhammad yang memiliki sifat shiddiq, yang mampu membedakan dengan jelas dan tegas antara yang benar dan salah; amanah, yang setia dan memegang teguh atas tugas yang diemban; tabligh, yang senantiasa menyampaikan apa yang diamanatkan untuk disampaikan; fathanah, pribadi yang cerdas, cepat belajar.

Jadi, untuk mengenal agama, sumber dan pemandunya adalah pribadi dan ajaran Muhammad Rasulullah. Makanya dalam Islam, nama Muhammad selalu berkaitan dan dikaitkan dengan Allah, seperti dalam kalimat syahadat.

Dalam salat dan doa pun selalu disenandungkan salawat kepada Muhammad. Dengan kata lain, untuk mengenal dan mendekati Allah kita memerlukan pemandu dan wasilah, yaitu Muhammad, yang tanpa melaluinya kita tidak bisa mengenal siapa Tuhan.

Dalam Al-Qur'an diajarkan agar di mana pun dan ke mana pun kita berada hendaknya selalu menghadapkan wajah kita kepada Allah. Selalu berdoa dan menyambungkan hati kita dengan Allah dengan menghadap ke Baitullah atau rumah Allah, yang secara lahiriah-simbolik berupa Ka'bah di Masjidilharam.

Makanya kiblat seluruh masjid dan kiblat salat bagi umat Islam di seluruh dunia adalah Baitullah. Namun yang lebih mendasar adalah agar hati kita bersalawat (tersambung) kepada Rasulullah, lalu mikraj kepada Allah. Ketika seorang muslim mendekati Masjidilharam dianjurkan mengucapkan kalimah talbiah.

Suatu penegasan diri kita ke sana memenuhi panggilan Allah, tak ada sekutu bagi-Nya. Hanya Allah yang kita datangi dan sembah, bukan bangunan Ka'bah, bukan juga Hajar Aswad yang selalu diperebutkan untuk disentuh dan dicium.

Jadi perjalanan umrah dan haji itu dimulai dengan perjalanan fisik, lalu naik ke dunia metafisik karena yang dituju adalah Allah. Karena manusia adalah makhluk fisikal dan spiritual, untuk memandu perjalanannya tetap diperlukan simbol-simbol fisik seperti bangunan Ka'bah. Tetap dilakukan secara jasmani.

Namun semua itu sebagai instrumen untuk memandu mengantarkan perjalanan dan pendakian rohani menuju Allah Yang Mahasalam. Itulah sebabnya para sufi mengatakan bahwa sesungguhnya ke Baitullah itu perjalanan pulang, bukannya pergi mengingat roh kita ini berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah, sedangkan jasadnya kembali ke tanah.

Secara jasadi kita pergi meninggalkan rumah di kampung halaman, tetapi secara rohani kita pulang menengok pintu gerbang rumah kita untuk kembali. Oleh karenanya tidak mengherankan jika hati kita memiliki kerinduan dan daya tarik untuk selalu datang ke Baitullah.

Kalaupun secara fisik tidak bisa hadir ke sana, rohani kita setiap salat dan berdoa selalu menghadap ke sana karena sesungguhnya dunia ini hanya halte dan bukan terminal akhir dari perjalanan rohani kita. []

KORAN SINDO, 24 Januari 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar