Hubungan Kafalah dan Ujrah
dalam Bunga Bank
Terminologi kafâlah sering dimaknai sebagai
dlamân, hamâlah atau za’âmah dengan arti secara berurutan adalah jaminan,
beban, dan tanggungan. Kafalah juga dimaknai sebagai akad yang mengikat (luzûm)
antara seorang kafîl (pemberi jaminan) kepada pihak yang dijamin (makful lahu)
atas piutang yang diberikan kepada pelaksana (al-ashîl/makful ‘anhu) untuk
terlaksananya suatu proyek/pekerjaan (makful bihi).
Pak Ahmad hendak mendirikan rumah. Ia tidak
memiliki uang cash yang cukup agar pendirian rumahnya bisa berlangsung tepat
waktu selama musim kemarau yang hanya berkisar 2 bulan. Untuk itu ia mengajukan
pinjaman kepada para tukang dan toko bangunan sebesar dana yang dibutuhkan
untuk membangun rumah.
Selanjutnya, untuk melunasinya, ia mengajukan
penjaminan kepada bank demi lunasnya tanggungan tersebut. Setelah diadakan
survei di lapangan, bank menyetujui usulan Pak Ahmad dan dia menanggung semua
biaya kebutuhan untuk mendirikan rumah dengan risiko, Pak Ahmad harus membayar
kompensasi penjaminan (ujrah/ja’lu) dengan besaran yang ditetapkan oleh bank
dan bersifat ma’lum (diketahui secara jelas).
Dari kasus ini, maka peran masing-masing
pihak adalah dapat diperinci sebagai berikut:
a. Bank bertindak selaku kafil
b. Pak Ahmad bertindak selaku al-ashil atau
al-makful ‘anhu
c. Tukang dan toko bangunan bertindak selaku
al-makful lahu
d. Pendirian rumah merupakan al-makful bihi
e. Kompensasi yang ditetapkan oleh bank
kepada Pak Ahmad disebut sebagai ujrah (upah/kompensasi) atas kafalah (jaminan)
yang dilakukan, mengingat bank merupakan sebuah badan yang memiliki karyawan
untuk digaji.
Pada dasarnya, relasi antara bank, Pak Ahmad,
tukang, dan toko bangunan adalah boleh dalam akad kafalah dengan syarat bahwa
pihak kafîl (bank) mengetahui pihak yang dijamin (Pak Ahmad) dan tujuan yang
jelas dari penggunaan uang tersebut (al-makful bihi).
Yang sering menjadi objek perdebatan dalam kafalah
adalah terkait dengan ujrah/ja’lu (kompensasi) yang disyaratkan oleh kafîl
kepada Pak Ahmad sebagai al-makful ‘anhu. Ada beberapa alasan yang mendasari
ikhtilaf tersebut:
Pertama, menurut pendapat ulama yang
melarang, bahwa jika yang ditanggung adalah berupa harta (mâl) dalam kafâlah
al-mâl, sementara syarat kompensasi juga berupa harta, maka pada dasarnya hal
ini sama dengan akad al-qardlu jara naf’an lil muqridl, yaitu suatu akad utang
piutang yang disertai adanya syarat manfaat bagi pihak yang member utang. Tak
pelak lagi maka akad semacam ini sudah masuk kategori akad ribawi sehingga
ulama mengharamkannya. Contoh dari pendapat ini misalnya adalah ulama dari
kalangan Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah, ia berkata:
ولوقال
: اكفل عني ولك
ألف لم يجز ; لأن الكفيل يلزمه الدين , فإذا أداه وجب له على المكفول
عنه، فصار كالقرض، فإذا أخذ عوضا صار القرض جارا للمنفعة، فلم يجز - انتهى
Artinya: “Seandainya ada orang berkata:
Berikan jaminan kepadaku, kamu akan saya kasih 1000! (Akad seperti ini, adalah)
tidak boleh karena sesungguhnya seorang kafîl terikat olehnya utang. Ketika ia
menunaikan jaminan itu, maka menjadi wajib baginya menanggung orang yang
dijamin sehingga layaknya utang piutang (qardlu). Maka dari itu, apabila kafîl
memutuskan memungut ‘iwadl (kompensasi) maka jadilah akad tersebut menjadi
utang berbuntut manfaat, oleh karena itu tidak boleh.” (Ibnu Qudamah,
Al-Mughni, Beirut, Darul Kutub Ilmiah, tt: 6/441)
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh
At-Thabary dalam kitab Ikhtilâfu al-Fuqahâ, ia berkata:
ولو
كفل رجل على رجل بمال عليه لرجل،على جُعل (أجرة) جعله له المكفول
عليه،فالضمان على ذلك باطل
Artinya: “Seandainya ada seorang laki-laki
menjamin laki-laki lain dengan harta miliknya, di atas kewajiban upah yang
ditetapkan kepada pihak yang dijamin, maka akad jaminan sedemikian ini adalah
bathil.” (Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Al-Thabary, Ikhtilâfu al-Fuqahâ’,
Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, tt.: 9)
Pendapat kedua, adalah dengan menjadikan
kafil selaku wakil dari al-makful ‘anh. Dalam hal ini, pihak bank yang
sebelumnya hanya berperan selaku kafil (penjamin), ia juga memerankan diri
selaku pihak yang mewakili Pak Ahmad dalam menanggung kewajiban Pak Ahmad
kepada al-makful lahu, yaitu tukang dan toko bangunan. Selaku wakil, maka pihak
bank bisa menerima ujrah dari Pak Ahmad.
Konsekuensi dari menjadikan bank selaku wakil
dari Pak Ahmad adalah: (1) yang membayar tukang dan toko bangunan adalah bank,
dan (2) Pak Ahmad harus memiliki sejumlah simpanan di bank tersebut sebelumnya,
dan (3) bank harus mengeluarkan surat pernyataan resmi yang diberitahukan
kepada al-makful lah (tukang dan toko bangunan), bahwa segala transaksi yang
berkaitan dengan tanggungan Pak Ahmad kepada mereka adalah harus melalui bank.
Kendala jika memakai akad wakalah ini adalah, sulitnya diterapkan bila untuk
skala hubungan orang per orang. Antara tukang dan orang yang menyuruh umumnya
adalah saling berinteraksi terkait dengan upah dan lain sebagainya. Masak
tukang mau mengambil upahnya saja harus melalui mekanisme bank? Tentu hal ini
akan memberatkan salah satu pihak yang berinteraksi.
Alternatif lain adalah Fatwa DSN MUI: No.
11/DSN-MUI/IV/2000 yang menyebutkan bahwa kafalah bil ujrah, yaitu kafalah yang
disertai dengan upah hukumnya adalah boleh, dengan catatan bahwa upah yang
ditetapkan tidak memberatkan salah satu pihak. Jika memberatkan maka masuk
kategori unsur riba yang أضعافا مضاعفة sehingga
hukumnya haram.
Keputusan MUI ini memiliki beberapa
pertimbangan dasar, yang salah satunya menjadi hal yang paling penting adalah bahwa
beberapa pihak kadang kesulitan untuk mendirikan usaha disebabkan tidak
memiliki dana. Agar mendapatkan dana yang dimaksud, ia membutuhkan pihak lain
untuk menjaminnya. Dan salah satu pihak yang menjamin dan direkomendasikan
dalam fatwa itu adalah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Lembaga Keuangan
Konvensional (LKK). Dengan demikian, maka ujrah dari al-makful ‘anh adalah
dibayarkan kepada pihak LKS atau LKK. Dalam bahasa LKK, ujrah ini dinamakan
sebagai bunga kredit. Namun dalam LKS, ujrah ini disebut sebagai tarif.
Disyaratkan dalam fatwa DSN tersebut, bahwa besar ujrah harus ditentukan di
muka dan harus disepakati bersama.
Fatwa DSN MUI ini secara tidak langsung turut
melengkapi hasil keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU yang telah digelar
sejak tahun 1992. Dalam keputusan itu, disinyalir bahwa bentuk pinjaman
produktif ke bank adalah masuk unsur diperbolehkan. Mengapa hal ini
diperbolehkan? Berlakunya akad jaminan (kafalah) umumnya hanya terdapat pada
paket pinjaman produktif. Adapun untuk paket konsumtif, keberadaan makful lah
ini yang tidak ditemukan, sehingga berujung pada akad qardlu. Akibatnya, ujrah
yang dibayarkan ke LKK/LKS lewat paket kredit konsumtif ini menjadi akad ribawi
sebagaimana yang dimaksud oleh Ibnu Qudamah di atas. Wallahu a’lam
bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri, P. Bawean, Gresik, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar