Perbedaan Ulama perihal
Jumlah Minimal Jamaah Shalat Jumat
Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr. wb.
Pak ustadz, sejak kecil kami mendapat
pelajaran bahwa empat puluh jamaah laki-laki setempat menjadi syarat sah shalat
Jumat. Setahu kami kemudian pelajaran itu merupakan pandangan Mazhab Syafi‘i.
Pertanyaan kami, dari mana angka empat puluh tersebut? Mohon penjelasannya.
Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb.
M Nawawi – Palembang
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah
SWT. Shalat Jumat adalah salah satu shalat wajib yang dikerjakan secara
berjamaah. Tetapi para ulama berbeda pendapat perihal jumlah minimal jamaah
shalat Jumat.
Sebagian ulama menyatakan ibadah Jumat
dinilai sah ketika dilakukan minmal oleh tiga orang termasuk imam. Sementara
ulama lainnya menyatakan bahwa ibadah Jumat memadai oleh dua belas orang
jamaah. Sementara ulama lain menyatakan ibadah Jumat memadai oleh minimal empat
puluh orang jamaah.
Perbedaan pendapat para ulama perihal jumlah
minimal jamaah ibadah Jumat ini cukup wajar mengingat tidak ada ketentuan
definitif dari Al-Quran dan hadits perihal jumlah jamaah Jumat. Karenanya,
ketiadaan ketentuan ini membuka ruang ijtihad para ulama.
ليس
في العدد الذي تنعقد به الجمعة تحديد شرعي صريح ولهاذا كانت المسألة مجالا
للاجتهاد فعند أبي حنيفة بثلاثة مع الإمام وعند الإمام مالك وهو القديم عند
الشافعي تنعقد باثني عشر رجلا وعند الشافعي في الجديد وأحمد تنعقد بأربعين رجلا
Artinya, “Tiada batasan syar’i yang eksplisit
perihal jumlah minimal yang menjadi syarat sah Jumat. Oleh karena itu, masalah
ini membuka ruang bagi ijtihad. Bagi Imam Hanafi, tiga orang termasuk imam
dianggap cukup. Bagi Imam Malik dan juga qaul qadim Imam Syafi’i, ibadah Jumat
memadai dengan dua belas orang. Bagi qaul qadim Imam Syafi’i dan Imam Ahmad,
ibadah Jumat memadai dengan empat puluh orang,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman
Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram,
[Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 55).
Meski bersifat ijtihad, para ulama tetap
berpijak pada nash syariah. Jumlah yang disebutkan ulama itu berlandaskan
hadits riwayat Imam Muslim berikut ini.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ
فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا
Artinya, “ Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa
Nabi Muhammad SAW berkhutbah dalam posisi berdiri pada hari Jumat, lalu datang
rombongan saudagar berkendaraan unta dari Syam, lalu sebagian besar jamaah
Jumat berpaling menyongsongnya hingga tidak ada yang tersisa kecuali dua belas
jamaah laki-laki,” (HR Muslim).
Dari hadits riwayat Imam Muslim ini, ulama
melakukan ijtihad dengan buah pemikiran yang beragam perihal jumlah jamaah
shalat Jumat. Sebagian ulama saling menanggapi perihal pandangan yang lain
sebagaimana terjadi antara ulama Maliki dan ulama Syafi‘i.
عدم
اشتراط عدد معين لانعقاد الجمعة وقد أخذ بهذا مالك وقال يشترط أن يكون العدد اثني
عشر رجلا سوى الإمام وأجاب أصحاب الشافعي وغيرهم ممن يشترط أربعين بأنه محمول على
أنهم رجعوا أو رجع منهم تمام الاربعين فأتم الرسول بهم الجمعة
Artinya, “Tidak ada syarat jumlah tertentu
untuk keabsahan ibadah Jumat. Pandangan ini dipegang oleh Iam Malik. Ia
mensyaratkan dua belas jamaah laki-laki, tidak termasuk imam. Ulama Mazhab
Syafi‘i dan ulama lain yang mensyaratkan jumlah jamaah empat puluh orang
menanggapi bahwa mereka yang meninggalkan khutbah Rasulullah itu kemungkinan
kembali lagi ke dalam shaf atau sebagian dari mereka kembali hingga genap empat
puluh orang, lalu Rasulullah SAW menyelesaikan ibadah Jumat bersama mereka,”
(Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul
Ahkam Syarah Bulughul Maram, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan
pertama, juz II, halaman 56).
Sementara Imam Abu Hanifah membangun
argumentasinya perihal angka jamaah shalat Jumat dengan pijakan ilmu nahwu
dalam memahami seruan Al-Quran pada Surat Al-Jumuah ayat 9. Meminjam khazanah
ilmu nahwu mengenai konsep jamak, Imam Abu Hanifah menemukan angka tiga untuk
bilangan minimal jamaah shalat Jumat.
وقال
أبو حنيفة إن الجمعة تنعقد بثلاثة مع الإمام وهو أقل عدد تنعقد به واستدل بقوله
تعالى فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ والخطاب لجماعة بعد النداء للجمعة وأقل
الجمع ثلاثة
Artinya, “Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa
ibadah Jumat memadai dengan tiga orang termasuk imam. Tiga adalah angka minimal
sah Jumat. Ia berargumen dengan firman Allah, ‘Segeralah menuju zikrullah,’
(Surat Al-Jumuah ayat 9). Seruan ini ditujukan bagi jamaah Jumat setelah azan.
Bilangan terkecil lafal jamak jatuh pada angka tiga,” (Lihat Syekh Hasan
Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah
Bulughul Maram, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II,
halaman 56).
Dari sini kita menemukan keterangan bahwa
perbedaan pandangan ulama mengenai jumlah minimal jamaah shalat Jumat didasarkan
perbedaan mereka dalam memahami hadits riwayat Imam Muslim dan memahami konsep
aqallul jam‘i (jumlah minimal jamak) pada Surat Al-Jumuah ayat 9.
Meski para ulama berbeda pendapat perihal
ini, ibadah shalat Jumat umumnya di Indonesia yang masyarakatnya secara umum
bermazhab Syafi‘i dilaksanakan dalam jumlah bahkan lebih dari empat puluh
orang.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar