Selasa, 16 April 2019

Sindhunata: ”Wot Ogal-Agil”


”Wot Ogal-Agil”
Oleh: Sindhunata

Tulus dan jujur itu tidak mudah. Bahkan, manusia yang paling jujur pun bisa berbohong bila ia diimpit oleh situasi sulit. Inilah yang terjadi pada tokoh seperti Prabu Yudistira dalam kecamuk perang dahsyat Bharatayuda.

Alkisah Durna, pendeta sakti Kurawa, mengamuk. Bala tentara Pandawa tak bisa menaklukkan pendeta Durna. Maka Batara Kresna berakal, ia minta pada raja Pandawa, Yudistira, berbohong dengan mengabarkan bahwa Aswatama, putra pendeta Durna, telah mati di medan laga. Yudistira dikenal jujur. Tak mungkin ia berbohong. Toh ia mengalah, dengan mengatakan Aswatama mati, walau yang dimaksud adalah gajah Aswatama.

Pendeta Durna tidak percaya akan pecahnya kabar kematian putranya tercinta itu. Ia pun pergi menguji kebenarannya pada Yudistira, karena ia percaya Yudistira tidak pernah berbohong. Yudistira menjawab, memang Aswatama mati, walau sebenarnya yang mati adalah gajah Aswatama.

Mendengar kata-kata Yudistira, pendeta Durna kehilangan semangat hidupnya. Akhirnya dengan mudah ia dibunuh oleh satria pihak Pandawa, Destrajumena. Begitulah, dalam keadaan kacau, orang jujur pun mudah tergoda untuk berbohong.

Politik kebohongan

Bohong memang mudah muncul, apalagi dalam situasi politik yang kacau. Pada politik harian saja, bohong sudah menjadi normalitasnya. Dalam majalah online Republik (30/10/2018), wartawan senior Swiss, Constantin Seibt, menulis, nyaris tak ada politikus yang tidak berbohong.

Alasannya, seperti dikatakan filsuf terkenal Hannah Arendt: tak seorang pun menganggap politik bisa bertanggung jawab terhadap kebenaran. Maklum, politik bukan untuk mengungkapkan kenyataan, tetapi untuk mengubah kenyataan, dan untuk itu tak ada yang demikian efisien selain kebohongan.

Tak heran, meski diliputi keraguan, pemilih tetap menganggap kebohongan politikus panutannya sebagai kesungguhannya. Sementara si politikus pantang menyerah dalam memperjuangkan agenda kebohongannya, meski itu berlawanan dengan fakta. Malah jika lawan politiknya marah, itu jadi makin baik dan menguntungkan politiknya.

Menurut Seibt, sejarah kebohongan politik itu relatif muda. Baru merebak di abad ke-20, berbarengan dengan meluasnya media. Partai-partai fasis dan komunis adalah kampiun dalam politik kebohongan itu. Mereka tidak hanya ingin mencengkeramkan kuasanya atas manusia, tetapi juga atas fakta. Teori pengetahuan, data historis, statistik ekonomi, semuanya harus dikuasai untuk kuasa politiknya.

Bagi partai-partai totaliter itu, semua fakta adalah politis. Fakta itu harus dikontrol, didesain baru, bahkan dieliminasi. Dasar dari propaganda politik kebohongan ini adalah ideologi.

Dewasa ini propaganda politik kebohongan makin merebak dengan cara yang lain. Dasarnya bukan lagi ideologi, tetapi suatu strategi yang menciptakan opini terhadap fakta yang ada. Semua fakta dibalik menjadi opini. Opini diolah dengan cerdik sehingga tidak lagi menjadi opini pribadi, tetapi opini yang menciptakan loyalitas. Lama-lama ini semua menggiring orang untuk tidak lagi bertanya, analisis atau tindakan politis mana yang benar, tetapi apakah ”kamu pro kami atau melawan kami”.

Produksi kebohongan

Sudah bukan rahasia lagi, jagoan utama dalam politik di atas adalah Presiden Donald Trump. Di bawah pemerintahan Trump, lalu lintas berita bohong sangatlah cepat dan padat. Seperti dikutip Seibt, bulan Mei 2018 Washington Post mengeluarkan dengan amat detail dan teliti sejumlah daftar kebohongan yang beredar di media sosial. Trump disebut mengebut tempo kebohongan itu. Bulan Juni dan Juli berikutnya tercatat tambahan 970 berita bohong, atau 16 kebohongan setiap hari.

Tiap kali dianggap salah fakta, dengan enak Trump bilang, ”Anda mempunyai opini, itu elok, saya mempunyai opini, ini juga elok.” ”Saya adalah seorang genius yang konsisten.” Sambil mengucapkan keyakinan itu, ia yakin rakyat juga menganggapnya demikian. Itu persis seperti Jose Mourinho dalam dunia sepak bola. ”I am the special one,” kata Mourinho, tak peduli Chelsea atau Manchester United sedang jeblok di bawah asuhannya.

Kebenaran tak usah terkait lagi dengan fakta, tetapi dengan opini personalnya. Maka pada pengikutnya dengan gampang Trump bilang, ”Jangan baca koran, semua berita langsung saja dicekkan ke presiden Anda.”

Model demikian ternyata inspiratif bagi para politikus fasis dan populis. Buktinya, dengan cara itu, Jair Bolsonaro, yang terang-terangan mengagumi dan memakai resep Trump, bisa merebut kursi presiden Brasil. Para penguasa otokratis seperti Vladimir Putin dan Recep Tayyip Erdogan juga menggunakan resep yang sama dan terbukti efektif dalam mengendalikan kekuasaannya.

Mengapa bisa terjadi fenomena Trump? Esais Thomas Assheuer dalam artikelnya, ”Mengapa Trump Bukan Seorang Pembohong” (Die Zeit, 30/8/2019), menjawab pertanyaan itu dengan amat jeli dan khas. Trump berpolitik sesuai dengan asal-usul dirinya. Awalnya dia bukan politikus, tetapi pengusaha dan miliuner yang boleh dibilang agak eksentrik. Politik dijalankannya sebagaimana ia menjalankan bisnis yang memang berhasil.

Maka, kata Assheuer, Trump menganggap bahasa atau kata-kata itu adalah barang miliknya pribadi. Seperti dia memperlakukan properti gedung atau tanahnya, demikianlah ia memperlakukan properti bahasa dan kata-katanya. Seperti uang seluruhnya adalah miliknya, demikian pula seluruh bahasa dan kata-kata adalah miliknya pula.

Baginya, kata-kata adalah kapital simbolis, yang bisa ia jalankan seturut kemauannya. Ia membisniskan kata-kata itu, dan menginvestasikannya dalam ladang bisnis baru, yang bisa mengembangkan kekuasaan politisnya. Kata-kata itu seperti uang baginya. Dengan uang, ia bisa berbelanja di mana saja. Sekarang dengan kata-kata, ia bisa berbelanja kekuasaan dan mengonsumsi kekuasaan politisnya.

Dalam benak Trump, kata-kata itu cair, secair harga-harga di pasar. Bisa naik hari ini, bisa turun besok. Suatu saat Trump bisa bilang NATO adalah tumpukan sampah, lain kali ia bilang ”NATO is great”. Pernah ia mengejek Kim Jong Un dengan ucapan a little rocket man, lalu di lain kesempatan ia memuji pemimpin Korea Utara itu sebagai a great statesman. Trump berpikir, sebagai kapital simbolis, perputaran kata-kata itu seperti perputaran uang. Ia memanfaatkan kata-kata sebagai investasi yang situasional pada pasar politik.

Pada situasi apa pun, ia berusaha untuk memetik keuntungan dengan bahasa dan kata-katanya. Jika kata-katanya laku dan laris, berarti ia akan memetik ketenaran, kuota kekuasaan dengan lebih baik.

Buat Trump, aksi kata-kata itu adalah investasi politik. Itulah alasan mengapa ia menolak dengan jujur dan keras bila ia dituduh suka berbohong. Dalam keyakinannya, kriteria benar dan bohong bukanlah pedoman yang bisa begitu saja dikenakan untuk menghakimi kalimat-kalimat yang keluar dari mulut seorang presiden.

Kriteria benar dan bohong itu berasal dari wilayah kesibukan yang lain, yakni wilayah moral, yang sama sekali lain daripada wilayah politik. Di mata kekuasaan, bisnis atau politik, moral itu dipandang sebagai penemuan dari mereka yang kalah. Dengan moral itu orang tidak bisa ”membeli” apa-apa. Moral itu tidak menguntungkan (profitable).

Trump adalah contoh yang dengan luar biasa bisa menggambarkan apakah manusia ekonomis itu. Mengutip Josep Vogl, ilmuwan ilmu budaya, Assheuer mengatakan, tipe manusia ekonomis seperti Trump ”menyortir hal-hal di dunia tidak menurut benar atau salahnya, baik atau buruknya, adil atau tidak adilnya, tetapi menurut kriteria untung dan ruginya”. Memikirkan perihal dunia dan politik dengan kriteria pasar itu pasti membahayakan umat manusia.

Itulah yang dikritik habis-habisan dalam tulisan Karl Marx semasa mudanya. Menurut Marx, pada hakikatnya, pasar mengubah dunia dan membuat benda dan hal dunia menjadi abstrak, benda-benda itu kehilangan nilai awali dan kodratinya, dan tinggal mempunyai nilai tukar belaka.

Melucuti nilai-nilai itulah yang dibuat oleh Trump terhadap bahasa. Kata-kata diubahnya menjadi eksplosif seperti uang. Ia menderegulasikan bahasa, dengan meniadakan maknanya, dan kredibilitas komunikatifnya. Bagi Trump, kata-kata itu tinggal hanya mempunyai nilai tukar politis, yang hanya patuh pada sebuah gramatika, yakni hasrat untuk berkuasa.

Trump adalah tokoh yang berhasil memperluas persaingan pasar di wilayah yang tak terduga, yakni wilayah bahasa. Politik bahasa Trump telah membuktikan bahwa uang bisa menubuh dalam bahasa. Dengan ini Trump juga telah menunjukkan betapa dahsyatnya ego yang lahir dari sistem ekonomi liberal ini.

Trump adalah ego liberal yang bisa mengeliminasi bahasa dari hakikatnya sebagai sarana untuk menjalankan komunikasi, kooperasi, dan mencapai saling pengertian. Maka, menurut Assheuer, Trump adalah topeng Darwinisme dalam hal penggunaan bahasa: apa yang benar baginya adalah apa yang bisa mendatangkan profit dalam persaingan hidup ini.

Masyarakat yang tidak tulus

Berita bohong, kebohongan, membuat opini jadi fakta, melucuti makna bahasa sebagai peranti komunikasi dan saling pengertian, mengkhianati kriteria moral tentang yang benar dan yang salah, menginvestasikan kata-kata bohong untuk memupuk kekuasaan, menjadi ego liberal yang bisa seenaknya meniadakan lawan. Itu semua juga sedang merebak dalam dunia politik kita di sekitar Pilpres dan Pemilu 2019 ini.

Selama ini kita mungkin kurang memahami akar dari permasalahan tersebut. Analisis di atas kiranya bisa sedikit membuka kesadaran kita bahwa permasalahan tersebut terjadi karena gerusan liberalisme ekonomi dalam demokrasi kita yang juga cenderung liberal. Karena gerusan itu diam-diam politik juga suka memanfaatkan kata-kata dan bahasa secara pragmatis demi meraih, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan semata-mata.

Kata-kata dan bahasa telah kita ”uangkan” untuk mendagangkan kepentingan di ladang bisnis politik demi mengeruk profit kekuasaan sebesar-besarnya. Di sini bicara soal moral tentang baik dan buruk, benar dan salah, hanya akan berakhir dengan kekalahan.

Dalam situasi demikian, betapa sulit bagi pers untuk menjalankan tugas jurnalistiknya. Di awal tahun 2000, tokoh pers Jakob Oetama telah melihatnya ketika ia memaparkan pemikirannya dalam Seminar Majalah Basis di Yogyakarta. Pada kesempatan itu ia menulis makalah ”Sulitnya Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus” (Basis, Mei-Juni 2000).

Disebutkannya, dalam masyarakat kita terjadi ketidaktulusan dalam berkomunikasi. Ketidaktulusan itu membuat kita sulit untuk saling merasakan apa yang disebut oleh Siegel sebagai shared values, shared frame of reference, dan share common reference.

Ketidaktulusan itu terjadi sebagai akibat dari warisan otokrasi, kultur feodal dan represi sistem sebelum reformasi. Warisan itu menyebabkan salah jadi dan salah guna dari kekuasaan dan insentif ekonomi.

Menarik dalam hal ini Jakob Oetama telah menyebut bahwa salah jadi dan salah guna itu dipercepat terjadinya bukan hanya karena kekuasaan yang cenderung korup, tetapi juga karena motif ekonomi yang avarice, loba dan serakah. Katanya, ”Kita sedang memetik buah hasil sistem otokrasi dan berlakunya ekonomi pasar pada sistem yang salah jadi itu.” Sistem inilah biang keladi dari ketidaktulusan.

Ketidaktulusan itu telah merebak ke mana-mana: ”Masyarakat terbawa hanyut untuk terbiasa hidup dalam suasana rekayasa. Bukan saja politik dan ekonomi, ideologi negara dan sistem nilai masyarakat juga terkena imbas rekayasa, juga agama dan sendi-sendi kehidupan bersama.”

Menurut Jakob Oetama, reformasi telah membuka kotak Pandora yang menyimpan itu semua. Dengan reformasi, ketahuanlah segala ketidaktulusan dan rekayasa masyarakat kita.

Sekarang terbukti ketidaktulusan dan rekayasa itu telah menjerat kita pada ketidaktulusan kata dan bahasa, serta rekayasa kebohongan yang memelintir kebenaran. Justru dalam keadaan demikian, kita makin berada dalam tekanan imperatif moral untuk menegakkan ketulusan.

Sebab, seperti dikatakan filsuf Immanuel Kant dalam pemikiran moralnya: Pembohong itu merusak martabat manusia dalam diri pribadinya. Dan kebohongan adalah pembuangan dan peniadaan martabat manusianya.”

Jelaslah kebohongan itu tidak hanya merusak orang lain atau masyarakat, tetapi juga merusak diri dan martabat si pembohongnya sendiri. Itulah kiranya kebijakan yang terkandung dalam pepatah Jawa: Ajining dhiri ana ing lati, harga diri seseorang itu ada dalam ucapan atau lesannya. Sayang, ajining dhiri itu sekarang justru kita rusak dengan bibir dan lesan kita yang suka mengucapkan dan menyebarkan kabar bohong.

Kita tahu, berbohong itu adalah larangan moral, dan terutama agama. Maka betapapun sulitnya, moral dan agama tidak boleh berputus asa untuk melawan kebohongan dan ketidaktulusan. Dalam hal ini bolehlah sejenak kita berpaling pada ajaran pujangga Jawa, Raden Panji Natarata.

Dalam karyanya, Serat Kancil, Panji Natarata menulis tentang wot atau jembatan shirathal mustaqim. Menurut kepercayaan dan iman, di akhirat kelak setiap orang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia.

Itu digambarkan, kelak manusia harus melewati jembatan menuju ke surga. Dan di bawah jembatan itu adalah neraka. Sementara jembatan itu sangatlah tipis, lebih tipis dari sehelai rambut.

Orang Jawa membahasakan jembatan shiratal mustaqim itu sebagai wot ogal-agil, jembatan yang bergoyang-goyang. Manusia yang jujur dengan mudah melewati wot ogal-agil itu menuju surga dan kebahagiaannya. Sebaliknya orang jahat pastilah langsung tergelincir melewatinya dan jatuh ke dalam neraka jahanam.

Panji Natarata menulis, uwot shirathal mustaqim ana ing tutukmu samane kang sanyata. Artinya, jembatan shirathal mustaqim itu sesungguhnya sudah ada dalam bibirmu.

Maka tergelincir ke dalam neraka atau masuk surga sudah ditentukan oleh kebohongan atau ketulusan kita sekarang ini di dunia. Neraka atau surga bukan perkara kelak. Neraka atau surga sudah terjadi seturut kata-kata yang keluar dari tutuk atau mulut kita sekarang.

Maka kiranya sudah saatnya kita berhenti menebar kebohongan dan ketidaktulusan. Kita mesti berupaya agar nafsu politik dan ekonomi kita tidak terus bersekongkol untuk tak henti-hentinya memproduksikan dan memasarkan kebohongan. Sejarah mengajar, produk kebohongan semacam itu pasti akan membuat demokrasi jadi salah guna dan salah jadi.

Memang kebohongan mudah mengantarkan demokrasi menuju sistem pemerintahan oligarki, totaliter, bahkan diktator. Itulah kiranya neraka politik yang kemunculannya harus kita hindari sekarang ini juga.[]

KOMPAS, 15 April 2019
Sindhunata | Wartawan, Penanggung Jawab Majalah Basis, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar