Mambaul Ulum
Surakarta, Madrasah Pencetak Tokoh Bangsa
113 tahun yang lalu,
tepatnya pada tanggal 23 Juli 1905, di Ibukota Kerajaan Surakarta, Raja Paku
Buwono (PB) X mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang diberi nama
Madrasah Mambaul Ulum.
Madrasah ini berdiri,
tidak lama setelah pemerintah Kolonial Belanda memunculkan peraturan Godsdienstinderwijs
Mohammedaansch yang membatasi pengajaran agama Islam di wilayah Hindia
Belanda.
Hermanu Joebagio
dalam buku Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta (2017) menjelaskan
peraturan yang terdiri dari enam pasal tersebut, pada intinya Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda melakukan pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang
memberi pengajaran agama Islam di Jawa dan Madura, terkecuali di lingkup
kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Peraturan ini
kemudian dimanfaatkan PB X untuk mendirikan beberapa lembaga pendidikan, di
antaranya Mambaul Ulum, sebagai wujud untuk mengembangkan pendidikan masyarakat
bagi anak-anak pribumi di tengah himpitan sistem pendidikan kolonial yang
berlaku diskriminatif bagi warga kelas sosial bawah.
Selain itu, pendirian
Mambaul Ulum juga dengan berbagai pertimbangan, yakni sebagai lembaga
pendidikan yang menghasilkan calon tenaga penghulu Landraad dan Raad Agama,
serta pengelola masjid atau langgar di wilayah Kasunanan yang telah meninggal.
Akhirnya, pada
tanggal 6 Maret 1906, izin pendirian madrasah diterbitkan. KRTP Tapsiranom V
didapuk menjadi pengelola madrasah dibantu pengasuh Pesantren Jamsaren Kiai
Muhammad Idris.
Mereka berdua dibantu
guru-guru yang mumpuni seperti Kiai Muhammad Fadhil, Kiai Bagus Arfah, Kiai Dimyati,
Kiai Djauhar, Kiai Kholil, Kyai Mawardi, Kiai Suryani, Kiai Mangunwiyoto dan
lain sebagainya.
Adapun pembagian
kelas di Mambaul Ulum terdiri dalam tiga tingkat; tingkat dasar atau Ibtidaiyah
(Kelas I sampai kelas V), tingkat menengah atau Tsanawiyah (Kelas VI sampai
kelas VII), dan menengah atas atau kelas Aliyah (Kelas IX sampai kelas XI).
Madrasah Mambaul Ulum, pada waktu pagi dibuka pukul 07.00–12.00. adapun waktu
siang, hanya sampai pada kelas VIII (tsanawiyah), dari pukul 14.00–16.30.
Kurikulum di Mambaul
Ulum, tidak hanya mempelajari bidang ilmu agama, tetapi juga pengetahuan umum.
Namun demikian, untuk mendapatkan ijazah, seorang siswa diwajibkan untuk
menyelesaikan beberapa mata pelajaran, dan puncaknya ia akan mendapat pengakuan
berupa syahadah (ijazah).
Sebagai contoh,
seorang tokoh NU yang juga pernah menjadi Bupati Tuban KH R. Mustain, ketika
hendak mencapai pangkat sebagai seorang pengulu, ia mesti menyelesaikan
beberapa pelajaran di Madrasah Mambaul Ulum, antara lain ia harus menguasai beberapa
kitab, yaitu Fathul Mu’in, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain, Minhajul Abidin,
dan lainnya.
Keberadaan Mambaul
Ulum ini, pada akhirnya tidak hanya sekedar menjadi madrasah pencetak para
penghulu ataupun pengelola masjid semata, akan tetapi lebih dari itu mampu
melahirkan tokoh-tokoh besar muslim, yang tidak kalah dengan mereka yang
mengenyam pendidikan umum (sekuler).
Para tokoh tersebut
antara lain KHR Moh Adnan, KH Saifuddin Zuhri, Munawir Sadzali, KH R Mustain
(Bupati Tuban), KH Imam Zarkasyi (Gontor), dan Prof Dr Baiquni (Bapak
Atom/Nuklir Indonesia). []
Sumber:
1. KH Saifuddin
Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, (Yogyakarta, LKiS, 2013)
2. Hermanu Joebagio,
Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta Dari PB IV Hingga PB X, (Sukoharjo,
Diomedia, 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar