Kekerasan Seksual dalam
Fiqih (6): Wali Mujbir dan Pemaksaan Perkawinan
Berkaitan dengan hasil identifikasi 15 Jenis
kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Komite Nasional Perempuan
(Komnas Perempuan), ada dua poin utama yang menjadi sorotan oleh musyawirin
pada forum Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2019 di Kota Banjar beberapa waktu
lalu, yaitu elemen Pemaksaan Perkawinan dan Pemaksaan Kehamilan. Kita fokus
terlebih dahulu pada komponen kekerasan berupa pemaksaan perkawinan.
Poin kekerasan pemaksaan perkawinan ini
sebenarnya dilatarbelakangi akibat adanya kasus orang tua memaksa anak
perempuannya menikah dengan orang yang tidak dikehendakinya. Motif pemaksaan
ini diakibatkan orang tua memiliki tanggungan utang yang tidak mampu dilunasi,
sehingga sebagai tebusannya, si anak dipaksa menikah dengan pihak yang memberi
utang tersebut. Persis seperti kisah dalam novel Siti Nurbaya.
Sebenarnya hal ini bukan satu-satunya yang
menjadi latar belakang sebab diadopsinya konsep pemaksaan perkawinan sebagai
salah satu bentuk kekerasan seksual, ada banyak faktor latar belakang yang lain
yang menjadi faktor penyebab. Itulah sebabnya, para ulama yang terkumpul dalam
forum pembahasan tidak menolak dengan diadopsinya klausul ini sebagai bagian
kekerasan seksual. Namun, tentu saja harus disertai dengan banyak catatan,
mengingat konsep fiqih kita juga mengadopsi bolehnya hak pemaksaan tersebut.
Hak itu dimiliki oleh wali mujbir, yaitu wali yang memiliki hak paksa
menikahkan. Pemegang hak ini adalah ayah (أب)
dan ayahnya ayah (kakek dari jalur ayah).
Bagaimana kita mendudukkan konsep fiqih ini
dalam aturan hukum positif semacam Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual itu? Inilah yang merupakan fokus tulisan ini.
Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah negara
yang berdasar atas Pancasila yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga
aturan yang berlaku dalam agama warga negaranya wajib untuk diperhatikan dalam
setiap kebijakannya. Al-Qur’an—sebagai pedoman hidup umat Islam – telah
menetapkan aturan soal pernikahan dalam banyak ayatnya. Terdapat kurang lebih
104 ayat, 23 kali disebut dengan kata nikah, dan 80 kali disebut dalam konsep
zauj. Jika diringkas, dari 104 ayat ini, ada 5 hal yang menjadi topik
pembahasannya, yang kemudian dikenal sebagai maqashid (tujuan utama) dari
pernikahan, yaitu: (1) berbicara soal monogami dan poligami, (2) upaya
mewujudkan mawaddah wa rahmah, (3) prinsip saling melengkapi dan
melindungi (libâs/pakaian), (4) prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (bergaul
dalam lingkup rumah tangga secara baik), dan (5) prinsip memilih jodoh. Khusus
untuk memilih jodoh ini, diuraikan dalam hadits.
Kaitannya dengan memilih jodoh yang menjadi
salah satu prinsip perkawinan, terkadang terjadi benturan antara pelaku sendiri
dengan hak ijbâr (“memaksa”) oleh wali. Karena faktor kemungkinan
benturan ini, maka hak ijbâr oleh wali terhadap anak perempuan tidak
bisa dikategorikan sebagai hak mutlak (bisa dalam segala kondisi), melainkan ia
bersifat muqayyad (terbatas oleh kondisi). Namun, karena konsep fiqih
juga bersifat menguatkan terhadap konsep ijbâr ini, maka untuk konsep
aplikasi umumnya dalam aturan hukum positif, mutlak harus memperhatikan konsep
mafsadah dan maslahahnya mengingat adanya kemungkinan penyalahgunaan wewenang
itu.
Penyalahgunaan wewenang ijbâr oleh
wali dapat berakibat penderitaan lahir batin kepada anak perempuan yang
semestinya dilindungi. Dalam konteks nash, tindakan penyalahgunaan wewenang ini
disebut dengan istilah ibtagha dan âdûn yang memiliki konotasi
tindakan melampaui batas. Ijbâr yang memuat potensi merugikan bagi anak
perempuan yang menjadi korban kawin paksa ini masuk dalam kategori ikrâh.
Sebagaimana telah disebutkan di dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa ikrâh
(memaksa) merupakan unsur utama dari kekerasan seksual sehingga bersifat dhulm
(aniaya). Inilah yang patut dihindari.
Lantas bagaimana seharusnya hal ini disikapi?
Maka, dalam hal ini perlu memperhatikan konsep ijbâr itu sendiri menurut
fuqahâ. Beberapa catatan yang berhasil dikumpulkan adalah bahwa konsep ijbâr
oleh wali boleh dilakukan dengan syarat:
1. Tidak ada perselisihan yang nyata (‘adâwah)
antara anak dengan wali dan antara anak dengan calon suami
2. Ijbar boleh dilakukan dengan ketentuan
calon pendamping si anak harus sekufu.
3. Minimal mahar yang diberikan dalam kasus ijbâr
ini adalah menggunakan mahar mitsil
4. Ijbâr tidak berpotensi pada merugikan atau
membahayakan/menyengsarakan si anak
Syarat ketiadaan ‘adâwah (permusuhan)
sebagaimana diungkapkan di atas adalah berangkat dari pemahaman terhadap teks
hadits berikut:
الثيب
أحق بنفسها من وليها، والبكر تُستأذن في نفسها ، وإذنها صماتها (رواه الجماعة إلا
البخاري) ـ
Artinya: “Perempuan janda lebih berhak atas
dirinya dibanding walinya. Sementara anak perawan berhak dimintai izin atas
dirinya. Adapun (bagian) dari izinnya adalah diamnya.” (Hadits Riwayat Jama’ah
kecuali Imam Bukhari)
Di dalam hadits ini, khusus untuk anak
perempuan yang masih perawan, ada hak untuk dimintai izin. Terkait dengan
meminta izin ke anak perawan, ada catatan dari para fuqaha’ terdahulu, yaitu
bahwa untuk anak perempuan, konsep izin adalah bentuk penerapan konsep
istihsân. Dengan kata lain bahwa, hak sebenarnya untuk ijbâr masih
mutlak berada di tangan ayah dan kakek, sementara itu, bentuk permintaan izin,
sifatnya hanyalah merupakan kesunahan. Oleh karena itu, sebagai upaya
perlindungan terhadap hak anak, maka diterapkan pendapat lain yang sekira lebih
hati-hati dan lebih maslahat bagi perlindungan anak tersebut. Secara rinci,
pandangan ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Sebuah pendapat yang disampaikan oleh
kalangan Hanafiyah menyebutkan bahwa anak perempuan yang sudah dewasa tidak
boleh dipaksa, baik oleh ayah maupun oleh pihak lainnya. Kedudukan anak
perempuan yang sudah dewasa dalam pendapat ini disetarakan dengan tsayyibah (yaitu
janda yang sudah berpengalaman dalam rumah tangga). Bahkan dalam mazhab ini
disampaikan bahwa akad nikah tidak sah tanpa diawali dengan permintaan izin
terhadap anak perempuan tersebut. Pendapat ini merupakan “pendapat alternatif”,
yaitu apabila terjadi kasus perselisihan antara anak dan wali atau antara anak
dan calon mempelai pasangannya.
Sebagai qaul alternatif, maka kualitas dari
pendapat ini adalah lemah. Pendapat yang terkuat adalah dari mazhab Syafii
yaitu didasarkan pada mafhum dari qaul alternatif tersebut, yaitu bahwa hak ijbâr
wali tidak gugur, namun dengan syarat ketiadaan ‘adâwah (permusuhan) antara
anak dengan wali dan anak dengan calon pasangannya.
2. Sebagai wujud pengakuan terhadap hak ijbar,
maka disyaratkan pula sifat kufunya (status setara) calon mempelai pilihan
orang tua. Ukuran dari kufu ini adalah mampu bekerja dan memberi nafkah dan
tidak jauh berbeda dengan si anak dari sisi usia. Pendapat ini adalah pendapat
yang paling kuat. Bahkan, orang tua bisa menolak calon yang disodorkan oleh si
anak manakala dijumpai ketidak-kufuan antara kedua calon mempelai.
3. Bila ijbar dengan syarat ketiadaan
permusuhan dan syarat kufu terpenuhi, maka mahar yang merupakan “hak setiap
calon mempelai perempuan” dalam syariat, harus ditentukan minimal menurut mahar
mitsil setempat. Tidak diperkenankan bagi wali mujbir untuk menetapkan mahar di
bawah mahar mitsil. Hal ini sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap hak
yang dimiliki anak.
4. Bila ketiganya telah tercapai, maka syarat
berikutnya adalah tidak boleh memaksa anak menikah dengan orang yang
dikhawatirkan dapat membahayakan terhadap agama, jiwa, aqal dan kehormatannya.
Misalnya, memaksanya menikah dengan orang yang telah lanjut usia, tidak beriman,
tidak mampu bekerja, orang yang rusak akal dan jiwanya, dan yang
semisal.
Pendapat yang lebih lengkap dan merangkum
dari semua pendapat di atas dapat ditemukan pada kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzâhib
al-Arba’ati, sebagai berikut:
الشافعية
- قالوا : يختص الولي المجبر بتزويج الصغيرة والمجنون صغيرا
أو كبيرا والبكر البالغة العاقلة بدون استئذان ورضا بشروط سبعة : الشرط الأول : أن
لا يكون بينه وبينها عداوة ظاهرة أما إذا كانت العداوة غير ظاهرة فإنها لا تسقط
حقه. الشرط الثاني : أن لا يكون بينها وبين الزوج عداوة أبدا ظاهرة معروفة لأهل
الحي ولا باطنة فلو زوجها لمن يكرهها أو يريد بها السوء فإنه لا يصح. الشرط الثالث
: أن يكون الزوج كفأ. الشرط الرابع : أن يكون موسرا قادرا على الصداق. وهذه الشروط
الأربعة لا بد منها في صحة العقد فإن وقع مع فقد شرط منها كان باطلا إن لم تأذن به
الزوجة وترضى به. الشرط الخامس : أن يزوجها بمهر مثلها. الشرط السادس : أن يكون
المهر من نقد البلد. الشرط السابع : أن يكون حالا. وهذه الشروط الثلاثة شروط لجواز
مباشرة الولي للعقد فلا يجوز له أن يباشر العقد أصلا إلا إذا تحققت هذه الشروط
فإذا فعل كان آثما وصح العقد
Artinya: “Ulama’ kalangan Syafiiyah berkata:
Berlaku syarat khusus bagi wali mujbir yang ingin menikahkan anak perempuannya
yang masih kecil, perempuan majnun, baik yang masih kecil atau yang sudah
dewasa, perempuan lajang yang dewasa dan berakal sehat, apabila tanpa disertai
permintaan izin dan ridla darinya, yaitu: 1) Jika tidak terdapat permusuhan
yang nyata antara kedua pihak anak dan walinya. Seumpama ada potensi permusuhan
namun tidak nampak nyata, maka potensi tersebut tidak dapat menggugurkan hak
wali mujbir. 2) Apabila tidak ada permusuhan antara Si anak dengan bakal
suaminya yang bersifat kekal dan secara dhahir dan secara bathin bisa diketahui
oleh orang hidup di sekelilingnya. Semisal si anak hendak dinikahkan dengan
orang yang dibencinya atau orang yang menghendaki keburukan dengannya, maka
pernikahan tersebut tidak sah. 3) Apabila calon suami sekufu. 4) Apabila calon
mempelai adalah orang yang mampu memberinya mahar. Keempat syarat ini merupakan
syarat wajib bagi sahnya akad pernikahan. Jika terjadi kekosongan salah satu
dari keempatnya, maka batallah akad pernikahan itu apabila ia tidak dimintai
izin dan menyatakan ridla dengannya. 5). Jika menikahkan sang anak dengan mahar
mitsil, 6) jika mahar mitsil tersebut terdiri atas barang berharga negara, dan
7) apabila mahar tersebut dibayar tunai. Tiga syarat yang terakhir adalah
syarat untuk bolehnya wali mengakadkan. Dengan demikian, ia tidak boleh
melangsungkan akad pernikahan tersebut sama sekali kecuali bila nyata bahwa
ketiga syarat ini terpenuhi. Dan bila ia memaksa tetap melakukannya, maka ia
berdosa, meskipun akadnya tetap sah.” [Syeikh Abd Al-Rahmân al-Jazîrî, al Fiqh
‘ala Madzâhib al-Arba’ati li al-Jazîri, Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmiyah, tt.:
4/24]
Wallâhu a’lam bish shawab
[]
Ustadz Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus
BM Qanuniyah Munas NU 2019 dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar