Membaca Asyik,
Menggelitik, dan Mendidik
Penulis
: Hilmi Abedillah
Judul
: Trik Ahli Neraka
Tebal
: 189 halaman
Cetakan
: Pertama, Maret 2018
Ukuran
: 12,5x19,5 cm
Penerbit
: Mitra Karya
ISBN
: 9786027460034
Peresensi
: Syakir NF, penikmat sastra,
mahasiswa Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
Kelahiran karya
sastra tak bisa dilepaskan dari konteksnya. Mengutip Rene Wellek dan Austin
Werren, sastra itu wujud ekspresi suatu masyarakat. Hal ini yang tampak dalam
cerpen-cerpen Hilmi. Ia mulai dari dunia terdekatnya, yakni pesantren. Santri
Kudus ini berkisah tentang kiai, penjual pecel, barokah, Syekh Dinawari, hingga
gambaran akhirat, neraka.
Kisah-kisah dalam
cerpen tersebut tidak melulu berkisah tentang dunia pesantren yang menjadi
lingkungan terdekatnya. Melalui hal itu, ia mampu menyinggung dan menyentil
problematika sosial terkini, seperti minimnya literasi, keteladanan, motivasi,
hingga relijiusitas masyarakat di era milenium ini.
Kepengrajinan penulis
juga sangat kreatif dengan daya imajinasi yang begitu liar. Ia memainkan gaya
realisme magis dengan tokoh bulan Sya’ban, seekor kucing, sebuah koran, hingga
latar neraka lengkap dengan para penghuninya. Hal terakhir yang disebutkan
tercederai dengan epigonitas pengarang terhadap Ali Akbar Navis. Cerita dialog
penghuni neraka pernah diceritakan oleh sastrawan Minangkabau itu melalui
cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami. Meskipun demikian, tentu ada hal
baru darinya, seperti pintu rahasia dan angka ruangan.
Terlepas dari
pengarang mengetahui atau tidak tentang cerpen tersebut, tetapi cerpen demikian
bukanlah hal baru, bahkan cenderung meniru. Memang, tidak ada karya yang murni.
Setiap karya pasti menjadi epigon atas karya yang lain. Tetapi bukan berarti
hampir persis seperti cerpen berjudul Trik Ahli Neraka dan Robohnya Surau Kami
tersebut.
Hal lain yang
terlupakan, entah sengaja atau tidak, adalah logika. Ya, seliar-liarnya kita
berimajinasi, kita tidak bisa menafikan logika dalam menulis cerita. Berbeda
dengan puisi yang memang menembus batas rasionalitas. Ketidaklogisan itu muncul
pada cerpen berjudul Kucing Masuk Koran. Koran diceritakan menunjuk orang yang
menulisnya. Penunjukan yang dilakukan oleh sebuah koran itu terasa ganjil.
Dengan apa koran menunjuk?
Eka Kurniawan
bercerita tentang batu dalam cerpennya. Ia sama sekali tidak menggerakkan batu
itu karena dirinya sendiri. Sebab, kita tahu batu itu benda mati. Pergerakan
batu yang dapat mengubah cerita itu karena tokoh lain, yakni manusia-manusia
yang terlibat di dalamnya. Hal serupa juga pernah saya lihat pada cerpen yang
ditulis oleh seorang anak madrasah di Cirebon tentang payung. Benda pelindung
dari panas dan hujan itu menjadi tokoh utama dari cerpennya. Tetapi, ia hanya
memainkan perasaannya saja, sedangkan gerakannya tidak dibuat-buat. Hilmi tidak
memainkannya demikian sehingga terkesan janggal.
Keliaran imajinasi
itu juga ternyata ia letakkan di akhir cerpennya. Artinya, penulis seperti
dengan sengaja membiarkan pembaca berimajinasi bagaimana mengakhiri cerita yang
sudah ditulis oleh pengarang. Atau menggantungkan cerita begitu saja. Seakan
belum selesai. Misal, dalam cerita Daenuri Ketemu Dinawari, pengarang
membiarkan tokoh Daenuri bingung dengan kepulangannya dan selesai di situ
begitu saja. Namun, pengarang juga membuat pembaca berpikir ulang untuk kembali
ke kronologi cerita sebelumnya, sebagaimana dalam cerpen Sebungkus Es Krim di
Musim Dingin, “Sekarang siapa yang aneh?”
Karena hal itu, alur
cerita-cerita ini sangat kuat. Keterhubungan cerita dalam cerpen tersebut cukup
baik dan tidak terlalu dibuat-buat, baik dengan alur maju dan campuran yang ia
gunakan. Hal ini diperkuat dengan humor dan pesannya yang mengena ke pembaca
dengan dialognya. Kekuatan dialognya itu terdapat dalam humor dan imajinasinya.
Cerpen santri Tebuireng ini, asik mengingat pembaca bisa tergelitik sekaligus
terdidik. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar