Senin, 29 April 2019

Yudi Latif: Momen Pembedahan


Momen Pembedahan
Oleh: Yudi Latif

Pemilu telah berlalu, tetapi mendung sengkarut masih memagut. Hasil hitung cepat tak bisa jadi kata putus. Perlu kesabaran menanti hasil resmi hitungan real dari KPU. Sikap terbaik adalah menahan diri, menurunkan tensi, dan menjaga kepala tetap dingin. Dengan doa penuh pengharapan, semoga mendung tak berujung kelabu!

Inilah pemilu yang paling menguras energi, memecah, dan mendebarkan dalam sejarah Pemilu Indonesia. Ujian berat yang bisa mengungkap persoalan genting yang mengendap di bawah rutinitas prosedural, sekaligus menyediakan momen pembedahan terhadap kanker demokrasi kita.

Dalam demokrasi yang sehat, memberi kebebasan lebah (individu) untuk terbang tinggi tidak bisa dilakukan dengan membakar sarang lebah. Sejauh apa pun lebah terbang, akan kembali ke sarang bersama. Rumah bersama ini hanya bisa dipertahankan dengan kohesi sosial (persatuan) serta kemakmuran bersama (keadilan sosial).

Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului sila persatuan, dan diakhiri sila keadilan. Itu berarti, demokrasi mensyaratkan persatuan yang kuat dan harus bisa menguatkan persatuan. Di sisi lain, demokrasi harus memperkuat keadilan sosial, sedangkan keadilan sosial akan memperkuat demokrasi.

Mempertahankan rumah bersama dengan persatuan dan keadilan itu menuntut keseimbangan peran negara, pasar, dan komunitas. Terlalu lemah negara, kehidupan bangsa penuh ketakutan dan apatisme. Terlalu lemah pasar, bangsa jadi tidak produktif. Terlalu lemah komunitas, bangsa mengarah ke oligarki. Sebaliknya, terlalu kuat negara, kehidupan bangsa terbelenggu otoritarianisme.

Terlalu kuat pasar, bangsa jadi tidak berkeadilan. Terlalu kuat komunitas, bangsa jadi statis. Praktik demokrasi padat modal selama era reformasi telah melambungkan kekuatan pasar. Kekuatan pasar tak hanya menguasai modal finansial, tetapi juga modal politik dan kekuatan komunitas (menguasai media seraya menyubordinasi pemuka pendapat dan pemuka masyarakat).

Anehnya, meski peran pasar makin kuat, produktivitas nasional mandek, dengan tendensi deindustrialisasi. Ini karena kekuatan pasar kita bertumpu pada sektor ekstraktif dengan hilirisasi yang cetek dan penguasaan sumber daya ekonomi yang eksklusif. Akibatnya, kesertaan dalam pasar dan kesempatan kerja tak meluas. Saat pasar kerja melesu, pasar ideologi transnasional merebak. Kondisi seperti ini mendorong arus balik gelombang revivalisme politik identitas dengan sentimen populisme.

Seturut dengan itu, perkembangan demokrasi Indonesia memenuhi sisi negatif dari poliarki yang dibayangkan Aristoteles: pemerintahan mediokritas yang didarahi praktik politik kotor di bawah penguasaan uang. Bawaan negatif itu tak terhindarkan saat demokrasi dirayakan tanpa memberikan ruang bagi etika dan penalaran.

Politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami peluluhan. Kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti keadaban, responsibilitas, keadilan, dan integritas runtuh. Modal sosial melepuh, dalam wujud keretakan jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial.

Demokrasi beradab berdiri di atas sendi negara hukum (nomokrasi). Tanpa kedalaman nomokrasi, seperti dalam aliran sungai, hal-hal sepele mengambang di permukaan, dan hal-hal berbobot tenggelam.

Politik sebagai ranah tata kelola tak dirayakan dengan produk kebijakan yang responsif dalam kerangka kebajikan bersama, melainkan penuh dihiasi buih pencitraan, ujaran kebencian, dan kebohongan. Hal itu diperparah oleh krisis penalaran. Kini, sulit menemukan politisi dan pekerja intelektual yang tekun mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam.

Cacat demokrasi ini tak bisa dinisbatkan kesalahan dan tanggung jawabnya pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto semata. Semua itu merupakan resultante dari kelemahan para aktivis dan elite politik kita: cuma bisa menjebol tanpa cakap membangun.

Kepada Jokowi dan Prabowo, siapa pun yang nanti menang dan kalah, malah pantas diucapkan terima kasih. Tanpa kesediaan keduanya maju dalam kontestasi, pemilihan presiden barangkali tidak bisa dilaksanakan.

Mereka merepresentasikan warna dasar (politik) Indonesia—merah dan putih. Yang satu secara semena-mena dicap mewakili golongan merah (abangan), satunya lagi semena-mena dicap mewakili golongan putih (putihan).

Betapapun, keutuhan keindonesiaan hanya bisa dijaga dengan menyatukan merah-putih jadi bendera bersama. Maka, jika keduanya ingin jadi patriot bangsa, jahitlah kedua warna itu dengan kejujuran menegakkan persatuan dan keadilan. []

KOMPAS, 25 April 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar