Leasing Syariah dengan Akad
Bai’ Murabahah
Sebuah hukum adalah bergantung pada ta’rif
(definisi) dan praktiknya. Demikian ini berlaku untuk semua jenis produk
hukum, baik itu produk syariah maupun produk konvensional. Sebuah leasing suatu
ketika bisa dinyatakan sebagai haram, namun juga di satu sisi bisa disebut
sebagai halal, adalah bergantung pada praktiknya dan sekaligus ta’rifnya.
Sebagaimana diketahui bahwa leasing dalam
praktik perbankan syariah bisa diterapkan melalui dua jalur pelaksanaan, yaitu
produk murabahah dan produk musyarakah. Jika leasing diterapkan mengikuti
produk murabahah, maka berlaku ketentuan sebagai berikut, yaitu:
1. Tidak ada uang muka (down payment)
2. Cicilan diterapkan dengan skema harga
pokok ditambah dengan keuntungan
3. Angsuran setiap masa cicilan adalah
berangsur tetap.
4. Transfer of title (perpindahan
kepemilikan) atau biasa dikenal dengan istilah leavering, terjadi sejak awal
kesepakatan akad dan merupakan kepemilikan yang sempurna.
Keempat syarat di atas, mutlak wajib
dilaksanakan. Dan bila dijumpai salah satu yang tidak sesuai dengan syarat, maka
status bai’ tersebut menjadi batal.
ولا
يرتهن له إلا إن تعذر التقاضي لدينه أو باع ماله مؤجلا فيرتهن فيهما وجوبا وإنما
يجوز بيع ماله مؤجلا لغبطة من أمين غني وبإشهاد وبأجل قصير في العرف وبشرط كون
المرهون وافيا بالثمن فإن فقد شرط مما ذكر بطل البيع
Artinya: “Dan jangan penjual mengambil barang
pembeli sebagai gadai darinya kecuali adanya ‘illah berupa pembeli sulit
melunasi hutangnya. Atau penjual menjual hartanya secara muajjal (bertempo),
kemudian penjual mensyaratkan gadai kepada pembeli dengan wajib. Adapun jual
beli secara bertempo diperbolehkan adalah 1) karena adanya ghibthah
(penerjemah: jaminan pelunasan) dari seorang yang amanah, kaya, 2) adanya
saksi-saksi, dan 3) tempo pembayaran yang tidak lama secara ‘urf, serta 4)
adanya “syarat” bahwa ‘keberadaan barang yang digadaikan’harus tertebus dengan
harga. Jika salah satu dari keempat syarat ini tidak ada, maka batalah akad
jual beli (taqshith dan muajjalan ini).” (Syeikh Ibn Hajar Al-Haitamy, Hawasy
Tuhfatul Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, Mathba’ah Mushthafa Muhammad: 5/54)
Mengikut ibarat di atas, maka pada saat
seseorang mengambil leasing dengan mengikuti metode akad murabahah (harga pokok
plus keuntungan bagi penjual), maka ia sejatinya sedang melakukan jual beli
dengan akad bai’ taqshith atau jual beli kredit. Nama lain dari bai’
taqshith adalah bai’ muajjal, yaitu jual beli dengan tempo. Jual
beli taqshith adalah jual beli yang dilaksanakan oleh seseorang dengan
kesepakatan harga di awal, namun dengan pembayaran yang ditunda.
Sebagaimana lazimnya jual beli taqshith, maka
berlaku ketentuan sahnya leasing murabahah, adalah sebagai berikut:
1. Pembeli bisa memanfaatkan barang beliannya
sejak awal terjadinya kesepakatan harga
2. Harga barang dan masa angsuran ditentukan
sejak awal masa negosiasi. Dalam hal ini penjual boleh memberikan harga yang
beda terhadap satu barang yang dijual. Misalnya, suatu ‘ain, bila dibeli dengan
cash, maka harganya 10 ribu rupiah. Sementara bila barang dibeli secara kredit,
maka harganya adalah 15 ribu rupiah. Selanjutnya, harga jadi dibagi menurut
lama angsuran sebagai harga cicilan konsumen.
3. Penjual tidak boleh menarik harga tambahan
manakala dijumpai adanya keterlambatan dalam cicilan / angsuran.
Konsep ini sebenarnya dalam praktik lembaga
pembiayaan syariah dapat berujung pada kerugian. Kerugiannya adalah bila ia
menghadapi kondisi konsumen yang sulit untuk melangsungkan penebusan harga
sehingga jangka waktu penebusan menjadi molor.
Jika dalam lembaga pembiayaan konvensional,
akibat keterlambatan dalam cicilan, pihak lembaga pembiayaan mengenakan sanksi
yaitu berupa tambahan biaya pada angsuran berikutnya. Konsep ini diadopsi
menjadi berstatus denda / sanksi pembayaran. Inilah yang menjadi khilaf di
kalangan fuqaha’ Syafi’iyah kontemporer, karena dalam konsep turats, tidak
pernah dikenal dengan istilah sanksi yang dilakukan dengan mengambil harta
(maal) sehingga hukumnya adalah “haram,” kecuali fuqaha’ dari kalangan
hanafiyah, ada khilaf yang membolehkannya.
قال
الشافعي: لا تضعف الغرامة على أحد في شيء إنما العقوبة في الأبدان لا في الأموال
Artinya: “Al-Syafi’i berkata denda tidak
diperlakukan dengan mengambil sesuatu, hukuman diperlakukan sebatas pada raga
tidak pada harta” (Lihat Al-Baihaqy, Sunan Al-Kubra li al-Baihaqy, Daru
al-Kutub al-Ilmiyyah: 8/279)
Fuqaha’ Syafi’iyah menyatakan hukumnya haram
dengan menarik denda. Sementara dalam Fuqaha’ Hanafiyah ada yang menyatakan
haram, dan ada yang menyatakan boleh.
قال
الرحيباني وحرم تعزير بحلق لحية وقطع طرف وجرح) لأنه مثلة (وكذا) يحرم تعزير (بأخذ
مال أو إتلافه) لأن الشرع لم يرد بشيء من ذلك عمن يقتدى به , ولأن الواجب أدبه والأدب لا يكون بالإتلاف (خلافا للشيخ)
تقي الدين ; فإن عنده التعزير بالمال سائغ إتلافا وأخذا
Artinya: “Al-Ruhaibany menyatakan bahwa haram
menta’zir dengan mencukur jenggot, memotong anggauta dan melukainya, Ta’zir
diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda karena tidak
terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat diikuti dan
karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang tidak ada
ketentuan dengan merusak harta benda berbeda. Namun, Imam Taqiyuddin
memperkenankan ta’zir berupa mengambil atau merusak harta benda.” (Lihat
Al-Ruhaibany, Mathaalib Ulin Nuhaa, Daru al-Kutub Al-Ilmiyah: 6/224)
Kondisi tidak berimbang manakala ditemui
adanya konsumen/nasabah yang memiliki kredibilitas pembayaran yang baik. Pada
lembaga konvensional, ada istilah bonus cicilan. Apakah dalam hal ini juga bisa
diadopsi dalam neraca pemasukan dan pengeluaran lembaga pembiayaan syariah?
Jika konsep bonus diadopsi, maka konsep denda juga mensyaratkan adopsinya. Bila
konsep denda tidak diadopsi sementara konsep bonus diadopsi, maka akan terjadi
keguncangan pada neraca aktiva perbankan. Selain itu, konsep bonus dapat
menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen bila hal tersebut diterapkan karena
dapat memacu kinerja pendanaan lembaga. Akhirnya, lembaga pembiayaan memakai
konsep denda dan bonus ini dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan
konsep al-dlaruriyatu al-khams yakni al-adlu (keadilan) sebagai
al-dlarurat.
4. Penjual tidak berhak menarik kembali
barang yang sudah dijual kepada pembeli, namun ia boleh memberikan syarat
kepada pembeli bahwa apabila terjadi kredit macet, maka pihak pembeli bisa
menggadaikan (rahn) barang yang sudah dibelinya kepada penjual untuk
menjamin haknya guna melunasi cicilan.
Payung Hukum Leasing Syariah Berbasis
Murabahah
Jika melihat realitas yang berkembang di
masyarakat, bahwa konsep leasing oleh lembaga pembiayaan konvensional ternyata
banyak menerapkan konsep murabahah ini. Indikasinya adalah angsuran tetap.
Namun, konsekuensi adanya uang muka (Down Payment) ini yang menjadikan akad ini
rusak karena pembayaran semacam ini adalah konsepnya ijarah muntahiyah bi
al-tamlik atau musyarakah mutanaqishah bi nihayati al-tamlik.
Payung hukum negara untuk akad musyarakah
mutanaqishah sebenarnya tidak ada kecuali hanya sebatas Fatwa DSN MUI. Adapun
konsepsi yang sesuai dengan bunyi legal formal peraturan negara adalah justru
konsep leasing dengan bai’ murabahah. Untuk mengetahui hal ini, pembaca bisa
merujuk pada bunyi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan (“Perpres 9/2009”) atau melihat kembali Keputusan Menteri
Perdagangan Dan KoperasiNomor 34/KP/II/80 Tahun 1980 tentang Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) Jual Beli Dengan Angsuran, dan Sewa
(Renting) (“Kepmen 34/1980”) yang telah dicabut olehPeraturan Menteri
Perdagangan Republik IndonesiaNomor 21/M-DAG/PER/10/2005 Tahun 2005
tentangPencabutan Beberapa Perizinan Dan Pendaftaran Di Bidang Perdagangan. Wallahu
a’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar