Ketahanan Pesantren (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Berhadapan dengan tantangan penyebaran dan penyusupan paham dan praksis Islamismejihadisme, pesantren arus utama (mainstream) yang menganut kalam (teologi) Suni tidaklah homogen. Sebaliknya, pesantren arus utama yang berjumlah hampir 30 ribu di seluruh Indonesia juga cukup majemuk.
Kemajemukan itu pertamatama ada pada kerangka atau paradigma Suni yang dianut kiai dan pesantren. Penekanan tertentu pada paham dan praksis Suni yang mereka masing-masing anut memengaruhi sikap dan respons terhadap paham Islamis-jihadisme.
Dalam penelitian CSRC UIN Jakarta dan Convey Indonesia (2019) yang mencakup 41 pesantren di delapan provinsi (Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat), kelompok terbesar pesantren Suni dapat dikategorisasikan sesuai paradigma konvensional. Dalam paradigma ini, mereka disebut pesantren 'tradisional'. Selanjutnya, dalam terminologi konvensional pula pesantren tradisional lazimnya disebut 'pesantren salafiyah'.
Dalam perkembangan pesantren setidaknya selama tiga dasawarsa terakhir, istilah 'pesantren salafiyah' harus dibedakan secara tegas dengan 'pesantren salafi'. Belakangan ini sering terjadi kekacauan dan campur aduk penggunaan istilah 'pesantren salafiyah' pada satu pihak dengan 'pesantren salafi' pada pihak lain. Padahal, keduanya sangat berbeda.
Jika istilah 'pesantren salafiyah' lebih mengacu pada praktik tradisi pesantren itu sendiri, sedangkan istilah 'pesantren salafi' mengacu pada pesantren yang menganut paham dan praksis Salafisme. Paham salafisme yang dalam bahasa Arab juga menggunakan istilah 'salafiyah' menganjurkan kepenganutan pada ideologi Salafisme yang dalam perkembangannya berkecambah menjadi Islamisme, Wahabisme, dan jihadisme dengan segala elaborasi perinci doktrin masing-masing.
Karena itu, kategori 'pesantren tradisional' atau salafiyah mencakup pesantren yang ada di lingkungan kiiai Nahdlatul Ulama (NU), Tuan Guru Nahdlatul Wathan (NW) Tengku Dayah Aceh, atau Kiai Mathla'ul Anwar (MA) Banten dan semacamnya.
Menurut penelitian ini, pesantren tradisional memiliki ciri: mengikuti tradisi ulama masa silam; memahami Islam melalui kitab kuning; bermazhab Asy'ariyah-Maturidiyah- Jabariyah dalam akidah dan mazhab Imam Syafii dalam fikih; bertasawuf, khususnya melalui tarekat dengan menekankan tasawuf al-Ghazali.
Selain itu, pesantren tradisional salafiyah juga menerima dan mempraktikkan tradisi religio- sosio-kultural semacam tahlilan, berbagai macam kenduri (walimah), tujuh bulanan kehamilan (nilonimitoni), maulidan, sedekah laut, dan praktik-praktik lain semacam itu.
Pesantren tradisional salafiyah menerima NKRI dan Pancasila sebagai ijma' ulama. Oleh karena itu, pesantren salafiyah tak punya komonalitas politik dengan pesantren berideologi Islamisme-jihadisme.
Di samping pesantren 'tradisional' atau 'pesantren salafiyah', kaum Suni mainstream Indonesia juga mengembangkan 'pesantren modern' yang sering disebut 'pesantren khalafiyah'. Pesantren khalafiyah lazimnya adalah milik atau afiliasi dari ormas semacam Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah, atau al-Khairat. Kategori ini juga mencakup pesantren atau Pondok Moderen Gontor dengan cabang-cabang langsung dan pesantren milik alumni-alumninya.
Pesantren khalafiyah umumnya bersikap reformis dan karena itu sering kritis terhadap kitab kuning; mereka biasanya memilih kitab kuning yang juga menganjurkan reformisme. Pesantren-pesantren ini meski jelas menganut paham dan praksis Suni, biasanya meng klaim tidak bermazhab. Mereka cenderung menekankan puritanisme dengan kembali langsung pada Alquran dan hadis.
Meski demikian, banyak pesantren khalafiyah cukup toleran pada praktik religio-sosio-kultural semacam maulidan, wali mah, dan sebagainya di lingkungan kaum Muslimin lebih luas. Walau demikian, mereka menghindari diri daripada menjadi inisiator atau pelaku utamanya. Sebagian pesantren khalafiyah cenderung kritis terhadap kekuasaan atau pemerintah.
Kelompok ketiga atau pesantren Salafi-Wahabi berideologi Islamisme-jihadisme. Mereka terbelah menjadi dua kelompok; yang tidak berpolitik (la hizbiyah), lebih beorientasi pada pemurnian Islam melalui cara-cara radikal seperti jihad (perang); dan yang berpolitik (haraki atau hizbiyah) yang beorientasi pada penciptaan entitas dan kekuasaan religio-politik Islam secara radikal—jihad melalui aksi kekerasan dan terorisme. []
REPUBLIKA, 24 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar