Pilpres 2019 dan Rivalitas Kelompok Islam
Oleh: Luthfi Assyaukanie
Mengapa persaingan dua kubu capres-cawapres menjelang Pilpres 2019
begitu tajam? Bukankah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerindra, dua
partai terbesar pengusung setiap capres, adalah partai nasionalis yang memiliki
platform lebih kurang sama? Bukankah keduanya pernah bekerja sama pada Pemilu
2009 ketika Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengajak Ketua Umum
Gerindra Prabowo Subianto sebagai cawapresnya?
Bukankah Jokowi dan Prabowo mewakili tokoh-tokoh nasionalis di
mana keduanya pernah sangat dekat? Jangan lupa, Prabowo adalah salah satu tokoh
pertama yang mencalonkan Jokowi sebagai Gubernur DKI. Mengapa keduanya yang
sama-sama berlatar belakang sekuler-nasionalis seperti terperangkap dalam
ketegangan rivalitas agama?
Satu hal yang tak banyak disadari orang adalah bahwa Pilpres 2019
(dan juga Pilpres 2014 sebelumnya) bukan hanya tentang Prabowo dan Jokowi.
Namun, yang lebih penting lagi, ini ajang persaingan di antara dua kelompok
besar Islam di Indonesia, kelompok tradisionalis dan kelompok modernis.
Banyak orang tak sadar bahwa rivalitas dua kelompok ini sangat
tajam dan menyimpan benih-benih persaingan sejak lama, yang tak mudah
didamaikan.
Kelompok tradisionalis adalah kaum Muslim yang mengagungkan
nilai-nilai tradisi yang diwariskan Islam. Mereka umumnya meyakini bahwa Islam
memiliki ajaran ”sempurna”, yang dikembangkan secara turun-temurun oleh para
ulama dan kiai.
Di Indonesia, kaum tradisionalis merujuk kepada kelompok Islam
yang menghidupkan ritual-ritual keagamaan seperti ratib dan tahlil. Nahdlatul
Ulama (NU) adalah salah satu kelompok tradisionalis dan merupakan organisasi
tradisionalis terbesar di Indonesia.
Sementara kelompok modernis adalah orang-orang yang percaya bahwa
Islam adalah agama yang lentur dan fleksibel terhadap perubahan. Islam adalah
agama yang cocok untuk segala keadaan (salih li kulli zaman) dan ajaran yang
sesuai dengan nilai-nilai modern.
Pada awal-awal kemerdekaan, kaum modernis diwakili oleh
tokoh-tokoh Muslim terpelajar yang berasal dari Muhammadiyah, Persatuan Islam,
Al-Irsyad, dan beberapa organisasi Islam lain. Dalam politik, mereka tergabung
dalam Masyumi, partai politik Islam terbesar ketika itu.
Sebelum 1952, Masyumi adalah rumah besar yang memayungi seluruh
kelompok Islam, termasuk organisasi-organisasi tradisionalis, seperti NU.
Namun, sejak tahun itu, NU memutuskan berpisah dari Masyumi dan mendirikan partai
politiknya sendiri.
Sejak perpecahan ini, pengelompokan kaum modernis dan
tradisionalis dalam politik Indonesia semakin tajam. Upaya untuk menyatukannya
pada era Soeharto di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak berhasil
menghentikan rivalitas keduanya.
Rivalitas tersembunyi
Setelah lengsernya Soeharto, persaingan antara kaum tradisionalis dan modernis kian jelas terlihat. Alih-alih bersatu untuk mobilisasi suara umat, mereka malah berpecah, mendirikan partai masing-masing.
Kaum tradisionalis mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Nahdlatul Ummat (PNU), yang sebagian
besar pengurusnya terafiliasi dengan NU.
Sementara kaum modernis mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru (PMB), dan Partai Keadilan
(PK).
Pada awal-awal Reformasi, kaum modernis memiliki target politik
yang sangat tinggi. PAN, PBB, dan PK, sebagai partai baru yang didukung
sebagian besar kaum modernis, menargetkan menang pemilu atau paling tidak mampu
mendapatkan suara signifikan. Namun, realitas politik tak seindah yang mereka
bayangkan.
Pada Pemilu 1999, PAN dengan nama besar Amien Rais hanya mampu mendapatkan
7 persen suara. PBB dengan nama besar Yusril Ihza Mahendra hanya mampu meraih
1,9 persen suara.
Adapun PK mendapatkan tak lebih dari 1,3 persen suara. Pemenang
pemilu adalah partai lama, PDI-P, disusul Golkar di posisi kedua dan PKB,
partai kaum tradisionalis, menempati posisi ketiga.
Kegagalan dalam perolehan suara kemudian diikuti
kegagalan-kegagalan lain. Yang paling menyakitkan kaum modernis adalah gagalnya
tokoh mereka, yakni Amien Rais dan Yusril Ihza, menjadi presiden. Padahal,
peluang untuk itu sudah di depan mata.
Yusril hampir menjadi presiden ketika namanya masuk dalam seleksi
awal pemilihan presiden di Gedung DPR. Sementara Amien Rais membuang kesempatan
itu dengan memberikannya kepada Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh karismatik
kaum tradisionalis.
Tak sudi menyerah, pada pemilu berikutnya, tahun 2004, Amien Rais
mencalonkan diri sebagai presiden. Ini adalah pilpres pertama yang diadakan
secara langsung.
Hasilnya cukup mengejutkan. Sebagai tokoh nasional yang dianggap
berjasa besar dalam menumbangkan Soeharto, suara yang diperoleh Amien jauh di
bawah target. Ia hanya dapat 14 persen suara, urutan keempat dari lima pasang
calon yang ikut kontestasi pilpres.
Jika kegagalan dalam meraih posisi politik tertinggi di negeri ini
dijadikan ukuran, sejarah politik kaum modernis adalah sejarah kegagalan. Dari
lima kali pemilu (termasuk Pilpres 2019), tak satu tokoh modernis pun mampu
meraih posisi penting itu.
Bahkan, di dua pemilu terakhir, kaum modernis tak mampu
menghadirkan tokoh alternatif untuk menyaingi dua kandidat yang ada: Joko
Widodo dan Prabowo Subianto. Dengan ringkih dan serba salah, mereka seperti
terpaksa mendukung Prabowo, tokoh yang sejatinya jauh dari gambaran ideal
mereka tentang pemimpin Muslim.
Bagi sebagian (besar) kaum modernis, Pilpres 2019 bukanlah tentang
Prabowo. Namun, tentang mereka dan bagaimana mereka bisa mengalahkan rival
mereka. Pilpres 2019 adalah kesempatan ”menggunakan” Prabowo agar bisa meraih
kekuasaan.
Patut dicatat, selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, kubu tradisionalis dan modernis berbagi kue kekuasaan yang membuat
mereka relatif akur. Namun, sejak Pilpres 2014, kedua kubu terbelah hampir
sempurna.
Masuknya KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI yang juga seorang tokoh
penting kaum tradisionalis menjadi calon wakil presiden membuat kaum modernis
menjadi berang. []
KOMPAS, 12 April 2019
Luthfi Assyaukanie | Peneliti di Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) dan dosen di Universitas Paramadina, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar