Selasa, 16 April 2019

Assyaukanie: Pilpres 2019 dan Rivalitas Kelompok Islam


Pilpres 2019 dan Rivalitas Kelompok Islam
Oleh: Luthfi Assyaukanie

Mengapa persaingan dua kubu capres-cawapres menjelang Pilpres 2019 begitu tajam? Bukankah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerindra, dua partai terbesar pengusung setiap capres, adalah partai nasionalis yang memiliki platform lebih kurang sama? Bukankah keduanya pernah bekerja sama pada Pemilu 2009 ketika Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengajak Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai cawapresnya?

Bukankah Jokowi dan Prabowo mewakili tokoh-tokoh nasionalis di mana keduanya pernah sangat dekat? Jangan lupa, Prabowo adalah salah satu tokoh pertama yang mencalonkan Jokowi sebagai Gubernur DKI. Mengapa keduanya yang sama-sama berlatar belakang sekuler-nasionalis seperti terperangkap dalam ketegangan rivalitas agama?

Satu hal yang tak banyak disadari orang adalah bahwa Pilpres 2019 (dan juga Pilpres 2014 sebelumnya) bukan hanya tentang Prabowo dan Jokowi. Namun, yang lebih penting lagi, ini ajang persaingan di antara dua kelompok besar Islam di Indonesia, kelompok tradisionalis dan kelompok modernis.

Banyak orang tak sadar bahwa rivalitas dua kelompok ini sangat tajam dan menyimpan benih-benih persaingan sejak lama, yang tak mudah didamaikan.

Kelompok tradisionalis adalah kaum Muslim yang mengagungkan nilai-nilai tradisi yang diwariskan Islam. Mereka umumnya meyakini bahwa Islam memiliki ajaran ”sempurna”, yang dikembangkan secara turun-temurun oleh para ulama dan kiai.

Di Indonesia, kaum tradisionalis merujuk kepada kelompok Islam yang menghidupkan ritual-ritual keagamaan seperti ratib dan tahlil. Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu kelompok tradisionalis dan merupakan organisasi tradisionalis terbesar di Indonesia.

Sementara kelompok modernis adalah orang-orang yang percaya bahwa Islam adalah agama yang lentur dan fleksibel terhadap perubahan. Islam adalah agama yang cocok untuk segala keadaan (salih li kulli zaman) dan ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai modern.

Pada awal-awal kemerdekaan, kaum modernis diwakili oleh tokoh-tokoh Muslim terpelajar yang berasal dari Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan beberapa organisasi Islam lain. Dalam politik, mereka tergabung dalam Masyumi, partai politik Islam terbesar ketika itu.

Sebelum 1952, Masyumi adalah rumah besar yang memayungi seluruh kelompok Islam, termasuk organisasi-organisasi tradisionalis, seperti NU. Namun, sejak tahun itu, NU memutuskan berpisah dari Masyumi dan mendirikan partai politiknya sendiri.

Sejak perpecahan ini, pengelompokan kaum modernis dan tradisionalis dalam politik Indonesia semakin tajam. Upaya untuk menyatukannya pada era Soeharto di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak berhasil menghentikan rivalitas keduanya.

Rivalitas tersembunyi

Setelah lengsernya Soeharto, persaingan antara kaum tradisionalis dan modernis kian jelas terlihat. Alih-alih bersatu untuk mobilisasi suara umat, mereka malah berpecah, mendirikan partai masing-masing.

Kaum tradisionalis mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Nahdlatul Ummat (PNU), yang sebagian besar pengurusnya terafiliasi dengan NU.

Sementara kaum modernis mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru (PMB), dan Partai Keadilan (PK).

Pada awal-awal Reformasi, kaum modernis memiliki target politik yang sangat tinggi. PAN, PBB, dan PK, sebagai partai baru yang didukung sebagian besar kaum modernis, menargetkan menang pemilu atau paling tidak mampu mendapatkan suara signifikan. Namun, realitas politik tak seindah yang mereka bayangkan.

Pada Pemilu 1999, PAN dengan nama besar Amien Rais hanya mampu mendapatkan 7 persen suara. PBB dengan nama besar Yusril Ihza Mahendra hanya mampu meraih 1,9 persen suara.

Adapun PK mendapatkan tak lebih dari 1,3 persen suara. Pemenang pemilu adalah partai lama, PDI-P, disusul Golkar di posisi kedua dan PKB, partai kaum tradisionalis, menempati posisi ketiga.

Kegagalan dalam perolehan suara kemudian diikuti kegagalan-kegagalan lain. Yang paling menyakitkan kaum modernis adalah gagalnya tokoh mereka, yakni Amien Rais dan Yusril Ihza, menjadi presiden. Padahal, peluang untuk itu sudah di depan mata.

Yusril hampir menjadi presiden ketika namanya masuk dalam seleksi awal pemilihan presiden di Gedung DPR. Sementara Amien Rais membuang kesempatan itu dengan memberikannya kepada Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh karismatik kaum tradisionalis.

Tak sudi menyerah, pada pemilu berikutnya, tahun 2004, Amien Rais mencalonkan diri sebagai presiden. Ini adalah pilpres pertama yang diadakan secara langsung.

Hasilnya cukup mengejutkan. Sebagai tokoh nasional yang dianggap berjasa besar dalam menumbangkan Soeharto, suara yang diperoleh Amien jauh di bawah target. Ia hanya dapat 14 persen suara, urutan keempat dari lima pasang calon yang ikut kontestasi pilpres.

Jika kegagalan dalam meraih posisi politik tertinggi di negeri ini dijadikan ukuran, sejarah politik kaum modernis adalah sejarah kegagalan. Dari lima kali pemilu (termasuk Pilpres 2019), tak satu tokoh modernis pun mampu meraih posisi penting itu.

Bahkan, di dua pemilu terakhir, kaum modernis tak mampu menghadirkan tokoh alternatif untuk menyaingi dua kandidat yang ada: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dengan ringkih dan serba salah, mereka seperti terpaksa mendukung Prabowo, tokoh yang sejatinya jauh dari gambaran ideal mereka tentang pemimpin Muslim.

Bagi sebagian (besar) kaum modernis, Pilpres 2019 bukanlah tentang Prabowo. Namun, tentang mereka dan bagaimana mereka bisa mengalahkan rival mereka. Pilpres 2019 adalah kesempatan ”menggunakan” Prabowo agar bisa meraih kekuasaan.

Patut dicatat, selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kubu tradisionalis dan modernis berbagi kue kekuasaan yang membuat mereka relatif akur. Namun, sejak Pilpres 2014, kedua kubu terbelah hampir sempurna.

Masuknya KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI yang juga seorang tokoh penting kaum tradisionalis menjadi calon wakil presiden membuat kaum modernis menjadi berang. []

KOMPAS, 12 April 2019
Luthfi Assyaukanie | Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan dosen di Universitas Paramadina, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar