Hukum Puasa Penderita
Ambeien Sebab Dorong Katup Duburnya
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online. Sebab sakit
hemoroid/ambeien di setiap habis hajat besar katup dubur saya harus didorong
masuk, hal ini menjadi masalah bila terjadinya di siang hari. Apakah batal
puasa saya bila tindakan itu saya lakukan di siang hari saat puasa? Mohon
penjelasan detailnya. Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Hamba Allah
Jawaban:
Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudara penanya yang budiman. Semoga Allah SWT
memberikan kesehatan kepada Saudara dan pemahaman serta amaliah agama yang
baik.
Di antara sebab yang membatalkan puasa adalah
masuknya sesuatu ke dalam jauf, yaitu rongga yang terbuka, dengan sengaja,
bukan terpaksa dan mengetahui keharaman tindakan tersebut.
Dubur (anus) termasuk jauf (rongga yang
terbuka), sehingga ketika istinja’ (bersuci, cebok) pada saat sedang berpuasa,
maka harus dilakukan dengan berhati-hati. Tetapi dalam kasus hemoroid atau
ambeien (wasir), karena masuknya katup dubur dengan cara didorong dengan jari
atau alat tidak bisa dihindarkan, maka dalam kasus ini dimaafkan, yakni tidak
membatalkan puasa.
Syekh Nawawî Al-Bantanî (wafat 1316 H) dalam
Kitabnya Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în menjelaskan:
يُفْطِرُ
صَائِمٌ بِوُصُوْلِ عَيْنٍ مِنْ تِلْكَ إِلَى مُطْلَقِ الْجَوْفِ مِنْ مَنْفِذٍ
مَفْتُوْحٍ مَعَ الْعَمْدِ وَالْاِخْتِيَارِ وَالْعِلْمِ بِالتَّحْرِيْمِ...
وَيَنْبَغِي الْاِحْتِرَازُ حَالَةَ الْاِسْتِنْجَاءِ، لِأَنَّهُ مَتَى أَدْخَلَ
مِنْ أُصْبُعِهِ أَدْنَى شَيْءٍ فِيْ دُبُرِهِ أَفْطَرَ. وَكَذَا لَوْ فَعَلَ بِهِ
غَيْرُهُ ذَلِكَ بِاخْتِيَارِهِ مَا لَمْ يَتَوَقَّفْ خُرُوْجُ الْخَارِجِ عَلَى
إِدْخَالِ أُصْبُعِهِ فِيْ دُبُرِهِ، وَإِلَّا أَدْخَلَهُ وَلَا فِطْرَ. وَضَابِطُ
دُخُوْلِ الْمُفْطِرِ أَنْ يَصِلَ الدَّاخِلُ إِلَى مَا لَا يَجِبُ غَسْلُهُ فِي
الْاِسْتِنْجَاءِ، بِخِلَافِ مَا يَجِبُ غَسْلُهُ فِيْهِ فَلَا يُفْطِرُ إِذَا
أَدْخَلَ أُصْبُعَهُ لِيَغْسِلَ الطَّيَّاتَ الَّتِيْ فِيْهِ،....
وَيُعْفَى
عَنْ مَقْعَدَةِ الْمَبْسُوْرِ، حَتَّى لَوْ تَوَقَّفَ دُخُوْلُهَا عَلَى
الْاِسْتِعَانَةِ بِأُصْبُعِهِ عُفِيَ عَنْهُ (نِهَايَةُ الزَّيْنِ لِلْإِمَامِ
النَّوَوِيِّ الْجَاوِيِّ، ص 187-188
Artinya, “Seseorang yang berpuasa menjadi
batal sebab sampainya sesuatu benda ke dalam apa yang disebut jauf secara
mutlak, yaitu rongga atau lubang yang terbuka, secara sengaja, tanpa terpaksa
dan mengetahui hal ini haram dilakukan saat puasa... Seyogianya seseorang
menjaga diri saat istinja’ (cebok), karena bila ia memasukkan jarinya ke dalam
bagian bawah dalam anusnya, maka itu membatalkan puasa. Demikian juga
membatalkan puasa, bila masuknya sesuatu itu dilakukan oleh orang lain dengan
izinnya (bukan karena terpaksa), selama keluarnya sesuatu (kotoran tinja) tidak
bergantung kepada memasukkan jari ke dalam anusnya. Tetapi, bila keluarnya
tinja itu hanya bisa dilakukan dengan cara memasukkan jari tersebut, maka
tidaklah batal puasanya.
Tolok ukur masuknya sesuatu yang membatalkan
puasa adalah masuknya sesuatu kepada bagian yang tidak wajib dibasuh dalam
istinja’. Berbeda dengan bagian yang wajib dibasuh saat istinja’, maka tidaklah
membatalkan puasa bila seseorang memasukkan jarinya untuk membasuh
lipatan-lipatan anus yang ada dalam bagian yang wajib dibasuh.
Dan dimaafkan masalah katup dubur orang yang
ambeien, sehingga jika masuknya katup dubur orang yang ambeien tersebut dengan
cara menggunakan jarinya maka dimaafkan,–maksudnya tidak membatalkan puasa,”
(Lihat Syekh Nawawî Al-Jâwî, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în, [Beirut,
Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 2002 M], halaman 183).
Sayid ‘Abdurrahman Bâ‘alwî, mufti Hadhramaut,
dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidîn menegaskan:
مَسْأَلَةٌ) حَاصِلُ
مَا ذَكَرَهُ فِي التُّحْفَةِ فِيْ مَقْعَدِهِ الْمَبْسُوْرِ أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ
بِعَوْدِهَا وَإِنْ أَعَادَهَا بِنَحْوِ أُصْبُعِهِ اِضْطِرَارًا... (ُبغْيَةُ
الْمُسْتَرْشِدِيْنَ، ص 111
Artinya, “(Masalah) Simpulan penjelasan yang
disebutkan dalam Kitab At-Tuhfah mengenai katup dubur orang yang ambien adalah
bahwa tidak batal puasa seseorang sebab mengembalikan atau mendorong ke dalam
posisi katup duburnya tersebut, meskipun ia mengembalikannya dengan semisal
jarinya, karena terpaksa,” (Lihat Ba‘alwî, Bughyatul Mustarsyidîn,
[Singapura-Jedah-Indonesia, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 111).
Demikian penjelasan ini, semoga dapat
dipahami dengan baik. Kami terbuka menerima masukan dari pembaca yang budiman.
Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq.
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Ahmad Ali MD
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar