Banjir, Ritual Tahunan
Oleh: M Jusuf Kalla
Saat banjir Jakarta 2012, sebagai Ketua PMI saya ke Kampung
Melayu, Jakarta Timur. Saya mengunjungi pengungsi di gedung pertemuan yang
dilayani dapur umum PMI.
Saya meminta lurah mengumpulkan para ketua RT-RW. Ketika sudah
berkumpul, saya tanyakan kepada mereka bagaimana kalau pemerintah membangunkan
rumah susun agar setiap tahun tidak perlu mengungsi menghadapi banjir.
Jawaban mereka sungguh mengejutkan saya.
Kata seorang ketua RW, “Tidak usah repot Pak. Sejak engkong saya
ini biasa, senang juga sekali setahun kumpul sama-sama dan makan enak gratis.”
Tentu ungkapan itu tidak mewakili semua warga, tetapi adalah kenyataan bahwa
banjir sudah menjadi rutinitas.
Kini banjir 2020 penuh dengan komentar, diskusi di media, dan
cacian warga. Hal ini menambah pengetahuan kita semua sekaligus belajar
memahami perasaan dan harapan masyarakat.
BKT sejak zaman Belanda
Banjir rumusannya sederhana. Air yang masuk ke Jakarta lebih
banyak dari yang keluar sehingga meluber dan merusak. Jadi, solusinya hanya
dua, kurangi yang masuk dan perbesar yang keluar.
Yang masuk dapat dikategorikan jadi dua juga, yaitu hujan lebat di
Jakarta dan air yang datang dari Puncak, Bogor. Hujan tidak bisa dikurangi,
tetapi dengan teknologi sekarang bisa dialihkan. Jadi, yang bisa dikurangi
adalah air dari Puncak, dengan perbaikan lingkungan dan membangun waduk-waduk
penyerapan air di hulu.
Adapun solusi untuk yang keluar ialah dimasukkan ke tanah dengan
sumur resapan walaupun tidak mudah karena jalur hijau di Jakarta tersisa 9
persen dari lahan, perbaiki sungai dan kanal agar air cepat mengalir ke laut,
serta bersihkan selokan dan saluran air dari sampah-sampah.
Rumusan in-out
2X2 tentu untuk melaksanakan perlu rencana, program, dan target yang jelas
serta usaha dan kerja sama semua pihak, pemerintah pusat, Pemda DKI, dan
masyarakat. Program-program pasti sudah dibuat dan mulai dijalankan oleh
Menteri PUPR Pak Basuki yang selalu serius bekerja dan tentunya Pemda DKI
dengan program yang sama.
Pengalaman waktu banjir besar tahun 2007, setelah diskusi dengan
Presiden SBY, saya minta Menteri PU Djoko Kirmanto, Menteri Keuangan Sri
Mulyani, Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta, Komisi V DPR dan Gubernur
DKI Sutiyoso untuk terbang dengan helikopter di tengah hujan bulan Januari.
Hari Sabtu, kami terbang dari Halim ke Puncak, ke atas Katulampa, menyusuri
sungai dan wilayah terdampak banjir seluruh Jakarta.
Ada pertanyaan, kenapa mesti terbang di musim hujan dan banjir?
Saya katakan, justru kita harus melihat hal nyata. Untuk tindakan harus
mengetahui sebab. Waktu banjir semua ingin keputusan cepat.
Setelah terbang dua jam, kami rapat di kantor yang terdekat dengan
Bandara Halim, kantor BKKBN. Saya tanyakan ke Gubernur DKI dan Menteri PU apa
yang dapat dilakukan segera untuk mengurangi banjir. Mereka minta pembangunan
KBT (Kanal Banjir Timur) agar segera diselesaikan untuk mengalihkan air dari
Ciliwung dan sungai-sungai kecil. Untuk diketahui di Jakarta ada sungai besar,
Ciliwung, dan 13 sungai-sungai kecil.
KBT direncanakan sejak 1920, PU mulai mengerjakan 2003. Dengan
biaya per tahun Rp 50 miliar, butuh waktu 50 tahun untuk menyelesaikan dengan
cara itu karena kebutuhan total mencapai Rp 2,8 triliun.
Saya minta KBT diselesaikan dalam dua tahun dengan pembagian biaya
Rp 2 triliun dari pusat. Usulan ini langsung disetujui oleh Menteri Keuangan
dan Komisi V DPR dan Rp 800 miliar untuk pembebasan lahan dari Pemda DKI.
Setelah perencanaan teknis dan pembebasan lahan yang alot,
September 2007 proyek mulai dilaksanakan dengan melibatkan 15 kontraktor yang
dipimpin oleh Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane
yang bekerja dengan sangat baik dan tegas.
Proyek kanal sepanjang 23,5 km ini selesai dalam 2,5 tahun pada
zaman Gubernur Fauzi Bowo, sampai sekarang mengurangi banjir di Jakarta Timur
dan Utara atau 20 persen wilayah DKI.
Tol penangkal banjir
Pengalaman lain setahun kemudian, tahun 2008, banjir di Jakarta
menyebabkan jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta tergenang dan tidak bisa
dilalui kendaraan. Penumpang pesawat dari dan ke Cengkareng terpaksa naik truk
tentara sambil membawa koper.
Saya terbang dengan helikopter bersama Menteri PU Pak Djoko
Kirmanto, Gubernur DKI, dan Gubernur Banten. Setelah mengecek banjir dari udara
dan mendarat di jalan tol, melihat bahwa pompa air tidak berfungsi karena
listrik dimatikan, takut berbahaya.
Oleh karena itu, saya minta genset segera dipasang dan pompa
ditambah 10 unit agar genangan air yang tinggi bisa dibuang dalam waktu 2 hari.
Jalan tol pulih tepat waktu untuk melancarkan lalu lintas dan memperbaiki wajah
bangsa.
Selanjutnya untuk penyelesaian permanen, saya minta Menteri PU
Djoko Kirmanto membuat jalan tol yang ditinggikan, elevated, di samping jalan yang ada agar
tetap aman apabila ada banjir. Dengan biaya Jasa Marga, PU dapat menyelesaikan
dalam waktu 8 bulan dan setiap minggu subuh saya telepon Pak Djoko Menteri PU
untuk minta laporan kemajuan.
Sebelum musim hujan akhir tahun 2008 dan sampai sekarang tidak ada
halangan lagi kalau ke bandara walaupun musim banjir.
Bersama melawan banjir
Dua pengalaman ini memberi pelajaran bahwa apabila semua instansi
bekerja sama dengan baik dapat segera mengurangi kesulitan masyarakat. Para
Gubernur DKI Jakarta sudah berusaha dengan keras, Sutiyoso dan Fauzi Bowo,
telah bekerja sama dengan PU membangun KBT.
Jokowi telah menormalisasi Pluit untuk meningkatkan daya tampung
air sehingga banyak mengurangi banjir dan usaha lain. Ahok membantu PU
menormalisasi Ciliwung dan mengerahkan pasukan oranye. Anies berusaha
menaturalisasi sungai dan kebersihan.
Semua upaya memberi dampak sehingga banjir 2020 ini besar tetapi
tidak seluas dampaknya dibanding 10 tahun lalu. Namun, setiap banjir,
kerugian ekonomi masyarakat besar—ditaksir kurang lebih Rp 10 triliun—dan
berdampak image
yang jelek untuk Jakarta dan sekitarnya sebagai tempat yang potensial untuk
investasi.
Pertanyaan apakah Jakarta dapat bebas banjir sepenuhnya, tentu
sulit, tetapi dapat dikurangi secara drastis sehingga air tidak lagi menjadi
bencana. Kota besar, seperti Singapura, Bangkok, dan Paris, kadang-kadang juga
kena banjir karena iklim yang berubah.
Berdasarkan pengalaman membangun KBT yang dapat mengurangi 20%
dampak banjir Jakarta (dibangun tahun 2007 dengan biaya Rp 3 triliun,
mungkin sekarang Rp 5 triliun), maka dengan membangun lima sarana setara KBT
dengan biaya Rp 25 triliun, Jakarta bisa menghindari bencana banjir. Apalagi
jika ditambah dengan waduk di hulu (Puncak) serta normalisasi dan naturalisasi
sungai dan waduk di Jakarta dan sekitarnya.
Pemerintah daerah sebaiknya menyiapkan segala peralatan yang perlu
seperti pompa air yang besar. Masyarakat harus membersihkan sendiri saluran air
di depan rumah dan kantor dengan memberi sejuta sekop dan cangkul untuk
melancarkan air dan kesehatan, seperti saya anjurkan ke Gubernur DKI sejak
lama, sehingga masyarakat tidak membuang sampah di saluran air.
Bagian-bagian proyek diselesaikan tuntas satu per satu sehingga
cepat berfungsi mengurangi dampak banjir. Relokasi warga ke tempat yang lebih
baik tidak bisa dihindari. Pengalaman di KBT, masyarakat dapat memahami,
apabila mengetahui manfaat dan dengan konsep ganti untung, bukan ganti rugi
serta membangunkan rumah susun yang banyak sehingga lingkungan bisa teratur dan
hijau kembali.
Dibutuhkan kerja sama yang baik antara Kementerian PUPR dan Pemda
DKI seperti waktu pelaksanaan BKT. Biaya bisa dibagi 60/40, pusat 60 persen dan
DKI 40 persen. Tidak berat untuk DKI, LRT saja dibangun dari Kelapa Gading ke
Velodrome dengan biaya Rp 10 triliun, dengan penumpang yang minim.
Dengan upaya yang terencana, dengan cepat dan dana Rp 4 triliun
per tahun Jakarta dapat bebas bencana banjir besar dalam waktu 7 tahun dan
mengurangi kerugian Rp 10 triliun per tahun.
Dalam perhitungan bisnis IRR nilai proyek ini di atas 50% karena
apabila proyek selesai langsung terjadi penghematan dan meningkatkan nilai aset
warga Jakarta dan kenyamanan hidup. Jika kerugian dalam 3X banjir sama dengan
biaya pembangunan sarana, artinya sangat menguntungkan untuk dilaksanakan
segera.
Dengan demikian, Pak Ketua RW tidak perlu lagi berkumpul di
pengungsian dengan warga setiap tahun karena rumah terendam banjir, tetapi
berkumpul di pinggir sungai yang lebih lebar sambil tersenyum melihat air
mengalir sampai jauh. []
KOMPAS, 24 Januari 2020
M Jusuf Kalla | Ketua PMI; Wakil Presiden 20 Oktober 2004-20
Oktober 2009 dan 20 Oktober 2014-20 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar