Apa Pertimbangan NU
Menerima Nasakom Soekarno?
Salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan negarawan ulung. Ia piawai berdiplomasi dengan siapa pun dan dalam kondisi apapun. Perannya di dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak meninggalkan prinsip-prinsip syariat dalam tradisi keilmuan pesantren. Kiai Wahab mampu mengimbangi aspirasi kelompok Islam lain serta mampu mengendalikan pergerakan kaum sosialis dan komunis di dalam pemerintahan, termasuk saat Presiden Soekarno menggagas integrasi Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).
Pergerakan Kiai Wahab
dalam setiap percaturan dan pergolakan politik dinilai sebagai langkah 'Politik
Jalan Tengah'. Langkah politik ini tidak mudah dilakukan oleh siapa pun, karena
bukan hanya membutuhkan langkah nyata, tetapi juga menuntut argumentasi memadai
terkait persoalan yang terjadi. Tercatat, Kiai Wahab tak jarang berbeda
pandangan dengan ulama dan kiai-kiai lain, baik kala memimpin Masyumi dan NU.
Seperti saat para kiai menolak ajakan Hatta pada 1948 untuk duduk di kabinet
dikarenakan Kabintet Hatta menyetujui Perjanjian Renville, sedangkan para kiai
menolak hasil perjanian tersebut karena merugikan rakyat.
Bagi Kiai Wahab, dulu
Nabi Muhammad berupaya mengubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dengan
perbuatan. Dengan duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama
untuk melakasanakan misi tersebut (memahamkan pemerintah terkait buruknya
Perjanjian Renville untuk Indonesia). Kiai Wahab justru menilai, ketika hanya
duduk di luar kabinet, ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan
apa-apa. “Mungkin, bahkan dituduh sebagai pengacau,” tegas Kiai Wahab. (KH
Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)
Contoh lain, ketika
Kiai Wahab, Kiai Saifuddin Zuhri, dan Kiai Idham Chalid diangkat sebagai
anggoata Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 1959. Lagi-lagi, peran
kiai-kiai NU di DPAS sangat penting karena saat itu PKI menghendaki sosialisme
Indonesia sebagai sosialisme Komunis ala Moskow maupun Peking. Selama
berbulan-bulan dewan pertimbangan ini bersidang membicarakan tentang Sosialisme
Indonesia, Landreform, dan Pancasila.
Para kiai NU tersebut
selalu mengimbangi konsep PKI dan secara tidak langsung menghalau
pikiran-pikiran PKI yang berupaya mengancam keselamatan Pancasila. Kalangan
pesantren dan para kiai NU senantiasa mendekat kepada Presiden Soekarno bukan
bermaksud ‘nggandul’ kepada penguasa, melainkan agar bisa memberikan
pertimbangan-pertimbangan strategis supaya keputusan-keputusan Soekarno tidak
terpengaruh oleh PKI.
Choirul Anam dalam
Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menyebutkan, hubungan baik antara
Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran
NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya, ketika DPAS sedang
membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang Papua) dengan
pihak Belanda.
Begitu juga saat Kiai
Wahab menerima konsep Nasakom Soekarno pada 1960. Ide Nasakom Soekarno terlihat
jelas pada Amanat Presiden 17 Agustus 1960 yang kemudian terkenal dengan
rumusan “Jalannya Revolusi Kita” (Jarek). Menerima konsep Nasakom tidak mudah
bagi partai Islam lain seperti Masyumi sehingga Kiai Wahab dituduh macam-macam,
di antaranya dituduh tidak konsisten, oportunis, bahkan dituduh ‘Kiai Nasakom’
pada era Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Dalam pandangan
Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik
Kebangsaan Ulama (2018), bagi pengkaji fiqih, strategi politik Kiai Wahab tidak
salah karena berpijak pada prinsip fiqih yang fleksibel dan elastis. Fleksibel
tidak dapat disamakan dengan oportunis. Fleksibel mampu masuk di berbagai ruang
dengan tetap mempertahankan ideologi, sedangkan oportunis berpihak pada siapa
pun asal diberi keuntungan materi. Sejak dahulu kala, bahkan saat NU menjadi
partai, para kiai konsisten menjalankan politik kebangsaan dan politik kerakyatan
dengan pijakan norma agama dan etika, bukan politik kekuasaan yang oportunis.
Ketika Bung Karno
menyatukan kaum agama, nasionalis, dan komunis dalam bingkai Nasakom, Kiai
Wahab mendukung konsep tersebut dengan cara bergabung dalam sistem
pemerintahan. Komitmen Kiai Wahab dan ulama-ulama pesantren tidak berubah
terhadap gerak-gerik PKI dengan komunismenya, yaitu tetap melawan dan menentang
karena ideologi politik PKI bertentangan dengan prinsip Pancasila. Sebab itu,
Kiai Wahab memilih bergabung dalam Nasakom bertujuan untuk mengawal
kepemimpinan Bung Karno supaya perjalanan pemerintahan tetap bisa dikendalikan
oleh NU sebagai perwakilan umat Islam dan tidak dimonopoli oleh PNI atau pun
PKI.
Ditegaskan oleh Kiai
Wahab, untuk mengubah kebijakan pemerintahan tidak bisa dengan berteriak-teriak
di luar sistem, tetapi harus masuk ke dalam sistem. Kalau Cuma berteriak-teriak
di luar, maka akan dituduh makar atau pemberontak. Prinsip dan kaidah yang
dipegang oleh Kiai Wahab dalam tataran fiqih ialah, kemaslahatan bergabung
dengan Nasakom lebih jelas dan kuat daripada menolak dan menjauhinya, taqdimul
mashlahatir rajihah aula min taqdimil mashlahatil marjuhah (mendaulukan
kemaslahatan yang sudah jelas lebih didahulukan dari kemaslahatan yang belum
jelas). Karena jika tidak ada NU sebagai perwakilan Islam, PKI akan lebih
leluasa mempengaruhi setiap kebijakan Soekarno. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar