Kamis, 11 April 2019

(Sirah of the Day) Ummu Aiman, Ibu Kedua Rasulullah


Ummu Aiman, Ibu Kedua Rasulullah

Nama asli Ummu Aiman adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amr bin Hashan bin Malik bin Salamah bin Amr bin Nu’man. Ia seorang kulit hitam dan berasal dari negeri Habasyah (sekarang Ethiopia). Ia juga bukan orang terpandang dan tidak memiliki keluarga yang terkemuka. Namun demikian, Rasulullah sangat menghormati Ummu Aiman karena dedikasnya. Bahkan, beliau menganggap Ummu Aiman sebagai ibu keduanya, setelah Aminah binti Wahab.

“Ummu Aiman adalah ibu setelah ibuku (Aminah binti Wahab),” kata Rasulullah, sebagaimana tertera dalam buku Bilik-bilik Cinta Muhammad.

Ummu Aiman adalah ‘budak peninggalan’ ayah Rasulullah, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ia memang dipersiapkan untuk melayani Aminah binti Wahab yang saat itu sedang mengandung bayi Rasulullah. Semenjak Rasulullah lahir, Ummu Aiman menjadi pelayan utama. Ia terus menjaga dan tinggal bersama Rasulullah, baik ketika tinggal di rumah Abdul Muthalib, di rumah Abu Thalib, hingga di rumah Khadijah. 

Ummu Aiman adalah orang yang menemani Rasulullah balik ke Mekkah setelah ditinggal wafat ibunya, Aminah. Ceritanya, usai tinggal di Madinah beberapa waktu untuk berziarah ke makam Abdullah dan mengunjungi keluarga di sana, Aminah, Rasulullah, dan Ummu Aiman balik ke Mekkah. Di tengah perjalanan ketika sampai kampung Abwa', Aminah tiba-tiba sakit. Kemudian dia meninggal dan dikuburkan di tempat itu juga. Rasulullah yang saat itu menangis sesenggukan diajak Ummu Aiman untuk pulang ke Mekkah. Seperti yang diceritakan Muhammad Husain Haikal dalam bukunya Sejarah Hidup Muhammad.  

Ummu Aiman juga termasuk generasi awal yang masuk Islam. Ia ikut hijrah ke Madinah meski tanpa bekal dan dengan berjalan kali. Tidak hanya itu, Ummu Aiman juga tercatat ikut berperang bersama Rasulullah seperti perang Uhud dan Khaibar. Ia bertugas sebagai pembagi air minum dan perawat tentara umat Islam yang terluka.  

Ummu Aiman sangat menyayangi Rasulullah. Ia mendedikasikan hidupnya untuk melayani dan mempersiapkan segala kebutuhan Rasulullah. Oleh karenanya, tidak heran jika Rasulullah juga sangat takzim kepada Ummu Aiman. Rasulullah juga tidak segan-segan menganggap Ummu Aiman sebagai bagian dari keluarganya sendiri.

Atas dedikasinya melayani sang nabi terakhir dan ikut serta dalam memperjuangkan tegaknya bendera Islam, maka Rasulullah menyebut Ummu Aiman dengan wanita ahli surga.

“Siapa yang senang kawin dengan wanita ahli surga, kawinlah dengan Ummu Aiman,” kata Rasulullah. 

Ummu Aiman menikah dua kali. Pertama dengan Ubaid bin Zaid. Rasulullah dan Khadijah adalah orang yang menganjurkan terselenggaranya pernikahan dua insan ini. Dari keduanya, lahirlah Aiman sehingga Barakah lebih dikenal dengan Ummu Aiman. Namun, Ubaid wafat tidak lama setelah anaknya tersebut lahir.

Kedua, dengan Zaid bin Haritsah, seorang budak Rasulullah yang sudah dianggap anak sendiri. Ummu Aiman dan Zaid dikaruniai seorang anak, yaitu Usamah. Perlu diketahui bahwa Usamah menjadi panglima termuda dalam sejarah Islam. 

Bak tidak ada sekat

Hubungan Rasulullah dan Ummu Aiman begitu dekat, bak tidak ada sekat diantara keduanya. Misalnya, Rasulullah pernah bercanda dengan Ummu Aiman. Diceritakan bahwa suatu ketika Ummu Aiman minta diajak Rasulullah ke suatu tempat. Mendengar hal itu, Rasulullah tidak keberatan dan akan mengajak Ummu Aiman dengan menaiki anak unta. Ummu Aiman protes dan menilai kalau anak unta tidak akan kuta membawanya. Namun, Rasulullah tetap keukeuh akan membawa Ummu Aiman dengan anak unta. Yang dimaksud Rasulullah adalah bahwa setiap unta adalah anak unta.

Lagi, suatu waktu Ummu Aiman melihat Rasulullah yang sedang minum. Tiba-tiba saja Ummu Aiman berkata kepada Rasulullah kalau dirinya juga ingin minum. Mendengar hal seperti itu, Aisyah yang ada di samping Rasulullah langsung menegur Ummu Aiman dan menganggapnya tidak sopan. Namun apa yang diperbuat Rasulullah? Beliau langsung memberi Ummu Aiman air minum. 

Dan masih banyak lagi cerita tentang kedekatan Rasulullah dan Ummu Aiman. Seolah-olah keduanya tidak terpisah jarak ‘majikan dan budak.’ Hubungan keduanya bukan berarti tidak ada sekat sama sekali. Akan tetapi, keduanya menjalankan perannya masing-masing dengan cara saling menghormati dan mengasihi. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar