Kisah Inspiratif
Jelajah Tanpa Batas
Judul
buku : Jelajah Hidup Tanpa Batas:
Jangan Pernah Berhenti Berharap
Penulis
: Budy Sugandi
Penerbit
: PT. Elex Media Komputindo
Cetakan
: I, 2018
Tebal
: xvii + 174 halaman
ISBN
: 978-602047845-6
Peresensi
: Ali Rif'an, Alumnus
Pascasarjana UI.
“Kita semua harus
menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang
tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin
kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan
baru, maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus
umat manusia.” (Pramoedya Ananta Toer).
Itulah pesan tersirat
dalam buku berjudul Jelajah Hidup Tanpa Batas: Jangan Pernah Berhenti Berharap
anggitan Budy Sugandi. Buku ini menarik untuk dibaca karena dua alasan.
Pertama, buku ini bukan biografi biasa. Namun sebuah catatan perjalanan yang
menginspirasi dan menggugah motivasi pembacanya untuk selalu maju dan tanpa
lelah mengejar cita-cita.
Dalam bab
berjudul “Beasiswa Master Pemerintah Turki” misalnya Budy Sugandi
menceritakan pengalamannya berjuang menembus beasiswa Turki tanpa kenal lelah.
Hanya berbekal restu orang tua, usai lulus dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
tahun 2010, ia mencari beasiswa ke luar negeri.
Bagi Budy, doa orang
tua ibarat air yang menyirami pohon cita-cita setiap manusia. Namun demikian,
menumbuhkan pohon cita-cita tidak cukup hanya dengan doa, harus didukung oleh
ketekunan dan usaha keras pantang menyerah (hlm 71). Singkat cerita, lewat
perjuangan dan ketekunan, pada 13 Oktober 2011, kabar baik akhirnya datang.
Budy Sugandi menerima beasiswa dari Pemerintah Turki. Sujud syukur pun ia
panjatkan.
Kedua, buku ini tidak
sekadar cita-cita perjalanan, namun sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Wahid
Foundation, Yenny Zannuba Wahid, dalam testimoninya, buku ini juga berisi
prinsip, cita-cita intelektual, dan nilai-nilai universal.
Sebagai contoh, dalam
bab “Mengidolakan Habibie Sejak Kecil”, Budy Sugandi mengisahkan perjalanannya
di Eropa, saat bertemu orang-orang “pelangi”. Suatu saat, ia hendak menonton
pameran IT tahunan tingkat dunia (biasa disebut CeBIT) di Hannover, yakni Ibu
kota negara bagian Niedersachen (Jerman adalah negara federasi yang terdiri
dari 16 negara bagian). Namun tiket yang dibeli rupanya sudah kedaluwarsa
karena berlaku sehari, free one day.
Di tengah kegalauan
itulah, tiba-tiba seorang bule bernama Alessandro menghampirinya dan meminta
bantuan dengan meminjam handphone (HP) karena ia kehabisan pulsa. Budy pun
meminjaminya. Singkat cerita, keduanya kemudian terlibat perkenalan dan obroran
santai. Sampailah pada percakapan tentang cerita Budy yang tidak bisa masuk
CeBIT lantaran tiketnya kedaluwarsa. Tanpa pikir panjang, sang bule pun
memberikan tiket kepada Budy (hlm 16-20).
Kisah di atas
memberikan pelajaran bahwa nilai-nilai universal dalam pergaulan sesama umat
manusia harus didasarkan pada prinsip kemanusiaan. Artinya, apapun latar
belakangnya, jika seseorang membutuhkan bantuan kita, sebagai sesama manusia
kita harus menolongnya. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), ada tiga jenis
persaudaraan, yakni persaudaraan umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan
bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan umat manusia (ukhuwah
basyariyah).
Buku ini tidak hanya
berkisah tentang nilai-nilai universal yang patut diteladani. Lebih dari itu,
buku ini memiliki energi positif yang mendorong generasi muda untuk terus
bermimpi. Kata novelis Vita Agustina (2018), cita-cita tidak hanya berhenti di
batas desa, pulau atau negara. Keberanian untuk melangkah, melaju, melihat
dunia lebih luas sangat menginspirasi segenap pecinta ilmu untuk terus maju,
berkembang dan kembali mengabdi untuk Indonesia. Kata Imam Syafii, “Orang yang
punya intelek dan adab tidak tinggal diam di kampung halaman. Berhijrahlah dan
menetaplah di negeri asing!”
Dalam nalar puitik
Imam Syafii, mengutip endorsement Zacky Khoirul Umam (PhD Candidate in Islamic
Studies and History, BGSMCS Freie Universitat Berlin), di negera asing kita
bisa memetik buah manis dari jerih payah, seperti anak panah yang melesat,
dinamika karena revolusi bumi mengelilingi matahari, disepuh seperti emas
ibriz, mengharumkan diri dan bangsa seperti kayu gaharu. Begitulah hukum alam
perjuangan, manusia tak pernah bisa berdiam untuk bergerak, terus menuju
pembaruan, menuju “insan kamil”, sebuah metafor dari tradisi Islam.
Karena itu, bagi
pelajar ilmu dan pembelajar kehidupan, penting menggali pengalaman dari mereka
yang sudah menjelajah tanpa batas, seperti yang terdapat dalam pesan buku Budy
Sugandi ini. Budy telah melakukan penjelajahan intelektual tanpa batas, mulai
dari Eropa, Turki, Australia, dan lain sebagainya.
Tak pelak, membaca
buku ini mengingatkan saya pada novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata atau
novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Kedua karya tersebut mengisahkan
bagaimana usaha keras para tokoh utamanya untuk bisa diterima kuliah di luar
negeri. Tak hanya itu, buku saudara Budy Sugandi ini juga mengingatkan saya
pada karya Fachmy Casofa berjudul Habibie: Tak Boleh Lelah dan Kalah (2014).
“Hidup adalah perjuangan. Jangan mudah lelah dan kalah!” begitulah kalimat
tersirat di dalamnya.
Akhirnya, seperti
dikatakan Yanuardi Syukur (Alumnus Australia-Indonesia Muslim Exchange Program)
dalam endorsement-nya, kehadiran buku ini sangat penting di tengah banyaknya
pengalaman para penjelajah yang hanya berhenti di memori atau di blog tapi
tidak dibukukan. Membaca buku ini akan memperluas cakrawala pengetahuan,
kultur, dan diversitas manusia di dunia yang sangat luas ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar