Kisah Mbah Abdul
Karim Lirboyo Menolak Makan Tempe
Dahulu semasa Mbah
Abdul Karim Lirboyo masih menimba ilmu di pesantren, tempe merupakan makanan
istimewa. Siapa saja yang mampu berlauk tempe, maka ia terhitung santri yang
bertaraf ekonomi tinggi.
Apalagi jika datang
wali santri yang menjenguk anaknya dengan membawa nasi sambel lengkap dengan
tempe goreng. Sungguh, hari itu akan terkenang selama seminggu sebagai hari
terindah dengan makanan terlezat selama nyantri. Bisa diibaratkan, tempe masa
itu bak daging sapi masa kini.
Namun entah mengapa,
Kang Manab–begitu Mbah Karim Lirboyo biasa disapa–semasa mondoknya tak pernah
mau ketika ditawari untuk menyantap tempe. Ya, lauk terlezat yang sangat jarang
mampu disantap santri pada umumnya kala itu.
Entah itu ketika pas
kebetulan temannya sedang mayoran, atau pun ketika hari sedang baik karena ada
teman sekamar yang kiriman. Ia selalu menolak ketika ditawari makan tempe,
meski hanya sepotong sehingga akhirnya teman-teman seperjuangannya mengira bahwa
Kang Manab itu mengidap alergi pada makanan berbahan baku kedelai tersebut.
Waktu terus berlalu.
Kang Manab kini telah berubah menjadi kiai yang terkenal di daerah Kediri dan
sekitarnya. Kini, ia telah menjadi sosok kiai karismatik dengan nama Abdul
Karim, pendiri Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Zaman pun semakin maju.
Kesejahteraan rakyat juga mulai merata dengan meningkatnya taraf ekonomi
masyarakat pada masa itu.
Satu waktu, Kiai
Abdul Karim bertandang ke rumah salah satu teman seperjuangannya. Sudah barang
tentu, selain beramah tamah ada juga acara makan-makan yang telah dipersiapkan.
Di meja makan, telah
tersaji berbagai macam hidangan. Termasuk tempe, yang ketika mondok dahulu,
menjadi makanan terlezat bagi para santri. Tak ketinggalan berbagai macam sayur
mayur. Ada juga ingkung, seekor ayam yang dimasak utuh.
Ketika mulai
dipersilakan untuk menikmati hidangan, secara mengherankan Kiai Abdul Karim
mengambil nasi, sayur, dan juga tempe kemudian menyantapnya. Padahal, semasa
mondok dulu, Kiai Abdul Karim tak pernah sedikit juga melirik lauk kedelai yang
dijamurkan itu. Apalagi memakannya. Sontak sang kawan pun kaget. Diberanikanlah
ia untuk bertanya pada Kiai Abdul Karim.
"Lho, Mbah
sekarang doyan tempe tho?" sergahnya dengan penuh keheranan.
"Iya, karena
dahulu tempe menjadi makanan terlezat. Hatiku pun sangat menginginkannya. Tapi
tak kuturuti. Dan sekarang, di samping tempe ada hal lain yang lebih diinginkan
oleh hatiku, yaitu opor ayam itu. Oleh karenanya, aku memilih tempe. Semua itu
kulakukan tidak lain adalah dalam rangka melatih hawa nafsu. Melatih diriku
agar tidak menuruti syahwat duniawi (kesenangan dunia)," tutur Mbah Abdul
Karim menjelaskan.
Demikianlah laku
salafus salih, ulama shalih terdahulu. Tidak hanya ketika beribadah mereka waspada
terhadap godaan hawa nafsu, melainkan di setiap sisi aktivitasnya selalu
disandarkan pada kewaspadaan terhadap godaan setan. Bahkan dalam hal sekecil
makan yang sering diabaikan. []
Dikisahkan oleh KH
Muhammad Shofi Al-Mubarok Pengasuh Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin Brabo
yang juga alumnus Pesantren Lirboyo tahun angkatan 2007/2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar