Sejarah Puasa Ramadhan
Puasa bagi umat Islam memiliki makna yang
sangat mendalam dalam rangka penghambaan manusia kepada Allah SWT. Puasa tidak
hanya ibadah yang memerlukan peran fisik, tetapi juga memerlukan kesehatan
batin, bahkan mampu menyempurnakan batin menjadi hamba yang bertakwa.
Takwa yang merupakan muara akhir dari
perintah puasa dijelaskan dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Sesuai pembahasan tema di atas, potongan ayat
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ (...sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian...) ini merupakan titik awal
mengupas sejarah puasa, khususnya puasa Ramadhan. Singkatnya, ibadah puasa juga
telah menjadi kewajiban umat-umat terdahulu yang menerima wahyu.
Pakar Tafsir Muhammad Quraish Shihab dalam
karyanya Membumikan Al-Qur’an (2000) menjelaskan, dari segi ajaran agama, para
ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip
pokok akidah, syariat, serta akhlaknya.
Ini berarti bahwa semua agama samawi
mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat,
puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah
adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu
saja cara dan kaifiat-nya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa
menjadi kewajiban bagi umat Islam dan umat-umat terdahulu? Manusia memiliki
kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini,
makan, minum, dan berhubungan seks.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dari zaman dulu
hingga sekarang menjadi tantangan manusia dalam kehidupan. Sebab, hal itu
mempengaruhi sisi-sisi kehidupan lainnya sehingga berpuasa adalah ibadah yang
tepat.
Sejarah kewajiban puasa Ramadhan tidak
terlepas dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke negeri Yatsrib (Madinah).
Sebab peristiwa tersebut merupakan titik pijak penyempurnaan syariat Islam di
kemudian hari. Puasa Ramadhan diwajibkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada
bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah dengan cara dan model yang dilakukan umat
Islam hingga kini.
Affandi Mochtar dan Ibi Syatibi dalam buku
Risalah Ramadhan (2008) mengungkapkan, sebelum ayat yang mewajibkan puasa
turun, umat Islam biasa berpuasa wajib pada 10 Muharram atau Hari Asyura. Ketika
Nabi Muhammad hijrah dan tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi
juga berpuasa pada 10 Muharram tersebut.
Orang-orang Yahudi menyatakan, pada 10
Muharram Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari serangan Raja
Fira’un. Kemudian Nabi Musa berpuasa pada 10 Muharram sebagai tanda syukur
kepada Allah. Lalu, Nabi Muhammad memerintahkan uma Islam agar berpuasa pada
tanggal 10 Muharram.
Pada awalnya umat Islam diwajibkan berpuasa
sampai waktu maghrib. Setelah berbuka mereka masih diperbolehkan makan, minum,
dan melakukan hubungan seks suami-istri hingga kemudian melakukan shalat Isya
dan tidur.
Setelah melakukan shalat Isya dan tidur,
mereka tidak diperbolehkan lagi untuk makan, minum, atau berhubungan seks
hingga tiba saatnya waktu berbuka. Namun, praktik ini benar-benar menyulitkan
umat Islam sehingga tidak sedikit yang melanggar larangan tersebut.
Lalu, Allah SWT menurunkan sebuah ayat yang
dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan, umat Islam
diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan intim dengan para istrinya
sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar. Tentu saja ayat tersebut
disambut gembira oleh umat Islam kala itu sembari memanjatkan syukur atas kasih
sayang Allah SWT. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar