Senin, 08 April 2019

(Buku of the Day) Jelajah Hidup Tanpa Batas: Jangan Pernah Berhenti Berharap


Kisah Inspiratif Jelajah Tanpa Batas


Judul buku        : Jelajah Hidup Tanpa Batas: Jangan Pernah Berhenti Berharap
Penulis             : Budy Sugandi
Penerbit            : PT. Elex Media Komputindo
Cetakan            : I, 2018
Tebal                : xvii + 174 halaman
ISBN                 : 978-602047845-6
Peresensi          : Ali Rif'an, Alumnus Pascasarjana UI. 

“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.” (Pramoedya Ananta Toer).

Itulah pesan tersirat dalam buku berjudul Jelajah Hidup Tanpa Batas: Jangan Pernah Berhenti Berharap anggitan Budy Sugandi. Buku ini menarik untuk dibaca karena dua alasan. Pertama, buku ini bukan biografi biasa. Namun sebuah catatan perjalanan yang menginspirasi dan menggugah motivasi pembacanya untuk selalu maju dan tanpa lelah mengejar cita-cita.

Dalam bab berjudul  “Beasiswa Master Pemerintah Turki” misalnya Budy Sugandi menceritakan pengalamannya berjuang menembus beasiswa Turki tanpa kenal lelah. Hanya berbekal restu orang tua, usai lulus dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2010, ia mencari beasiswa ke luar negeri.

Bagi Budy, doa orang tua ibarat air yang menyirami pohon cita-cita setiap manusia. Namun demikian, menumbuhkan pohon cita-cita tidak cukup hanya dengan doa, harus didukung oleh ketekunan dan usaha keras pantang menyerah (hlm 71). Singkat cerita, lewat perjuangan dan ketekunan, pada 13 Oktober 2011, kabar baik akhirnya datang. Budy Sugandi menerima beasiswa dari Pemerintah Turki. Sujud syukur pun ia panjatkan.

Kedua, buku ini tidak sekadar cita-cita perjalanan, namun sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid, dalam testimoninya, buku ini juga berisi prinsip, cita-cita intelektual, dan nilai-nilai universal. 

Sebagai contoh, dalam bab “Mengidolakan Habibie Sejak Kecil”, Budy Sugandi mengisahkan perjalanannya di Eropa, saat bertemu orang-orang “pelangi”. Suatu saat, ia hendak menonton pameran IT tahunan tingkat dunia (biasa disebut CeBIT) di Hannover, yakni Ibu kota negara bagian Niedersachen (Jerman adalah negara federasi yang terdiri dari 16 negara bagian). Namun tiket yang dibeli rupanya sudah kedaluwarsa karena berlaku sehari, free one day. 

Di tengah kegalauan itulah, tiba-tiba seorang bule bernama Alessandro menghampirinya dan meminta bantuan dengan meminjam handphone (HP) karena ia kehabisan pulsa. Budy pun meminjaminya. Singkat cerita, keduanya kemudian terlibat perkenalan dan obroran santai. Sampailah pada percakapan tentang cerita Budy yang tidak bisa masuk CeBIT lantaran tiketnya kedaluwarsa. Tanpa pikir panjang, sang bule pun memberikan tiket kepada Budy (hlm 16-20).  

Kisah di atas memberikan pelajaran bahwa nilai-nilai universal dalam pergaulan sesama umat manusia harus didasarkan pada prinsip kemanusiaan. Artinya, apapun latar belakangnya, jika seseorang membutuhkan bantuan kita, sebagai sesama manusia kita harus menolongnya. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), ada tiga jenis persaudaraan, yakni persaudaraan umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan umat manusia (ukhuwah basyariyah).

Buku ini tidak hanya berkisah tentang nilai-nilai universal yang patut diteladani. Lebih dari itu, buku ini memiliki energi positif yang mendorong generasi muda untuk terus bermimpi. Kata novelis Vita Agustina (2018), cita-cita tidak hanya berhenti di batas desa, pulau atau negara. Keberanian untuk melangkah, melaju, melihat dunia lebih luas sangat menginspirasi segenap pecinta ilmu untuk terus maju, berkembang dan kembali mengabdi untuk Indonesia. Kata Imam Syafii, “Orang yang punya intelek dan adab tidak tinggal diam di kampung halaman. Berhijrahlah dan menetaplah di negeri asing!”

Dalam nalar puitik Imam Syafii, mengutip endorsement Zacky Khoirul Umam (PhD Candidate in Islamic Studies and History, BGSMCS Freie Universitat Berlin), di negera asing kita bisa memetik buah manis dari jerih payah, seperti anak panah yang melesat, dinamika karena revolusi bumi mengelilingi matahari, disepuh seperti emas ibriz, mengharumkan diri dan bangsa seperti kayu gaharu. Begitulah hukum alam perjuangan, manusia tak pernah bisa berdiam untuk bergerak, terus menuju pembaruan, menuju “insan kamil”, sebuah metafor dari tradisi Islam.

Karena itu, bagi pelajar ilmu dan pembelajar kehidupan, penting menggali pengalaman dari mereka yang sudah menjelajah tanpa batas, seperti yang terdapat dalam pesan buku Budy Sugandi ini. Budy telah melakukan penjelajahan intelektual tanpa batas, mulai dari Eropa, Turki, Australia, dan lain sebagainya. 

Tak pelak, membaca buku ini mengingatkan saya pada novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata atau novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Kedua karya tersebut mengisahkan bagaimana usaha keras para tokoh utamanya untuk bisa diterima kuliah di luar negeri. Tak hanya itu, buku saudara Budy Sugandi ini juga mengingatkan saya pada karya Fachmy Casofa berjudul Habibie: Tak Boleh Lelah dan Kalah (2014). “Hidup adalah perjuangan. Jangan mudah lelah dan kalah!” begitulah kalimat tersirat di dalamnya. 

Akhirnya, seperti dikatakan Yanuardi Syukur (Alumnus Australia-Indonesia Muslim Exchange Program) dalam endorsement-nya, kehadiran buku ini sangat penting di tengah banyaknya pengalaman para penjelajah yang hanya berhenti di memori atau di blog tapi tidak dibukukan. Membaca buku ini akan memperluas cakrawala pengetahuan, kultur, dan diversitas manusia  di dunia yang sangat luas ini. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar