Peluku dan Belekok
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Desa Nogotirto, Sleman, Yogyakarta, 1 April 2019. Pada pagi itu
sambil bersepeda, saya menjelajahi sebagian kawasan desa yang sudah kami
tinggali sejak 1985. Area persawahan semakin menciut dari waktu ke waktu,
digantikan oleh perumahan, hotel, toko, warung, dan bangunan lainnya.
Kita tidak tahu lagi, jika sawah sudah beralih fungsi, ke mana
lagi para petani akan menggantungkan nasibnya? Tidak sedikit pemilik sawah di
sekitar Nogotirto yang telah menjual harta pusakanya ini kepada pengembang atau
kepada penawar lainnya dengan harga yang semakin menggila.
Ujungnya nanti bisa jadi anak cucu mereka sudah tidak kenal sawah
lagi, sawah yang menyatu dengan kehidupan desa sejak ratusan tahun yang silam.
Di sekitar Desa Nogotirto, tidak jauh dari kantor kepala desa,
masih tersisa sedikit persawahan yang subur mungkin karena pengaruh abu Gunung
Merapi yang masih aktif. Pada pagi itu, tatapan saya terpanah ke sosok peluku
(tukang bajak) yang sedang mengerjakan sawah untuk segera ditanami padi.
Di sekitarnya itu tampak sekitar 15 ekor belekok (burung bangau
kecil warna putih, sekalipun ada warna campuran hitam atau kuning). Burung ini
selalu mengikuti sang peluku untuk mengais cacing, anak katak, dan makhluk alit
lainnya untuk jadi makanannya.
Suasana persahabatan antara peluku dan belekok bagi saya di usia
senja ini adalah panorama yang indah mengesankan. Peluku tidak merasa terganggu
oleh belekok yang berkeliaran di sekitar bajak bermersinnya, belekok pun tidak
merasa terancam hidupnya kalau-kalau peluku suatu ketika menyiapkan bedil angin
untuk membidiknya.
Puluhan tahun yang lalu, di sekitar persawahan Kulon Progo, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), saya pernah pula berburu dan menangkap belekok ini
dengan bidikan senapan angin untuk kemudian dimasak. Kala itu saya masih
bersikap 'ganas' berburu burung sebagaimana kebiasaan saya pada usia belasan
tahun di Sumpur Kudus, Sumatra Barat.
Kemudian secara berangsur muncul perasaan menyesal untuk tidak
lagi berburu burung-burung ini, sekalipun halal dimakan. Hanya daging belekok
jika tidak mahir membumbuinya, akan terasa agak amis. Itulah sebabnya saya
sangat terkesan melihat hubungan peluku dengan belekok yang demikian damai,
mesra, dan saling memahami.
Pertanyaannya: apakah belekok ini masih akan terlihat bersama
peluku pada tahun-tahun yang akan datang, saat persawahan telah semakin
dikorbankan untuk kepentingan bangunan? Ke mana mereka akan cari makan,
sekiranya pada suatu saat lahan sawah semakin dialihfungsikan?
Untuk DIY saja dan di Jawa pada umumnya, dengan semakin
menggelembungnya jumlah penduduk, luas kawasan persawahan secara berangsur,
tetapi pasti bukan lagi untuk ditanami padi dan pelawija. Di lahan pertanian
itu, bangunan-bangunan beton, baik berupa perumahan, hotel, perkantoran, maupun
yang sejenis itu akan semakin masif.
Jangankan belekok yang tak berdaya itu, para pemilik lahan dan
buruh-tani sudah banyak yang kehilangan sumber pencariannya. Saya tidak tahu ke
mana mereka berimigrasi. Untuk sementara, belekok masih mungkin pindah ke sisa
kawasan persawahan yang lain karena punya sayap untuk terbang ke sumber
penghidupan baru itu, tetapi untuk berapa lama lagi, ketika pulau Jawa mungkin
saja berubah jadi padang pasir?
Saya hanya mau mengingatkan agar bangsa ini lebih hati-hati dan arif
dalam perencanaan pembangunan di bawah maraknya slogan gemerlapan bonus
demografi dan tahun emas Indonesia pada 2045. Kota Yogyakarta sekarang ini saja
bukan lagi merupakan daerah permukiman yang ideal.
Beberapa ruas jalan pada jam-jam tertentu sudah macet, puluhan
hotel berbintang saling berlomba karena godaan: DIY telah menjadi tujuan wisata
yang menawan sesudah Bali! Sejumlah rakyat kecil yang hanya punya sebidang
tanah sempit berhasil dibujuk oleh pemilik modal agar cepat dijual.
Sebagian mereka memang tergoda, mungkin dengan harga jual yang
menggiurkan atau karena tidak punya pilihan lain, kecuali menyerah-pasrah.
Tujuan kemerdekaan jelas bukan hanya untuk semakin menggendutkan pemilik modal
dengan membiarkan rakyat kecil semakin tergusur dan telantar di tanah airnya
sendiri!
Jika pola pembangunan kapitalistik ini tidak diawasi oleh negara
yang secara konstitusional bertanggung jawab untuk kesejahteraan seluruh
rakyatnya, tidak saja nasib peluku dan belekok yang akan binasa ditelan
keganasan roda pembangunan. Jauh lebih brutal dari itu. Nasib bangsa ini secara
keseluruhan sedang dipertaruhkan: untuk apa kita merdeka! []
REPUBLIKA, 09 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar