Momen Pembedahan
Oleh: Yudi Latif
Pemilu telah berlalu, tetapi mendung sengkarut masih memagut.
Hasil hitung cepat tak bisa jadi kata putus. Perlu kesabaran menanti hasil
resmi hitungan real dari KPU. Sikap terbaik adalah menahan diri, menurunkan
tensi, dan menjaga kepala tetap dingin. Dengan doa penuh pengharapan, semoga
mendung tak berujung kelabu!
Inilah pemilu yang paling menguras energi, memecah, dan
mendebarkan dalam sejarah Pemilu Indonesia. Ujian berat yang bisa mengungkap
persoalan genting yang mengendap di bawah rutinitas prosedural, sekaligus
menyediakan momen pembedahan terhadap kanker demokrasi kita.
Dalam demokrasi yang sehat, memberi kebebasan lebah (individu)
untuk terbang tinggi tidak bisa dilakukan dengan membakar sarang lebah. Sejauh
apa pun lebah terbang, akan kembali ke sarang bersama. Rumah bersama ini hanya
bisa dipertahankan dengan kohesi sosial (persatuan) serta kemakmuran bersama
(keadilan sosial).
Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului sila persatuan, dan
diakhiri sila keadilan. Itu berarti, demokrasi mensyaratkan persatuan yang kuat
dan harus bisa menguatkan persatuan. Di sisi lain, demokrasi harus memperkuat
keadilan sosial, sedangkan keadilan sosial akan memperkuat demokrasi.
Mempertahankan rumah bersama dengan persatuan dan keadilan itu
menuntut keseimbangan peran negara, pasar, dan komunitas. Terlalu lemah negara,
kehidupan bangsa penuh ketakutan dan apatisme. Terlalu lemah pasar, bangsa jadi
tidak produktif. Terlalu lemah komunitas, bangsa mengarah ke oligarki.
Sebaliknya, terlalu kuat negara, kehidupan bangsa terbelenggu otoritarianisme.
Terlalu kuat pasar, bangsa jadi tidak berkeadilan. Terlalu kuat
komunitas, bangsa jadi statis. Praktik demokrasi padat modal selama era
reformasi telah melambungkan kekuatan pasar. Kekuatan pasar tak hanya menguasai
modal finansial, tetapi juga modal politik dan kekuatan komunitas (menguasai
media seraya menyubordinasi pemuka pendapat dan pemuka masyarakat).
Anehnya, meski peran pasar makin kuat, produktivitas nasional
mandek, dengan tendensi deindustrialisasi. Ini karena kekuatan pasar kita
bertumpu pada sektor ekstraktif dengan hilirisasi yang cetek dan penguasaan
sumber daya ekonomi yang eksklusif. Akibatnya, kesertaan dalam pasar dan
kesempatan kerja tak meluas. Saat pasar kerja melesu, pasar ideologi
transnasional merebak. Kondisi seperti ini mendorong arus balik gelombang
revivalisme politik identitas dengan sentimen populisme.
Seturut dengan itu, perkembangan demokrasi Indonesia memenuhi sisi
negatif dari poliarki yang dibayangkan Aristoteles: pemerintahan mediokritas
yang didarahi praktik politik kotor di bawah penguasaan uang. Bawaan negatif
itu tak terhindarkan saat demokrasi dirayakan tanpa memberikan ruang bagi etika
dan penalaran.
Politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik
sebagai etik mengalami peluluhan. Kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti
keadaban, responsibilitas, keadilan, dan integritas runtuh. Modal sosial
melepuh, dalam wujud keretakan jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial.
Demokrasi beradab berdiri di atas sendi negara hukum (nomokrasi).
Tanpa kedalaman nomokrasi, seperti dalam aliran sungai, hal-hal sepele
mengambang di permukaan, dan hal-hal berbobot tenggelam.
Politik sebagai ranah tata kelola tak dirayakan dengan produk
kebijakan yang responsif dalam kerangka kebajikan bersama, melainkan penuh
dihiasi buih pencitraan, ujaran kebencian, dan kebohongan. Hal itu diperparah
oleh krisis penalaran. Kini, sulit menemukan politisi dan pekerja intelektual
yang tekun mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam.
Cacat demokrasi ini tak bisa dinisbatkan kesalahan dan tanggung
jawabnya pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto semata. Semua itu merupakan
resultante dari kelemahan para aktivis dan elite politik kita: cuma bisa
menjebol tanpa cakap membangun.
Kepada Jokowi dan Prabowo, siapa pun yang nanti menang dan kalah,
malah pantas diucapkan terima kasih. Tanpa kesediaan keduanya maju dalam
kontestasi, pemilihan presiden barangkali tidak bisa dilaksanakan.
Mereka merepresentasikan warna dasar (politik) Indonesia—merah dan
putih. Yang satu secara semena-mena dicap mewakili golongan merah (abangan),
satunya lagi semena-mena dicap mewakili golongan putih (putihan).
Betapapun, keutuhan keindonesiaan hanya bisa dijaga dengan
menyatukan merah-putih jadi bendera bersama. Maka, jika keduanya ingin jadi
patriot bangsa, jahitlah kedua warna itu dengan kejujuran menegakkan persatuan
dan keadilan. []
KOMPAS, 25 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar