Kekerasan Seksual dalam
Fiqih (5): Penghilangan Keperawanan dengan Sex Toys?
Ada banyak motif kasus kekerasan seksual.
Setidaknya ada kurang lebih 14 motif yang berhasil didata, yaitu: (1)
perkosaan, (2) pelecehan seksual, (3) eksploitasi seksual, (4) penyiksaan
seksual, (5) perbudakan seksual, (6) intimidasi, ancaman dan percobaan
perkosaan, (7) prostitusi paksa, (8) pemaksaan kehamilan, (9) pemaksaan aborsi,
(10) pemaksaan perkawinan, (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,
(12) kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan diskriminasi perempuan lewat
aturan, (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuanasa seksual dan (14)
praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan.
Dari kesekian motif kekerasan itu yang
cenderung banyak mendapatkan penekanan dalam kajian fiqih masih sebatas
kategori (1) perkosaan, (2) prostitusi, (3) pemaksaan perkawinan, dan (4)
perselingkuhan (perzinaan).
Para ulama masih belum banyak masuk dalam
kajian tentang kontrol seksual, pemaksaan kehamilan, perbudakan seksual, dan
lain-lain. Termasuk yang belum banyak disampaikan secara umum adalah konsepsi
penghilangan keperawanan dan eksploitasi seksual serta bagaimana fiqih menjawab
permasalahan ini. Tidak terhitung banyaknya teks fiqih ulama terdahulu yang
mengkaji masalah sebagaimana disebut terakhir, namun ajaran itu masih berkutat pada
teks akademis.
Pada tulisan kali ini penulis mencoba
membahas mengenai aspek fiqih kasus penghilangan keperawanan sebagai bagian
dari tema kekerasan seksual. Sebagaimana banyak diketahui lewat media massa
bahwa kasus ini merupakan paling banyak terjadi. Tidak hanya dalam ranah
privat, akan tetapi di ruang publik pun tak lepas dari kasus yang sama. Fokus
kajian ini pada aspek kehilangan keperawanan akibat pelecehan seksual dalam
ranah privasi, yaitu oleh suami.
Maksud dari kehilangan keperawanan dalam tulisan
ini adalah kehilangan yang bukan disebabkan oleh tindakan pemerkosaan yang
cenderung bernuansa akibat terjadinya hubungan persenggamaan atas dasar
pemaksaan atau intimidasi. Yang dimaksudkan dengan penghilangan keperawanan
dalam tulisan ini adalah akibat memasukkan suatu alat selain alat vital ke
organ kelamin korban pelecehan. Masuk dalam kategori alat di sini adalah jari, sex
toys atau benda lain yang bisa berakibat pada hilangnya keperawanan korban.
Adakah teks fiqih membicarakan hal ini? Berikut penjelasannya!
Para ulama dari kalangan Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat bahwasanya qaul yang paling sahih (ashah)
untuk kasus penghilangan keperawanan istri oleh suami dengan jalan selain
senggama, adalah tidak apa-apa (tidak ada denda maupun ta’zir).
ووجهه
عند الحنفيّة: أنّه لا فرق بين آلةٍ وآلةٍ في هذه الإزالة. وورد في أحكام
الصّغار في الجنايات: أنّ الزّوج لو أزال عذرتها بالأصبع لا يضمن، ويعزّر،
ومقتضاه أنّه مكروه فقط. وقال الحنابلة: إنّه أتلف ما يستحقّ إتلافه بالعقد،
فلا يضمن بغيره. وأمّا الشّافعيّة فقالوا: إنّ الإزالة من استحقاق الزّوج.
والقول الثّاني لهم: إن أزال بغير ذكرٍ فأرش. وقال المالكيّة: إذا أزال
الزّوج بكارة زوجته بأصبعه تعمّداً، يلزمه حكومة عدلٍ (أرش) يقدّره القاضي،
وإزالة البكارة بالأصبع حرام، ويؤدّب الزّوج عليه
Artinya: “Dasar dari pendapat ini menurut
kalangan Hanafiyah adalah: Sesungguhnya tidak ada beda antara menggunakan alat
yang ini (alat vital) dengan alat yang itu (sex toys dan sejenisnya)
dalam urusan menghilangkan keperawanan istri. Namun di dalam bab Al-Shighar
pasal jinayat disebutkan bahwa suami yang menghilangkan keperawanan istrinya
dengan jari, baginya tidak ada pertanggungan. Ia hanya berhak dita’zir
sebab hukum asal penghilangan keperawanan selain perantara jima’ adalah
makruh saja. Kalangan Hanabilah berpendapat: Suami itu telah merusak sendiri
apa yang telah menjadi haknya untuk dirusak dengan akad, oleh karenanya tidak
ada tanggungan baginya. Kalangan Syafiiyah berpendapat: menghilangkan
keperawanan adalah hak suami. Namun, qaul kedua dari setiap mazhab ini menyebut
bahwa: Sesungguhnya menghilangkan keperawanan tanpa dzakar wajib berlaku
arsyun (tebusan). Pendapat senada dengan qaul tsani dari kalangan
Malikiyah yang menyebut bahwa apabila seorang suami menghilangkan keperawanan
istri dengan menggunakan jari secara sengaja, maka baginya wajib menerima hukum
atas nama keadilan (ganti rugi/tebusan) yang ditentukan oleh hakim.
Menghilangkan keperawanan dengan jari adalah haram sehingga suami yang
melakukannya wajib dita’zir karenanya” [Departemen Kepementerian Wakaf dan
Urusan Keislaman, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wazâratu al-Auqâf wa
al-Syuûn al-Islâmiyah, tt.: Juz 8, halaman: 181]
Mengingat ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama terkait soal penghilangan keperawanan istri dengan alat seks, jari, dan
sejenisnya, maka pendapat yang mana adalah ditentukan menurut sisi kemaslahatan
yang dipandang perlu. Bila keputusan yang lebih maslahat adalah memakai qaul
tsani (pendapat kedua selain al-ashah), maka berlaku hukum sebagai
berikut:
Pertama, apabila tindakan menghilangkan
keperawanan tersebut tanpa disertai persetujuan istri sehingga timbul kekerasan
yang dilakukan oleh suami terhadap istri dan istri tidak terima terhadap hal
ini, maka ia bisa mengajukan permohonan ganti rugi/denda (arsyun) kepada
suaminya yang besarannya ditetapkan oleh hakim. Kedua, bentuk ta’zir (bila
dilakukan oleh suami) yang paling maksimal bagi suami yang melakukan tindakan
di atas adalah penjara atau yang setimbang dengan maksud membuatnya jera (ta’dib)
dan hal ini kadarnya ditentukan oleh hakim.
Berapa besar tebusan yang harus dibayarkan
oleh suami akibat tindakan penghilangan keperawanan dengan alat seks tersebut?
Di dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz
8 halaman 181-182, disebutkan beberapa ketentuan dari para ulama empat mazhab
antara lain sebagai berikut:
يرى
الحنفيّة أنّ الزّوج إذا أزال بكارة زوجته بغير جماعٍ، ثمّ طلّقها قبل المسيس، وجب
لها جميع مهرها، إن كان مسمًّى ولم يقبض، وباقيه إن قبض بعضه، لأنّ إزالة البكارة
بأصبعٍ ونحوه لا يكون إلاّ في خلوةٍ. وقال المالكيّة: لو فعل الزّوج ما ذكر
لزمه أرش البكارة الّتي أزالها بأصبعه، مع نصف صداقها. وقال الشّافعيّة
والحنابلة: يحكم لها بنصف صداقها، لمفهوم قوله تعالى: {وإن طلّقتموهنّ من
قبل أن تمسّوهنّ وقد فرضتم لهنّ فريضةً فنصف ما فرضتم} إذ المراد بالمسّ:
الجماع، ولا يستقرّ المهر باستمتاعٍ وإزالة بكارةٍ بلا آلةٍ، فإن طلّقها وجب لها
الشّطر دون أرش البكارة، وعلّل الحنابلة زيادةً على الآية بأنّ هذه مطلّقة قبل
المسيس والخلوة، فلم يكن لها سوى نصف الصّداق المسمّى، ولأنّه أتلف ما يستحقّ
إتلافه بالعقد، فلا يضمنه بغيره
Artinya: “Ulama hanafiyah berpendapat bahwa
apabila suami telah menghilangkan keperawanan istrinya tanpa terjadinya jima,
kemudian ia mentalaqnya sebelum menjimaknya, maka hak bagi istri adalah seluruh
mahar yang telah diberikan oleh suaminya, meskipun apabila mahar itu masih
hanya sekedar disebutkan saja sehingga belum diserahkan sebelumnya (kepada
istri) atau masih diserahkan sebagiannya sehingga ada sisa yang belum dibayar
(maka ia berhak atas sisanya itu). Alasan dari hal ini adalah kasus
penghilangan keperawanan dengan jari atau alat sejenisnya tersebut dilakukan
dalam kondisi khalwah (bersepi/privasi).
Kalangan Malikiyah berpendapat: jika suami
melakukan sebagaimana hal itu, maka wajib baginya tebusan keperawanan akibat
jari ditambah dengan separuh dari mahar yang diberikan. Kalangan Syafiiyah dan
Hanabilah berpendapat: Diputus bahwasanya hak istri adalah menerima separuh
dari maharnya berdasarkan mafhum dari firman Allah SWT: وإن طلّقتموهنّ من قبل أن تمسّوهنّ وقد فرضتم لهنّ فريضةً فنصف ما فرضتم (apabila kamu menceraikannya sebelum sempat
menyentuhnya, maka bagi istrimu hak bagian yang diwajibkan atas kalian, yaitu
separuh dari apa yang telah kalian berikan sebagai mahar). Mafhum dari diksi
“menyentuh” adalah menjimak. Jadi, mahar tidak wajib dibayarkan hanya sebab istimta’
atau penghilangan keperawanan dengan alat, sehingga apabila si suami
menceraikan istri yang dalam kondisi kehilangan keperawanan akibat jari suami
tersebut, bagi suami hanya wajib membayar separuh mahar dan bukan tebusan
penghilangan keperawanan.
Kalangan Hanabilah menambahkan argumentsinya
bahwa penghilangan keperawanan ini adalah berlaku mutlak sebelum terjadinya
persenggamaan (jima’) dan bersepi-sepi (khalwah) sehingga tiada hak lain yang
bisa diberikan kepada istri yang tertalak selain separuh mahar yang dijanjikan.
Lebih dari itu, suami memang berhak merusak atas apa yang menjadi haknya untuk
merusak sebab akad, sehingga baginya tidak ada hak pertanggungan lain selain
separuh mahar tersebut.” [Departemen Kepementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, al-Mausû’ah
al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wazâratu al-Auqâf wa al-Syuûn al-Islâmiyah, tt.: juz
8, halaman 181-182]
Kesimpulan yang bisa diambil dari keterangan
ini adalah bahwa ulama telah menetapkan status minimal besaran tebusan sebagai
berikut:
1. Menurut kalangan Malikiyah: suami wajib
membayar separuh mahar ditambah dengan tebusan penghilangan keperawanan akibat sex
toys yang dipergunakannya
2. Kalangan Hanafiyah, Syafiiyah dan
Hanabilah hanya mewajibkan separuh mahar
Karena ada kemungkinan bahwa suami juga
melakukan pemaksaan kekerasan seksual kepada istrinya menggunakan alat bantu
seks yang tidak dikehendaki oleh istri sehingga berujung penderitaan lahir
batin bagi istri, maka langkah yang lebih maslahat dalam hal ini adalah
menentukan pemeringkatan sanksi kepada suami akibat perbuatan yang dilakukannya
sebagaimana dimaksud dalam kasus di atas adalah wajib membayar tebusan (arsyun).
Tindakan ini bisa dikelompokkan ke dalam pasal jariimah, yaitu melukai
korban dengan suatu benda/alat sehingga menyebabkan luka fisik berupa
keperawanan yang harusnya diberikan dengan jalan yang halal lagi baik. Allah
SWT berfirman:
وعاشروهن
بالمعروف
Artinya: “Pergaulilah istri kalian dengan
jalan yang ma’ruf.”
Wallâhu a’lam bish shawâb
[]
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan
Jufri Putri, P. Bawean, Jatim dan Ketua Tim Perumus Bahtsul Masail Qanuniyah Munas
NU 2019 yang salah satunya menyoroti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Tidak ada komentar:
Posting Komentar