Selasa, 09 April 2019

(Hikmah of the Day) Kisah Mbah Abdul Karim Lirboyo Menolak Makan Tempe


Kisah Mbah Abdul Karim Lirboyo Menolak Makan Tempe

Dahulu semasa Mbah Abdul Karim Lirboyo masih menimba ilmu di pesantren, tempe merupakan makanan istimewa. Siapa saja yang mampu berlauk tempe, maka ia terhitung santri yang bertaraf ekonomi tinggi.

Apalagi jika datang wali santri yang menjenguk anaknya dengan membawa nasi sambel lengkap dengan tempe goreng. Sungguh, hari itu akan terkenang selama seminggu sebagai hari terindah dengan makanan terlezat selama nyantri. Bisa diibaratkan, tempe masa itu bak daging sapi masa kini.

Namun entah mengapa, Kang Manab–begitu Mbah Karim Lirboyo biasa disapa–semasa mondoknya tak pernah mau ketika ditawari untuk menyantap tempe. Ya, lauk terlezat yang sangat jarang mampu disantap santri pada umumnya kala itu.

Entah itu ketika pas kebetulan temannya sedang mayoran, atau pun ketika hari sedang baik karena ada teman sekamar yang kiriman. Ia selalu menolak ketika ditawari makan tempe, meski hanya sepotong sehingga akhirnya teman-teman seperjuangannya mengira bahwa Kang Manab itu mengidap alergi pada makanan berbahan baku kedelai tersebut.

Waktu terus berlalu. Kang Manab kini telah berubah menjadi kiai yang terkenal di daerah Kediri dan sekitarnya. Kini, ia telah menjadi sosok kiai karismatik dengan nama Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Zaman pun semakin maju. Kesejahteraan rakyat juga mulai merata dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat pada masa itu.

Satu waktu, Kiai Abdul Karim bertandang ke rumah salah satu teman seperjuangannya. Sudah barang tentu, selain beramah tamah ada juga acara makan-makan yang telah dipersiapkan.

Di meja makan, telah tersaji berbagai macam hidangan. Termasuk tempe, yang ketika mondok dahulu, menjadi makanan terlezat bagi para santri. Tak ketinggalan berbagai macam sayur mayur. Ada juga ingkung, seekor ayam yang dimasak utuh.

Ketika mulai dipersilakan untuk menikmati hidangan, secara mengherankan Kiai Abdul Karim mengambil nasi, sayur, dan juga tempe kemudian menyantapnya. Padahal, semasa mondok dulu, Kiai Abdul Karim tak pernah sedikit juga melirik lauk kedelai yang dijamurkan itu. Apalagi memakannya. Sontak sang kawan pun kaget. Diberanikanlah ia untuk bertanya pada Kiai Abdul Karim.

"Lho, Mbah sekarang doyan tempe tho?" sergahnya dengan penuh keheranan.

"Iya, karena dahulu tempe menjadi makanan terlezat. Hatiku pun sangat menginginkannya. Tapi tak kuturuti. Dan sekarang, di samping tempe ada hal lain yang lebih diinginkan oleh hatiku, yaitu opor ayam itu. Oleh karenanya, aku memilih tempe. Semua itu kulakukan tidak lain adalah dalam rangka melatih hawa nafsu. Melatih diriku agar tidak menuruti syahwat duniawi (kesenangan dunia)," tutur Mbah Abdul Karim menjelaskan.

Demikianlah laku salafus salih, ulama shalih terdahulu. Tidak hanya ketika beribadah mereka waspada terhadap godaan hawa nafsu, melainkan di setiap sisi aktivitasnya selalu disandarkan pada kewaspadaan terhadap godaan setan. Bahkan dalam hal sekecil makan yang sering diabaikan. []

Dikisahkan oleh KH Muhammad Shofi Al-Mubarok Pengasuh Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin Brabo yang juga alumnus Pesantren Lirboyo tahun angkatan 2007/2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar