Jumat, 07 Februari 2020

Jusuf Kalla: Banjir, Ritual Tahunan


Banjir, Ritual Tahunan
Oleh: M Jusuf Kalla

Saat banjir Jakarta 2012, sebagai Ketua PMI saya ke Kampung Melayu, Jakarta Timur. Saya mengunjungi pengungsi di gedung pertemuan yang dilayani dapur umum PMI.

Saya meminta lurah mengumpulkan para ketua RT-RW. Ketika sudah berkumpul, saya tanyakan kepada mereka bagaimana kalau pemerintah membangunkan rumah susun agar setiap tahun tidak perlu mengungsi menghadapi banjir.

Jawaban mereka sungguh mengejutkan saya.

Kata seorang ketua RW, “Tidak usah repot Pak. Sejak engkong saya ini biasa, senang juga sekali setahun kumpul sama-sama dan makan enak gratis.” Tentu ungkapan itu tidak mewakili semua warga, tetapi adalah kenyataan bahwa banjir sudah menjadi rutinitas.

Kini banjir 2020 penuh dengan komentar, diskusi di media, dan cacian warga. Hal ini menambah pengetahuan kita semua sekaligus belajar memahami perasaan dan harapan masyarakat.

BKT sejak zaman Belanda

Banjir rumusannya sederhana. Air yang masuk ke Jakarta lebih banyak dari yang keluar sehingga meluber dan merusak. Jadi, solusinya hanya dua, kurangi yang masuk dan perbesar yang keluar.

Yang masuk dapat dikategorikan jadi dua juga, yaitu hujan lebat di Jakarta dan air yang datang dari Puncak, Bogor. Hujan tidak bisa dikurangi, tetapi dengan teknologi sekarang bisa dialihkan. Jadi, yang bisa dikurangi adalah air dari Puncak, dengan perbaikan lingkungan dan membangun waduk-waduk penyerapan air di hulu.

Adapun solusi untuk yang keluar ialah dimasukkan ke tanah dengan sumur resapan walaupun tidak mudah karena jalur hijau di Jakarta tersisa 9 persen dari lahan, perbaiki sungai dan kanal agar air cepat mengalir ke laut, serta bersihkan selokan dan saluran air dari sampah-sampah.

Rumusan in-out 2X2 tentu untuk melaksanakan perlu rencana, program, dan target yang jelas serta usaha dan kerja sama semua pihak, pemerintah pusat, Pemda DKI, dan masyarakat. Program-program pasti sudah dibuat dan mulai dijalankan oleh Menteri PUPR Pak Basuki yang selalu serius bekerja dan tentunya Pemda DKI dengan program yang sama.

Pengalaman waktu banjir besar tahun 2007, setelah diskusi dengan Presiden SBY, saya minta Menteri PU Djoko Kirmanto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta, Komisi V DPR dan Gubernur DKI Sutiyoso untuk terbang dengan helikopter di tengah hujan bulan Januari. Hari Sabtu, kami terbang dari Halim ke Puncak, ke atas Katulampa, menyusuri sungai dan wilayah terdampak banjir seluruh Jakarta.

Ada pertanyaan, kenapa mesti terbang di musim hujan dan banjir? Saya katakan, justru kita harus melihat hal nyata. Untuk tindakan harus mengetahui sebab. Waktu banjir semua ingin keputusan cepat.

Setelah terbang dua jam, kami rapat di kantor yang terdekat dengan Bandara Halim, kantor BKKBN. Saya tanyakan ke Gubernur DKI dan Menteri PU apa yang dapat dilakukan segera untuk mengurangi banjir. Mereka minta pembangunan KBT (Kanal Banjir Timur) agar segera diselesaikan untuk mengalihkan air dari Ciliwung dan sungai-sungai kecil. Untuk diketahui di Jakarta ada sungai besar, Ciliwung, dan 13 sungai-sungai kecil.

KBT direncanakan sejak 1920, PU mulai mengerjakan 2003. Dengan biaya per tahun Rp 50 miliar, butuh waktu 50 tahun untuk menyelesaikan dengan cara itu karena kebutuhan total mencapai Rp 2,8 triliun.

Saya minta KBT diselesaikan dalam dua tahun dengan pembagian biaya Rp 2 triliun dari pusat. Usulan ini langsung disetujui oleh Menteri Keuangan dan Komisi V DPR dan Rp 800 miliar untuk pembebasan lahan dari Pemda DKI.

Setelah perencanaan teknis dan pembebasan lahan yang alot, September 2007 proyek mulai dilaksanakan dengan melibatkan 15 kontraktor yang dipimpin oleh Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane yang bekerja dengan sangat baik dan tegas.

Proyek kanal sepanjang 23,5 km ini selesai dalam 2,5 tahun pada zaman Gubernur Fauzi Bowo, sampai sekarang mengurangi banjir di Jakarta Timur dan Utara atau 20 persen wilayah DKI.

Tol penangkal banjir

Pengalaman lain setahun kemudian, tahun 2008, banjir di Jakarta menyebabkan jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta tergenang dan tidak bisa dilalui kendaraan. Penumpang pesawat dari dan ke Cengkareng terpaksa naik truk tentara sambil membawa koper.

Saya terbang dengan helikopter bersama Menteri PU Pak Djoko Kirmanto, Gubernur DKI, dan Gubernur Banten. Setelah mengecek banjir dari udara dan mendarat di jalan tol, melihat bahwa pompa air tidak berfungsi karena listrik dimatikan, takut berbahaya.

Oleh karena itu, saya minta genset segera dipasang dan pompa ditambah 10 unit agar genangan air yang tinggi bisa dibuang dalam waktu 2 hari. Jalan tol pulih tepat waktu untuk melancarkan lalu lintas dan memperbaiki wajah bangsa.

Selanjutnya untuk penyelesaian permanen, saya minta Menteri PU Djoko Kirmanto membuat jalan tol yang ditinggikan, elevated, di samping jalan yang ada agar tetap aman apabila ada banjir. Dengan biaya Jasa Marga, PU dapat menyelesaikan dalam waktu 8 bulan dan setiap minggu subuh saya telepon Pak Djoko Menteri PU untuk minta laporan kemajuan.

Sebelum musim hujan akhir tahun 2008 dan sampai sekarang tidak ada halangan lagi kalau ke bandara walaupun musim banjir.

Bersama melawan banjir

Dua pengalaman ini memberi pelajaran bahwa apabila semua instansi bekerja sama dengan baik dapat segera mengurangi kesulitan masyarakat. Para Gubernur DKI Jakarta sudah berusaha dengan keras, Sutiyoso dan Fauzi Bowo, telah bekerja sama dengan PU membangun KBT.

Jokowi telah menormalisasi Pluit untuk meningkatkan daya tampung air sehingga banyak mengurangi banjir dan usaha lain. Ahok membantu PU menormalisasi Ciliwung dan mengerahkan pasukan oranye. Anies berusaha menaturalisasi sungai dan kebersihan.

Semua upaya memberi dampak sehingga banjir 2020 ini besar tetapi tidak seluas dampaknya dibanding 10 tahun lalu. Namun,  setiap banjir, kerugian ekonomi masyarakat besar—ditaksir kurang lebih Rp 10 triliun—dan berdampak image yang jelek untuk Jakarta dan sekitarnya sebagai tempat yang potensial untuk investasi.

Pertanyaan apakah Jakarta dapat bebas banjir sepenuhnya, tentu sulit, tetapi dapat dikurangi secara drastis sehingga air tidak lagi menjadi bencana. Kota besar, seperti Singapura, Bangkok, dan Paris, kadang-kadang juga kena banjir karena iklim yang berubah.

Berdasarkan pengalaman membangun KBT yang dapat mengurangi 20% dampak banjir Jakarta (dibangun tahun 2007 dengan biaya  Rp 3 triliun, mungkin sekarang Rp 5 triliun), maka dengan membangun lima sarana setara KBT dengan biaya Rp 25 triliun, Jakarta bisa menghindari bencana banjir. Apalagi jika ditambah dengan waduk di hulu (Puncak) serta normalisasi dan naturalisasi sungai dan waduk di Jakarta dan sekitarnya.

Pemerintah daerah sebaiknya menyiapkan segala peralatan yang perlu seperti pompa air yang besar. Masyarakat harus membersihkan sendiri saluran air di depan rumah dan kantor dengan memberi sejuta sekop dan cangkul untuk melancarkan air dan kesehatan, seperti saya anjurkan ke Gubernur DKI sejak lama, sehingga masyarakat tidak membuang sampah di saluran air.

Bagian-bagian proyek diselesaikan tuntas satu per satu sehingga cepat berfungsi mengurangi dampak banjir. Relokasi warga ke tempat yang lebih baik tidak bisa dihindari. Pengalaman di KBT, masyarakat dapat memahami, apabila mengetahui manfaat dan dengan konsep ganti untung, bukan ganti rugi serta membangunkan rumah susun yang banyak sehingga lingkungan bisa teratur dan hijau kembali.

Dibutuhkan kerja sama yang baik antara Kementerian PUPR dan Pemda DKI seperti waktu pelaksanaan BKT. Biaya bisa dibagi 60/40, pusat 60 persen dan DKI 40 persen. Tidak berat untuk DKI, LRT saja dibangun dari Kelapa Gading ke Velodrome dengan biaya Rp 10 triliun, dengan penumpang yang minim.

Dengan upaya yang terencana, dengan cepat dan dana Rp 4 triliun per tahun Jakarta dapat bebas bencana banjir besar dalam waktu 7 tahun dan mengurangi kerugian Rp 10 triliun per tahun.

Dalam perhitungan bisnis IRR nilai proyek ini di atas 50% karena apabila proyek selesai langsung terjadi penghematan dan meningkatkan nilai aset warga Jakarta dan kenyamanan hidup. Jika kerugian dalam 3X banjir sama dengan biaya pembangunan sarana, artinya sangat menguntungkan untuk dilaksanakan segera.

Dengan demikian, Pak Ketua RW tidak perlu lagi berkumpul di pengungsian dengan warga setiap tahun karena rumah terendam banjir, tetapi berkumpul di pinggir sungai yang lebih lebar sambil tersenyum melihat air mengalir sampai jauh. []

KOMPAS, 24 Januari 2020
M Jusuf Kalla | Ketua PMI; Wakil Presiden 20 Oktober 2004-20 Oktober 2009 dan 20 Oktober 2014-20 Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar