Senin, 29 April 2019

BamSoet: Tantangan Riil setelah Pesta Demokrasi


Tantangan Riil setelah Pesta Demokrasi
Oleh: Bambang Soesatyo

GENERASI milenial Indonesia dituntut untuk mampu beradaptasi dengan arus perubahan karena roda perubahan zaman terus berputar dengan cepat. Karena itu, generasi milenial harus mau keluar dari perangkap rivalitas “cebong versus kampret” sebagaimana yang terjadi di pemilihan umum (pemilu) yang baru lalu. Saatnya milenial segera ikut mengambil bagian dalam program pengembangan mutu sumber daya manusia (SDM) yang sedang dikelola negara.

Rivalitas “cebong versus kampret” yang memuncak pada periode perhitungan suara hasil Pemilu 2019, cepat atau lambat, memang harus diakhiri. Bagaimanapun seluruh elemen bangsa pada akhirnya harus kembali mencermati dan menyiasati tantangan riil yang selalu berubah.

Kesinambungan pembangunan nasional harus tetap terjaga. Dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi global harus diantisipasi. Memerangi peredaran narkoba tak boleh terhenti. Pastikan ruang publik kondusif, mengingat siswa-siswi sedang bersiap mengikuti ujian akhir semester (UAS) 2 yang dijadwalkan pada 17-21 Juni 2019, serta ujian nasional (UN) dan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) yang akan berlangsung hingga pekan pertama Mei 2019.

Pascapemungutan suara Pemilu 2019, sejumlah tokoh mengekspresikan keprihatinan pada rivalitas cebong versus kampret itu. Muncul keinginan atau inisiatif mendamaikan dengan mendorong rekonsiliasi. Walaupun tidak mudah, keinginan itu harus diapresiasi dan didukung. Tidak mudah karena rivalitas itu dibangun dari keengganan menerima perbedaan yang kemudian mengakumulasi emosi bersama. Itulah akar persoalan yang benihnya mulai berkembang sejak 2017 di Jakarta.

Selain itu, gampang-gampang sulit untuk mengidentifikasi siapa saja pelakon dalam rivalitas itu. Tetapi, boleh diasumsikan bahwa mayoritas adalah generasi milenial karena mereka mengekspresikan rasa dan emosi melalui media sosial.

Sisi positifnya adalah baik cebong maupun kampret peduli pada politik dan negaranya. Sisi negatifnya pada aspek etika berekspresi atau menyuarakan pendapat. Namun, perjalanan waktu akan mereduksi persoalan ini. Kalau rivalitas cebong versus kampret berpijak pada sikap dan pilihan politik, orientasi para pelakon rivalitas itu akan bergeser jika kepada mereka ditunjukkan gambaran tentang tantangan masa kini dan masa depan. Pergeseran orientasi itu dalam jangka dekat mestinya lebih mudah karena pemilu sudah selesai.

Salah satu bentuk upaya mereduksi persoalan itu adalah membangun kesadaran dan pemahaman bersama tentang tantangan generasi milenial, baik tantangan terkini maupun tantangan di masa depan. Generasi milenial harus diberi pemahaman tentang program apa saja yang dirancang negara untuk menyiapkan sekaligus menjadikan mereka generasi yang kompeten menghadapi tantangan itu. Setelah memahami program yang dirancang negara, generasi milenial didorong untuk bersinergi dengan institusi negara terkait, khususnya dalam program pengembangan mutu SDM.

Jadi, kalau sebelumnya cebong dan kampret berorientasi pada isu seputar pemilu, harus segera digeser dan dikembangkan isu atau program baru. Isu atau program yang disosialisasikan secara sistematis itu hendaknya berkait langsung dengan kepentingan milenial. Utamanya tentang urgensi generasi milenial beradaptasi dengan perubahan sekaligus tantangan riil yang sedang mereka hadapi.

Sebagaimana dipahami bersama, upaya memodernisasi perekonomian mengharuskan Indonesia menapaki era Industri 4.0. Tentang era industri keempat sudah sering dibahas dan didiskusikan. Pertanyaannya adalah seberapa jauh sudah kesiapan Indonesia beradaptasi dengan era ini. Terbukti bahwa belum semua sektor dan subsektor usaha atau bisnis telah siap melakoni Industri 4.0.

Sebab, dalam praktiknya di dalam negeri, masih ditemukan praktik penerapan teknologi revolusi industri pertama hingga ketiga. Di perdesaan petani masih menggunakan cangkul. Di perkotaan sekalipun masih banyak ditemukan kegiatan produksi yang mengandalkan teknologi lama. Tentu saja berdampak pada biaya produksi, yang pada gilirannya mengakibatkan produk tidak kompetitif di pasar. Fakta-fakta seperti ini kiranya sudah memberi gambaran tentang skala kesiapan masyarakat Indonesia menapaki Industri 4.0.

Peduli Kompetensi

Berbicara tentang kesiapan masyarakat, tentu perhatian harus ditujukan kepada generasi milenial. Era Industri 4.0 menuntut setiap orang melek teknologi terkini karena ragam kegiatan sehari-hari telah menggunakan mesin-mesin automasi yang ter integrasi dengan jaringan internet atau internet of things (IoT). Itu sebabnya, ada sedikitnya lima teknologi yang bisa diibaratkan sebagai jantung Industri 4.0, meliputi IoT, artificial intelligence, human-machine interface, teknologi robotik, dan lain-lain.

Bagaimana generasi milenial bisa mempelajari dan memahami ini semua, tentu dibutuhkan upaya khusus. Lalu, bagaimana respons sektor pendidikan terhadap lompatan ini? Soalnya, untuk merespons lompatan dimaksud, pemerintah telah merancang peta jalan atau roadmap berjudul Making Indonesia 4.0. Peta jalan ini memuat strategi industri nasional menapaki Industri 4.0. Dalam roadmap itu, pemerintah akan fokus pada lima sektor industri, meliputi industri makanan dan minuman, tekstil, automotif, elektronika, dan kimia.

Kalau negara telah siap dengan Making Indonesia 4.0, bagaimana dengan masyarakat, khususnya generasi milenial? Apakah orang-orang muda sudah tertarik untuk memahami Making Indonesia 4.0 itu? Inilah tantangan riil generasi milenial Indonesia. Artinya, daripada terus terperangkap dalam rivalitas cebong versus kampret, akan lebih produktif jika generasi muda Indonesia didorong untuk bersungguh-sungguh memahami tantangan yang sedang dan akan dihadapinya di kemudian hari. Dorongan itu hendaknya diinisiasi oleh para tokoh masyarakat yang berniat mewujudkan rekonsiliasi cebong dengan kampret.

Pemerintah tampaknya memahami minimnya kesiapan generasi milenial menapaki Industri 4.0 itu. Berangkat dari pemahaman itulah, Presiden Joko Widodo berinisiatif untuk memprioritaskan pengembangan kualitas SDM dalam beberapa tahun ke depan. Saat menghadiri peringatan satu abad Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah di Yogyakarta pada Desember 2018, Presiden menegaskan, “Mulai tahun depan, strategi pembangunan kita akan kita geser, yaitu pada pembangunan sumber daya manusia.

Tentu saja ini akan dijadikan secara besar-besaran, baik untuk vocational training, vocational school, dan politeknik. Juga menyekolahkan anak-anak kita banyak-banyak keluar untuk menimba ilmu karena perubahan global saat ini cepat sekali.”

Inisiatif itu langsung dijabarkan dalam politik anggaran tahun 2019 ini. Anggaran pendidikan tahun ini naik signifikan, dari Rp435 triliun per 2018 menjadi Rp492 triliun. Anggaran itu dimanfaatkan untuk perbaikan sekolah, mengembangkan pendidikan vokasi, memperbesar akses mendapatkan bea siswa, hingga penyediaan dana riset. Perlu juga diingatkan kepada pemerintah untuk mempercepat penyelesaian proyek Palapa Ring agar generasi milenial di semua pelosok daerah punya akses terhadap jaringan internet.

Inisiatif pengembangan mutu SDM itu sudah barang tentu tidak bisa jalan sendiri. Dibutuhkan penyesuaian di sana-sini, terutama di dunia pendidikan. Konsep link and match boleh dipertimbangkan untuk diterapkan lagi. Bagaimanapun muatan materi pendidikan patut dikaitkan dan disepadankan dengan perubahan sekaligus kebutuhan zaman. Tanpa melupakan pentingnya materi budi pekerti, materi pendidikan pun harus beradaptasi dengan perubahan zaman.

Jika generasi milenial didorong untuk aktif mempersiapkan kompetensi mereka di tengah perubahan yang demikian cepat, rivalitas cebong versus kampret akan berakhir dengan sendirinya. Kini pemerintah dan para tokoh masyarakat perlu mendorong generasi milenial untuk memahami tantangan nyata yang sedang dan akan dihadapi. []

KORAN SINDO, 25 April 2019
Bambang Soesatyo | Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Dewan Pakar KAHMI, Kepala Badan Bela Negara FKPPI, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar