Ancaman
Demokrasi
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Sebuah
konstitusi tidak menjamin tegaknya demokrasi jika pemim- pin suatu negara tak
memiliki komitmen kuat untuk menjaga norma, tradisi, dan etika demo- krasi,
tulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018).
Levitsky
dan Ziblatt gelisah melihat etika demokrasi Amerika Serikat dirusak oleh Trump,
padahal selama ini Amerika dikenal sebagai ”laboratorium demokrasi”. Dia
mengatakan, “Democracies may
die at the hands not of generals but of elected leaders, presidents or prime
ministers who subvert the very process that brought them to power.”
Berdasarkan penelitannya, beberapa negara yang kualitas demokrasinya hancur
itu bukan karena kekuatan militer yang merebut kekuasaan dengan senjata,
melainkan oleh figur pemimpin nasional— baik itu presiden maupun perdana
menteri—yang merusak proses, standar, dan etika demokrasi semata untuk
memenangi pertarungan demi meraih jabatan.
Sekadar
contoh, demokrasi di Peru hancur di tangan Presiden Alberto Fujimori yang
sebelumnya hanya dikenal sebagai sosok rektor berdarah Jepang. Dia terpanggil
maju sebagai capres dengan janji menyelamatkan ekonomi Peru yang waktu itu
dilanda korupsi, terorisme, dan penyelundupan obat-obatan terlarang. Ia
berhasil merebut hati rakyat sehingga menduduki kursi presiden pada 18 Juli
1990. Namun, ironis, pada 5 April 1992, kurang dari dua tahun, ia membubarkan
parlemen dan mengubah konstitusi, lalu menjadikan dirinya tiran, menggali
kuburnya sendiri. Sebagaimana nasib tiran lain, pada 2009 Fujimori divonis 25
tahun penjara karena terlibat korupsi, penculikan, dan pembunuhan.
Hugo
Chavez juga sosok Presiden Venezuela yang penuh kontroversi, yang oleh pengamat
dianggap sebagai demagog. Dia antikritik, senang memberikan label yang sangat
tak etis terhadap lawan politiknya, lebih kasar ketimbang label ”kecebong” dan
”kampret”. PM Italia Silvio Berlusconi, Presiden Ekuador Rafael Correa, dan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang masih berkuasa sampai hari ini,
adalah sosok-sosok pemimpin negara yang berjuang meniti karier melalui proses
demokrasi, tetapi setelah bekuasa cenderung menjadi tiran dan demagog.
Daftar
ini bisa diperpanjang dengan memasukkan berbagai kasus di kawasan Asia,
misalnya Presiden Marcos di Filipina dan Saddam Hussein di Irak serta Khadafi
di Libya. Pengalaman pergantian pimpinan nasional di Pakistan, Indonesia, dan
Malaysia juga tak selalu mulus, ada saja yang jadi tumbal politik mesti masuk
penjara, nyawa melayang, dan darah tumpah. Berasal dari bahasa Yunani, demos berarti
’rakyat’, agogos berarti
’pemimpin’, dalam perkembangannya demagog berarti pemimpin yang suka menghasut
dan menipu rakyat lewat retorika yang memukau semata untuk meraih dan
melanggengkan kekuasaannya.
Pembusukan demokrasi
Keunggulan
dan substansi demokrasi tak cukup diambil bentuk formalnya saja berupa
pelaksanaan ritual pilkada dan pemilu yang diikuti multipartai politik. Di
samping setia pada konstitusi, elite politiknya mesti memiliki standar moral
tinggi dan jiwa seorang demokrat yang senantiasa membela hak-hak sipil untuk
menyampaikan hak kritiknya secara bebas sekalipun berseberangan aspirasi
politiknya. Lebih dari itu, parpol hendaknya jadi institusi pendidikan kader
politisi-negarawan yang berintegritas tinggi dan punya kapasitas teknokratik.
Parpol jangan hanya menjual ”boarding
pass” bagi mereka yang punya uang agar bisa ikut berkompetisi di
pileg atau pilkada.
Pembusukan
demokrasi terjadi ketika kemenangan politik untuk menjadi anggota legislatif
ataupun presiden semata ditopang oleh jumlah suara, tetapi terjadi jarak
yang jauh dan gelap antara massa pemilih dan figur yang dipilih. Mereka mungkin
menentukan pilihan karena pengaruh uang, bujukan dan ancaman makelar politik,
atau korban hoaksdan cuci otak. Dengan dalih reformasi dan pelaksanaan
demokrasi, negara dan parpol membelanjakan uang triliunan rupiah dan ongkos
sosial berupa polarisasi masyarakat sebagai ekses pilkada, pileg, dan
pilpres, tetapi proses yang ditempuh penuh kebusukan sehingga hasilnya pun banyak
yang mengecewakan. Elite parpol bukannya mendidik rakyat, tetapi malah
membodohi rakyat.
Sejak
digulirkan reformasi, suasana menjelang Pemilu 2019 ini paling buruk,
emosional, penuh hoaks dan caci maki dengan melibatkan frase-frase keagamaan
sehingga melahirkan potret paradoksal. Sebuah kebohongan yang disakralkan dan
ungkapan sakral tentang kebohongan.
Epistokrasi
Praktik
demokrasi di masyarakat Barat dan belahan dunia lain pun sekarang mulai menuai
kritik, termasuk di Indonesia, meski sistem demokrasi tetap dinilai paling
bagus dibandingkan dengan sistem lain. Jason Brennan dalam karyanya, Against Democracy (2016),
menilai bahwa praktik pemungutan suara one
man one vote cenderung irasional. Rakyat sangat mungkin tak
tahu persis siapa yang dipilih dan apa konsekuensi dari pilihannya.
Karena
itu, Brennan menawarkan konsep yang disebut epistokrasi atau the rule of the knowledgeable.
Konsekuensi dari ide adalah menjadi tak fair jika
orang yang berpendidikan tinggi dan paham masalah kenegaraan bobot suaranya
sama dengan orang tak berpendidikan, dalam menentukan jalannya pemerintahan,
seperti halnya dalam pemilu. Ide ini mengingatkan konsep Plato tentang Philosopher King, bahwa
pemerintahan itu mesti dipegang dan dikendalikan oleh orang-orang bijak dan
berpengetahuan luas meski disayangkan dalam perjalanannya ide ini mengantarkan
munculnya monarki, seorang kepala pemerintahan yang merasa dirinya paling benar
dan antikritik.
Konsep
epistokrasi memiliki kebenaran, tetapi sulit diterapkan. Untuk tingkat ormas,
ide ini sudah dilaksanakan oleh Muhammadiyah dalam memilih ketua umumnya. Wakil
utusan muktamar nasional memilih 39 kadernya yang dianggap baik, lalu dari 39
orang mengerucut menjadi 13 anggota formatur yang kemudian 13 orang ini
bersidang memilih satu di antara mereka sebagai ketua umum Muhammadiyah.
Terlepas
dari kontroversi seputar epistokrasi, ide ini sesungguhnya relevan untuk
menganalisis praktik demokrasi liberal yang tengah berlangsung di Indonesia.
Bayangkan, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta, tersebar ke
ratusan pulau, dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang timpang, lalu mereka
memiliki bobot yang sama dalam memilih pemimpin bangsa yang tidak mereka
ketahui sama sekali.
Di mana
letak rasionalnya? Karena itu, tidak mengherankan jika saat ini terjadi resesi
demokrasi (democratic
recession) serta pendangkalan dan pembusukan demokrasi karena terdapat
jarak yang jauh dan gelap antara rakyat sebagai pemilih dan capres yang hendak
dipilih. Dalam ruang gelap itu bergentayangan pekerja hoaks dan provokator
untuk mengadu domba rakyat dengan doktrin ideologi yang rakyat tak paham.
Kenyataan ini juga ditemui dalam pileg dan pilkada. Ongkos pemilu dan pilkada
naik berlipat-lipat, baik finansial maupun moral, tetapi hasilnya tidak lebih
baik.
Menyikapi
kenyataan ini setidaknya terdapat dua macam respons. Pertama, kita kembali ke
sila keempat Pancasila, presiden dan kepala daerah dipilih dalam forum
permusyawaratan perwakilan rakyat sebagaimana dipraktikkan zaman Orde Baru
dengan syarat para wakil rakyat itu memiliki prinsip-prinsip kompetensi (competence principle),
yaitu integritas dan pengetahuan luas tentang sebuah pemerintahan yang baik
sehingga tak sembarangan pilih presiden dan kepala daerah.
Respons
kedua, biarlah proses pembelajaran dan pematangan berdemokrasi yang berlangsung
selama ini berjalan terus, sambil meningkatkan pendidikan politik bagi rakyat
serta menyehatkan partai politik. Oleh karena itu, salah satu tantangan dari
pilpres dan pileg mendatang ini bukannya siapa yang akan menjadi pemenang,
melainkan kemenangan itu harus kembali ke rakyat Indonesia sehingga
mereka mendapatkan haknya untuk hidup sejahtera, maju, aman, dan damai. []
KOMPAS,
10 April 2019
Komaruddin Hidayat | Dosen
pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar